Menuju konten utama

Sistem Cegah Kekerasan di Sekolah Masih Lemah

Kasus kematian siswa SD di Riau ungkap lemahnya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, meski regulasi dan tim TPPK telah dibentuk.
 
 
 

Sistem Cegah Kekerasan di Sekolah Masih Lemah
Seorang siswa memperlihatkan poster anti bullying saat kampanye di Madrasah Tsanawiyah Swasta (MtsS) Harapan Bangsa (HBS) Desa Kuta Padang, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Kamis (15/5/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/Spt.

tirto.id - Seorang siswa kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Desa Buluh Rampai, Kecamatan Seberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau meninggal dunia. Ia diduga menjadi korban perundungan oleh kakak kelasnya yang berujung kehilangan nyawa.

Polres Indragiri Hulu menerima laporan kasus ini, Jumat (23/5/2025). Pihak keluaga menjelaskan bahwa korban mengalami luka kekerasan fisik dan meninggalkan dunia pada pukul 02.00 WIB (26/5/2025). Untuk mendalami pemahaman terhadap kasus, Satreskrim Polres Indragiri Hulu juga sempat melakukan otopsi dan analisis.

Menanggapi berbagai spekulasi dan reaksi yang kemudian beredar di tengah masyarakat, Kasi Humas Polres Indragiri Hulu, Aiptu Misran menyampaikan imbauan kepada masyarakat. Pihak kepolisian meminta agar masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA).

"Kita semua tentu sangat prihatin atas kejadian ini, namun penting untuk tetap tenang dan tidak menyebarkan informasi yang belum terbukti kebenarannya. Mari kita percayakan penanganan kasus ini kepada pihak berwenang," jelas Misran dalam keterangan resmi Pemerintah Provinsi Riau, Minggu (1/6/2025).

Ilustrasi Bentrok

Ilustrasi Bentrok. foto/Istockphoto

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Indragiri Hulu, Kamaruzaman, mengatakan perlu pendalaman lebih jauh dari hasil penyelidikan dan otopsi. Hasil dari dua proses itu perlu untuk menentukan korelasinya dengan dugaan perundungan.

Dia mengatakan kalau mereka telah mengupayakan secara optimal terkait adanya Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah. “Memang baru tahun kemarin (dibentuk), karena instruksi dari kementerian. Tapi saya sudah melakukan (sosialisasi) juga ke kepala sekolah,” ucap dia kepada Tirto pada Selasa (3/6/2025).

Namun, proses sosialisasi terkendala dengan banyaknya sekolah di Kabupaten Indra Giri Hulu, jumlahnya kurang lebih 400-an sekolah. Kamaruzaman mengatakan lokasi sekolah yang berjauhan memperumit prosesnya. Namun, dia mengatakan akan terus mendorong pencegahan kekerasan kekerasan di wilayah sekolah ini agar berkelanjutan.

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah Masih Belum Optimal

Kasus dugaan perundungan yang berujung kematian Siswa kelas 2 SD di Indragiri Hulu menunjukkan kelemahan implementasi TPPK di Sekolah. Hal ini menjadi perhatian Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono.

Menurutnya pemerintah sudah memiliki banyak regulasi perlindungan anak terutama di lingkungan sekolah. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudriset) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan misalnya, mengatur kewajiban sekolah dalam membentuk TPPK. Selain itu, pemerintah daerah juga harus membuat satuan tugas (Satgas) beranggotakan lintas dinas.

Aris menyebut TPPK di sekolah harus melakukan upaya edukasi dan sosialisasi kepada anak, sekolah, dan orang tua. Selain itu, TPPK juga harus menyiapkan layanan aduan supaya korban kekerasan bisa menyampaikan aduan supaya bisa terlayani dan tertangani dan ditindaklanjuti.

“Bisa jadi timnya tidak menjalankan program di Permendikbud. Bisa jadi timnya tidak tau dengan cara apa penanganan yang komprehensif,” terang Aris kepada Tirto, Selasa (3/6/2025), menanggapi kejadian di Riau.

Menurut dia, seharusnya TPPK juga dibekali dengan sosialisasi, bimbingan teknis, dan pelatihan. Mereka tidak sekedar mendapat Surat Keputusan pembentukan tim saja.

KAMPANYE ANTI PERUNDUNGAN DI SEKOLAH

Pelajar SMA PGRI 3 Surabaya membawa poster saat kegiatan kampanye gerakan anti perundungan (bullying) di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (21/12/2021). ANTARA FOTO/Moch Asim/rwa.

Senafas, Koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa pemerintah harus serius menangani masalah perundungan di lingkungan sekolah.

“JPPI melihat banyak daerah misalnya, sudah membentuk, tapi sekadar membentuk. (Mereka) tidak berperan, tidak berfungsi, tidak bekerja,” ucap dia saat dihubungi melalui sambungan telefon, Selasa (3/6/2025).

Dia juga mengatakan, alasan proses sosialisasi terhadap sekolah di Kabupaten Indragiri Hulu yang tertunda akibat jarak antarsekolah yang berjauhan juga tidak bisa diterima. Pasalnya amanat yang tercantum dalam Permendikbudriset 46/2023 sudah ada sejak dua tahun lalu. “Jadi tidak ada alasan. Kita punya space waktu yang sangat lama,” ucapnya.

Berdasar catatan JPPI, pada tahun 2024, terdapat 573 kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Angka ini melonjak 100 persen dibanding tahun 2024. Kala itu jumlah kasus kekerasan di wilayah edukasi ‘hanya’ 285 kasus. Data ini juga menunjukkan, pada tahun 2024, setidaknya terjadi satu kasus kekerasan di lembaga pendidikan setiap harinya.

Lebih lanjut Ubaid juga menanggapi isu SARA yang menyertai narasi kasus di Riau. Menurut dia, golongan minoritas sangat mungkin menjadi korban.

Ia mencontohkan saat pemilihan ketua osis, kelompok minoritas seringkali mendapat ujaran kebencian atau kampanye hitam. “Anak-anak tidak mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang hidup berdampingan dan bekerja sama. (Mereka) cenderung mem-bully kelompok minoritas,” imbuhnya.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Lia Latifah, menyebut perlunya evaluasi di dunia pendidikan. Ia menyoroti peran guru yang harusnya dapat melihat indikasi kejadian perundungan.

Dia mengatakan, sejak siswa masuk sekolah, seharusnya mendapat edukasi berulang oleh guru terkait dampak perundungan. Siswa harus memahami dampak perundungan secara nyata. Lia menyebut pemahaman bisa menggunakan contoh nyata dampak perundungan.

“Misalnya ada anak korban pem-bully-an hari ini menjadi cacat. Ada anak korban yang hari ini meninggal dunia. Fakta-fakta yang terjadi itu yang harus menjadi pelajaran buat mereka,” ucap Lia.

Pendekatan Keadilan Restoratif untuk Perubahan Positif terkait Perundungan

Kasus perundungan umumnya tidak terjadi hanya satu kali. Menurut Komisioner KPAI, Dian Sasmita, ada unsur keberulangan. Oleh sebab itu deteksi dini dan respon sangatlah penting. Respon dan deteksi dini akan meminimalisir dampak lebih buruk dari perilaku perundungan.

“Ingat normalisasi bullying sama dengan normalisasi kekerasan,” teranganya melalui keterangan tertulis yang Tirto terima.

Selain itu, penanganan perundungan juga harus melibatkan banyak pihak. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan restoratif. Tujuannya untuk memulihkan bukan hanya korban, tetapi juga masyarakat dan anak yang terlibat dalam konflik hukum, dalam hal ini pelakunya. “Semua pihak perlu difasilitasi pemulihannya, sampai ada perubahan perilaku positif oleh semua yang terkait kasus bullying,” tambah Dian.

Dia menyebut bahwa suatu kasus perundungan tidak hanya akan selesai dengan pertemuan mediasi tanpa intervensi perubahan perilaku. Sehingga perlu pelibatan guru, pekerja sosial, dan konselor untuk pendampingan anak dan keluarga.

Sementara itu, terkait pencegahan perundungan, juga sangat mungkin dilakukan. Sebab sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak (UU Nomor 35 Tahun 2014) dan Permendikbudriset 46/2023. Menurut Dian, aturan hukum tersebut akan membawa perubahan positif jika setiap perangkatnya beroperasi dengan optimal.

Aris, Komisioner KPAI lainnya, mengatakan kalau mereka telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan dinas terkait untuk memastikan proses hukum kepada terduga pelaku berlangsung cepat, profesional dan akuntabel. Di sisi lain dia juga memastikan adanya pendampingan oleh kepala daerah terkait kasus ini.

“Ketika ada kemungkinan anak berhadapan dengan hukum, ada langkah-langkah untuk memproses keadilan, restorative justice. Dan itu sudah diatur di SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak -red),” tutur Aris.

Baca juga artikel terkait PERUNDUNGAN atau tulisan lainnya dari Faisal Bachri

tirto.id - News Plus
Reporter: Faisal Bachri
Penulis: Faisal Bachri
Editor: Alfons Yoshio Hartanto