tirto.id - Plonco sudah jadi masuk ke Indonesia sejak lama dan jadi budaya sejak zaman kolonial. Dalam novel legendaris Siti Nurbaya (1920), Marah Rusli menggambarkan Samsul Bahri diplonco sebagai calon pelajar sekolah dokter Jawa (STOVIA) di kota Batavia pada awal abad lalu.
Mohamad Roem—yang sebentar jadi siswa STOVIA dan belakangan jadi ahli hukum mewakili Indonesia di perundingan Roem-Royen (1949)—punya catatan yang lebih rinci dalam tulisannya di Bunga rampai dari sejarah - Volume 3 (1983, hlm. 81). Ia menyebut di STOVIA memberlakukan masa perploncoan selama tiga bulan. Bukan masa yang sebentar, tentunya.
Kata-kata keras biasa keluar dalam perploncoan tiga bulan itu. Roem tergolong pelajar keras kepala. Para siswa plonco di STOVIA tidak digunduli. Setelah STOVIA ditiadakan dan Geneeskundige Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) berdiri, praktik perploncoan masih ada. Tentu saja di sekolah tinggi lain pun mengikuti. Kata sebagian orang, plonco bagus untuk membina mental dan persahabatan.
Pada zaman kolonial, istilah Belanda untuk plonco adalah ontgroening atau groentjes. Pada zaman pendudukan Jepang yang tak menyukai budaya Belanda, namanya diganti menjadi プロンコ (puronko). Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi kehidupan akademik mengartikan plonco sebagai "kepala gundul" (2004, hlm. 61). Militer Jepang berkepala gundul dan sangat terobsesi mengguduli kepala laki-laki lain. Memang, standar kepala laki-laki ala fasis Jepang adalah botak, seperti halnya kepala Perdana Menteri Hideki Tojo. Hanya Kaisar keturunan Dewa Matahari saja yang boleh terlihat ada rambut, itu pun pendek. Cukup masuk akal jika diperkirakan istilah plonco mulai dipakai sejak zaman Jepang.
Setelah sekolah-sekolah tinggi makin banyak dibuka pasca-1950, perploncoan tetap lestari. Digunduli atau tidak, mahasiswa baru tetap saja dibentak dan diperintah senior. Kata plonco, kemudian tak hanya mengacu kepada kepala botak saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai “calon mahasiswa yang sedang mengikuti acara kegiatan pengenalan kampus” Kata plonco sempat digunakan untuk menyebut kondisi orang baru yang belum berpengalaman. Kini, kata plonco lebih sering dipakai untuk menggambarkan proses di mana orang baru menyesuaikan diri dengan menuruti perintah orang lama. Orang yang diplonco tentu dianggap pemula.
CGMI Tolak Plonco
Pada era demokrasi terpimpin, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) menolak plonco. Organisasi mahasiswa ini dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumornya, seperti yang dibilang mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (1998, hlm. 279), Kolonel Marsudi adalah tokoh di belakang layar pendirian CGMI. Marsudi sendiri adalah perwira intel daripada Soeharto waktu Serangan Umum 1 Maret 1949. Marsudi juga disebut-sebut sebagai salah satu perwira Operasi Khusus (Opsus) daripada Ali Moertopo.
CGMI cukup bertaring sebelum Presiden Sukarno tumbang. Di mata lawan-lawan politik PKI, CGMI sepaket dengan PKI. Dalam kenangan Guru Besar Sejarah UNY Husein Heikal, anak-anak CGMI tak senecis anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi, meski terlihat lusuh, buku yang dibaca anak-anak CGMI lebih tebal. Husein Heikal sendiri mantan anggota HMI pada 1965.
CGMI pernah tampil sebagai pahlawan bagi mahasiswa yang tidak suka atau merasa menderita karena perploncoan. Tak hanya CGMI, tapi juga PKI. Menurut Rahardjo Darmanto Djojobroto, CGMI dan PKI menolak plonco karena praktik tersebut adalah "tradisi kolonial” (2004, hlm. 66). Tak keliru memang, karena sejarah plonco di sekolah memang dikembangkan sejak zaman Belanda, makin berkembang di zaman Jepang, dan terus terpelihara setelah Indonesia merdeka.
Masih menurut Rahardjo, perploncoan dilarang, akan tetapi kemudian ada yang disebut Masa Kebaktian Taruna (1963). Lalu, setelah CGMI dihabisi Orde Baru ada yang Masa Prabakti Mahasiswa yang alias Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), dan sekarang istilah perploncoan paling populer adalah: Orientasi Studi Pengenalan Kampus yang disingkat OSPEK.
Tapi, apapun namanya dan berapapun durasinya, plonco selalu punya kedok program masa orientasi di kampus atau sekolah. Ada ketakutan dari siswa baru yang tidak ingin ikut. Misalnya takut kehidupannya setelah masa OSPEK dipersulit. Di kampus yang mahasiswanya sedikit, anak baru bahkan ketakutan sulit mendapat pekerjaan.
Kisah plonco Indonesia abad ini tak lagi datang di bekas sekolah tinggi yang didirikan di zaman kolonial. Meski mirip MOSVIA dan OSVIA zaman kolonial, yang sama-sama mendidik pegawai negeri untuk departemen dalam negeri, insan Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) tentu tak mau disamakan. STPDN mulai eksis sejak 18 Agustus 1990, waktu Menteri Dalam Negeri dijabat Jenderal Rudini yang lulusan akademi militer Breda.
Semua tahu mahasiswa STPDN bergaya ala tentara. Sangat terlihat mereka meniru Akabri. Perploncoan di dalam kampusnya luar biasa brutal. Hukuman bagi siswa baru bukan cuma push up, tapi juga pukulan. Pada 2000, Erry Rahman jadi korban kekejaman senior dalam masa OSPEK. Dua tahun kemudian, Wahyu Hidayat menyusul. Perploncoan sadis itu sempat membuat STPDN jadi bahan berita nasional.
Nama STPDN pun berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, lagi-lagi ada korban jiwa pada 2003, namanya Cliff Muntu. Lama tak makan korban, tujuh tahun kemudian, giliran Rinra Sujiwa Syahrul Putra yang tewas. Putra dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini bukan korban terakhir. Masih ada Jonoly Untayanadi yang jadi korban pada 2017.
Editor: Windu Jusuf