Menuju konten utama
Mozaik

Persemar Gontor 1967, Upaya Santri Menggulingkan Pimpinan Pondok

Warsa 1967, Pondok Modern Darussalam Gontor sempat dilanda pergolakan. Imbasnya, seluruh santri dipulangkan dan aktivitas pesantren terhenti. 

Persemar Gontor 1967, Upaya Santri Menggulingkan Pimpinan Pondok
Masjid Atiq tempo dulu. (FOTO/ppikpm.gontor.ac.id)

tirto.id - Saat paceklik, pikiran acap kalut. Seseorang cenderung bertindak ceroboh dalam membuat putusan. Apalagi dalam keadaan perut kosong, seseorang bisa saja nekat melakukan apa pun demi mengisi lambung.

Warsa 1967, santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) menyebut masa paceklik dengan istilah zaman gemblong. Penyebabnya, kala itu beras cukup langka, dan gemblong yang diolah dari tepung beras ketan dipilih jadi alternatif makanan pokok.

Di Gontor, masa paceklik pernah jadi salah satu biang kerok tragedi kelam yang dikenal dengan Peristiwa Sembilan Belas Maret (Persemar) 1967. Sebagaimana yang disampaikan Akrim Mariyat, setidaknya ada dua alasan penyebab terjadinya tragedi ini.

Pertama adalah ketidakpuasan sekelompok guru dan santri senior atas kesejahteraan pondok, dan yang kedua merupakan bentuk pelampiasan atas kekecewaan.

Kelompok yang menjadi penggerak Persemar 1967 berjuluk Sawadzul A’dzom yang berarti massa berpengaruh. Mereka terdiri dari kalangan guru kawak dan santri senior. Kebanyakan dari kelas 5 yang menjadi mudabir dan konsul di rayon maupun firkah organisasi tertentu. Mereka ditengarai hendak menguasai pondok dengan mencoba mengubah status, posisi, dan orientasi pondok dari rel yang semestinya.

Tempat pertama yang dilongok saat paceklik adalah dapur. Mula-mula, kelompok ini mencurigai indikasi korupsi yang dilakukan pengurus Koperasi Dapur, qismut-taghdziyah. Mereka menilai koperasi ini bertanggung jawab atas turunnya kualitas konsumsi santri dana ketersediaan pangan yang berkurang.

Waktu itu, Akrim Mariyat yang duduk di kelas 6 ditugasi mengusut indikasi korupsi yang dituduhkan. Setelah dia mengecek Koperasi Dapur, tak barang bukti atau kekeliruan berarti. Namun mereka belum merasa puas. Tuduhan beralih ke bagian administrasi pondok. Tetapi hasilnya tetap nihil.

Terakhir, tuduhan mengerucut kepada pimpinan pondok, yang kali ini mengarah menjadi fitnah. Menanggapi tuduhan itu, K. H. Imam Zarkasyi menyentak, "Jika anak-anakku melihat bahwa apa yang kami makan, kami pakai, dan kami tempati lebih enak daripada yang anak-anakku rasakan, silakan protes!"

Penelusuran akhir menyimpulkan, penyebab utama paceklik pangan adalah banyak santri yang belum membayar iuran bulanan. Dari seratus orang, hanya enam puluh yang melunasi pembayaran.

Sebagai respons terhadap masa paceklik, pihak PMDG memutuskan untuk memaklumi para santri yang tak kunjung membayar iuran bulanan tanpa sanksi apapun. Selain itu, manajemen administrasi memang belum dirancang mendetail dan komprehensif. Pengarsipan tagihan pembayaran belum begitu diperhatikan.

Tudingan yang mulanya berakar dari dugaan korupsi semakin menjalar ke segala penjuru. Penjelasan kiai dan hasil investigasi tak berhasil meyakinkan Sawadzul A’dzom. Mereka justru menyatakan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan pondok.

Dalam buku Sukses Menjadi Santri Gontor (2020) karangan Muh. Yunan Putra, PMDG mengenal istilah Trimurti untuk menyebut pimpinan pondok. Ketiganya saling menyokong kepengurusan serta merumuskan pembaruan sistem pendidikan pesantren. Trimurti waktu itu diisi oleh tiga pendiri, yakni K.H. Ahmad Sahal (1901-1977), K.H. Zainuddin Fanani (1908-1967), dan K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985).

"Ide Gila" Sawadzul A’dzom

Ketidakpuasan berujung makar. Menurut kesaksian Nashrullah Zarkasyi, terjadi keributan luar biasa pada suatu pagi. Tanggal 19 Maret 1967, sejumlah santri meneriakkan ucapan kotor nan provokatif ditingkah pukulan benda apa saja. Mereka bergerombol, membentuk mimbar dadakan dan berdemonstrasi.

Tembok dan pagar asrama jadi sasaran vandalisme. Kebanyakan menulis agitasi dan olokan yang mencemooh pimpinan PMDG. Titah kiai yang menyeru mereka agar berhenti pun hanya dianggap angin lalu.

"Setan telah begitu merasuki santri yang paham maupun yang tak paham terhadap apa yang terjadi ketika itu... Gila, mereka benar-benar keblinger,” tulis Nashrullah Zarkasyi.

Selain menyemburkan ujaran kebencian dan amarah, kelompok ini juga menuntut pimpinan pondok mereka diusir dari Gontor. Alasannya, kata mereka, tanah pondok telah diwakafkan untuk kepentingan umat, sehingga bukan lagi milik kiai perseorangan.

Salah seorang ustaz yang disebut "kiai kecil" mencoba melakukan agitasi. Dia mengecap K.H. Imam Zarkasyi bukan sosok pemimpin lantaran tak pernah menjadi imam salat. Dia juga membentuk serikat yang bertujuan mengganti pimpinan pondok dengan kiai dari luar yang telah disiapkan.

Selanjutnya terjadi perkubuan. Kelompok yang selaras dengan Sawadzul A’dzom membentuk mahkamah ilegal. Pertemuan dihelat klandestin di luar lingkungan pondok. Ada yang sembunyi-sembunyi berunding di kamar mandi warga desa, atau kabur ke luar pondok dan mendirikan pesanggrahan. Lalu membentuk bani-bani baru seperti Bani Sahir, Bani Tohir, dsb. Lewat bani-bani itulah intrik dijalankan. Kebencian semakin meluas bukan hanya di kalangan santri, tetapi juga masyarakat kampung di sekitar Gontor.

Mosi tidak percaya kepada Trimurti dicetuskan sebagai "ide gila" yang diistilahkan kelompok itu sendiri. Pimpinan pondok harus diganti dengan segala cara. Ultimatum dilayangkan kepada pengasuh pondok, maksimal 8 jam setelah mosi diterbitkan.

Respons lanjutan "ide gila" adalah membunyikan Lonceng Jaros seenaknya hingga suasana jadi gaduh dan semrawut. Lonceng ini adalah ikon Gontor yang seharusnya hanya berdentang sebagai penanda waktu salat, belajar, dan istirahat.

Kasur-kasur dari kamar diseret keluar, ditumpuk menggunung di tengah lapangan, lantas dibakar. Di antaranya juga terdapat buku-buku santri dan arsip administrasi pondok. Maka jika stambuk data santri PMDG diteliti hari ini, beberapa nomor induk santri terlihat kosong lantaran arsipnya raib dilalap api.

Kelompok yang membakar dan merusuh pondok bergerombol di lapangan. Mereka berteriak, "Huuu... huuu... huuu... !!" Teriakan ini menyebabkan K.H. Ahmad Sahal mengalami trauma panjang. Oleh karena itu, menyeru "huuu..." jadi satu perkara tabu di lingkungan Pondok Gontor, bahkan sampai hari ini.

Keributan memuncak saat kambing Rahmat Sukarto, Lurah Desa Gontor yang juga kakak kandung Trimurti dicuri. Kambing miliknya dituntun paksa dari kandang, disembelih, dan disantap beramai-ramai oleh para demonstran.

Kelompok penggerak Persemar menunjuk K.H. Shoiman Luqmanul Hakim untuk menggantikan posisi Trimurti apabila "ide gila" yang mereka susun sukses. Tetapi yang ditunjuk menolak lantaran memilih mengabdi dan loyal kepada Trimurti. Dia merasa hanya akan dijadikan pemimpin boneka, serta enggan bersekutu dengan kelompok yang menurutnya menjauh dari nilai luhur pondok.

Pengurus PMDG tidak tinggal diam dan membiarkan kekalutan terus berlangsung. Dialog dan musyawarah bersama dihelat untuk mencari jalan tengah. Ditunjuklah Ustaz Abdullah Mahmud sebagai perwakilan pondok dan menginstruksikan kepada kelompok makar yang terlibat. Rata-rata yang dipanggil berasal dari kelas 5. Jumlahnya tidak kurang dari seratus orang. Merekalah yang mengecap diri sebagai massa berpengaruh di Gontor.

Musyawarah menghasilkan tuntutan yang ditulis mendetail. Mulai dari tuntutan remeh macam rincian lauk-pauk yang mesti dicukupi sehari-hari, hingga pergantian inti kepemimpinan pondok. Tuntutan ini ditulis oleh Abdullah Mahmud lantas diserahkan kepada Trimurti di hari yang sama.

Esok paginya, seluruh santri dikumpulkan di Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Lalu diumumkan bahwa seluruh santri wajib pulang meninggalkan lingkungan pondok. Semuanya, sebanyak 1.500-an lebih orang, pulang tak tersisa. Seluruh kegiatan di PMDG diliburkan sampai waktu yang tak ditentukan.

Evaluasi dan Bangkit Lagi

Selama masa pemulangan, pimpinan PMDG menghelat konsolidasi internal dengan tujuan evaluasi kinerja. Beberapa alumnus Gontor yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor di beberapa daerah juga melakukan musyawarah. Di Jakarta, Yogyakarta, bahkan sampai yang tinggal di Turki turut menyumbang suara. Mereka menyatakan sikap siap membantu pondok.

Sementara itu di waktu yang sama, beberapa serdadu TNI menawarkan bantuan "menjaga" upaya pemulihan Gontor. Namun Trimurti, khususnya K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi menolak. Keduanya menganggap permasalahan ini merupakan tanggung jawab internal pondok.

Meski demikian, sejumlah tentara tetap datang dan diperbantukan selama beberapa hari. Mereka ikut menetap dan mengamankan sejumlah ruangan.

Setelah empat bulan dan ketegangan mereda, surat panggilan dari Direktur Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) dikeluarkan. Tidak semua santri berhak kembali" belajar di Gontor. Hanya sekitar 400-an orang yang dinyatakan lolos skrining.

Dari sekitar 400 santri yang dikirimi surat panggilan kembali, tidak ada satu pun yang berasal dari kelas 5. Alasannya, merekalah pasukan makar dalam Persemar, kecuali satu orang, yakni Syamsul Hadi Abdan. Ia berkesempatan kembali ke Gontor meski sempat nyantri beberapa tahun dulu di Ngabar, sebuah desa di Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo. Kelak, dia diangkat menjadi salah satu pimpinan pondok.

Selepas itu, PMDG berjalan kembali dengan semangat baru. Pihak pondok menganggap Persemar sebagai sebuah ujian yang mengandung hikmah, terlebih dilakoni dengan sabar dan istikamah.

Dalam tulisannya, Nashrullah Zarkasyi menyebut bahwa tersiar kabar beberapa santri yang terlibat dalam Persemar mendadak gila. Ada yang meninggal tertabrak mobil, ada pula yang sakit berkepanjangan.

"Siapa menanam, [dia] mengetam; [siapa] menabur angin, [dia] menuai badai," tulisnya.

Kini, Persemar Gontor 1967 selalu diperingati sebagai tradisi tahunan PMDG sebagai bentuk evaluasi belajar sejarah. Pimpinan pondok memang telah memaafkan biang onar makar, tetapi sekaligus juga terus mengutuknya.

"Ilmunya tetap akan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi tidak bagi dirinya yang terkutuk itu... Sebagai seorang muslim, jangan sampai kita masuk ke lubang yang sama dua kali," begitu pesan K.H. Ahmad Sahal yang dikenang para santri Gontor.

Baca juga artikel terkait PONDOK MODERN GONTOR atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi