tirto.id - Cigugur akhir tahun 2015. Saya tengah bertamu di rumah seorang Kepala Dusun. Di dinding ruangan tamu sang tuan rumah, terpajang selembar foto sosok ulama kharismatik: K.H. Choer Affandi.
“Bapak dulu sempat mesantren sebentar di Uwa Ajengan,” ujar Pak Uleh, pemilik rumah.
"Ajengan" adalah istilah untuk ulama yang dinilai memiliki penguasaan ilmu agama dan kesalehan di atas rata-rata ulama kebanyakan. Choer Affandi sendiri memang biasa dipanggil Uwa Ajengan. Ulama yang mendirikan Pesantren Miftahul Huda di Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, berasal dari Kampung Palumbungan, Cigugur, Pangandaran. Ia dilahirkan pada 12 September 1923 dari pasangan Raden Mas Abdullah bin Hasan Ruba’i dan Siti Aminah binti Marhalan. Waktu kecil, ia bernama Onong Husen.
Adeng dalam Sejarah Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya (Jurnal Patanjala Vol. 3 No. 1, Maret 2011) yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, menerangkan bahwa ayah Choer Affandi adalah seorang petani yang merangkap sebagai agen polisi Belanda berpangkat kopral.
Raden Mas Abdullah masih memiliki darah Mataram dan juga keturunan menak Sukapura dari Dalem Sawidak ke-33. Sementara Siti Aminah masih keturunan Wali Godog, Garut. Choer Affandi adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Husein, sementara adiknya bernama Husnah.
Setelah menamatkan sekolah dasar, atas permintaan neneknya dari pihak ayah, ia tidak melanjutkan ke sekolah umum, tapi belajar di pesantren mengikuti jejak kakek buyutnya yang mendalami ilmu agama, yaitu Kiai Alfi Hasan.
Tahun 1936, pada usia 13 tahun, ia mulai menimba ilmu di pesantren. Bertahun-tahun Choer Affandi belajar rupa-rupa ilmu agama kepada banyak kiai di berbagai pesantren di Jawa Barat dan di Jawa Tengah.
Dari Pesantren ke Pesantren
Di Pesantren Cipancur, Kabupaten Tasikmalaya, ia belajar kepada Kiai Dimyati selama enam bulan. Kepada Kiai Abdul Hamid, seorang ulama NU yang sangat anti Belanda, ia belajar Ilmu Tauhid di Pesantren Pangkalan, Kabupaten Ciamis. Hal ini sangat bertentangan dengan pengalamannya saat belajar di Pesantren Cikalang. Saat baru belajar satu bulan di pesantren tersebut, Choer Affandi diusir oleh kiainya karena ia diketahui sebagai santri NU yang anti Belanda.
Pendidikan Ruhul Jihad ia dapatkan saat mondok di Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Gurunya, yakni K.H. Zaenal Mustafa adalah pahlawan nasional yang gugur karena melawan Jepang. Ilmu Falak ia pelajari selama dua bulan dari Kiai Haji Mansyur di Pesantren Jembatan Lima, Jakarta.
Pengembaraannya dalam memperdalam ilmu tidak berhenti sampai di sana. Choer Affandi belajar Ilmu Logika di Pesantren Tipar, Sukabumi, dari Kiai Haji Mahfudz. Selama di Sukabumi, ia juga belajar Ilmu Hadits dan Tafsir kepada Kiai Haji Ahmad Sanusi di Pesantren Gunungpuyuh. Ilmu Tasawuf ia pelajari dari Rd. Haji Didi Abdul Majid di Pesantren Wanasuka, Ciamis. Dan kepada Kiai Sayuti ia belajar Ilmu Kemakrifatan di Pesantren Grenggeng di Kebumen, Jawa Tengah.
Selama 13 tahun belajar dari pesantren ke pesantren, menjadi semacam "santri kelana", Choer Affandi telah siap mengamalkan dan membagikan ilmunya kepada masyarakat. Namun sebelum kiprah barunya dimulai, situasi politik nasional keburu berubah. Di tengah langkah-langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah yang cenderung merugikan republik, hijrah Divisi Siliwangi pasca Perjanjian Renville misalnya, ia memilih bersikap berseberangan dengan pemerintah.
Berjuang sebagai Kombatan
Sebelum terjun di dunia pendidikan dan mendirikan beberapa pesantren, Choer Affandi sempat menjadi kombatan dalam konflik antara pemerintah dengan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo pada rentang waktu 1949-1962. Ia ikut bergerilya di gunung-gunung wilayah Jawa Barat.
“Pada waktu itu, Uwa Ajengan merupakan salah satu petinggi DI/TII yang cukup dekat dengan Kartosoewirjo, karena merupakan salah satu alumni Institute Suffah,” tulis Uwoh Saepuloh dalam Jaringan Pesantren Miftahul Huda dan Cabang-cabangnya.
Institute Suffah adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kartosoewirjo pada 24 Maret 1940 di Desa Bojong, Malangbong, Garut. Lembaga tersebut mengajarkan agama, politik, dan kemiliteran.
“Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti ‘menyucikan diri’,” tulis Tempo dalam Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 32).
Tempo menambahkan bahwa Institute Suffah adalah lembaga yang mirip pesantren. Siswa menetap di sana dan mendapatkan pengajaran ilmu pengetahuan umum, pendidikan agama, serta dididik ilmu politik. Para siswa yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi tersebut diajarkan bahasa Belanda, astronomi, dan ilmu tauhid langsung oleh Kartosoewirjo.
Pada masa pendudukan Jepang, Institute Suffah giat memberikan pelatihan militer. Hal ini sesuai dengan program Jepang yang menggelorakan latihan kemiliteran terhadap para pemuda. Kelak, para siswa yang dididik militer di Institute Suffah bergabung dengan laskar Hizbullah dan Sabilillah. Kedua laskar ini juga merupakan tulang punggung DI/TII saat mereka berseteru dengan pemerintah.
Menempuh Jalan Lain dan Perang Pun Usai
Jelang perjuangan DI/TII dilumpuhkan pemerintah, Choer Affandi turun gunung. Ia melakukan reorientasi perjuangan dengan bergerak di dunia pendidikan. Ia melakukan "penjinakkan dan deredikalisasi diri". Mempunyai simpatisan yang tidak sedikit, menjadi modal baginya tatkala mulai berjuang di lapangan pendidikan, dakwah, dan sosial budaya.
Menurut penuturan Sardjono Kartosoewirjo, anak ke-12 Kartosoewirjo, seperti dikutip Uwoh Saepuloh dalam Jaringan Pesantren Miftahul Huda dan Cabang-cabangnya, pasca turun gunung Choer Affandi menolak bergabung lagi dengan DI/TII.
Hal serupa diungkapkan oleh K.H. Abdul Fattah dalam buku Awal Mula Uwa Ajengan Datang ke Manonjaya—seperti dikutip Uwoh Saepuloh dalam jurnal yang sama.
“Beberapa kali Danu Muhammad Hasan (salah satu elite DI/TII, ayah dari Hilmi Aminuddin, mantan Ketua Majelis Syuro PKS) menghubungi Choer Affandi dan keluarga untuk membicarakan perkembangan DI/TII, tapi Choer Affandi enggan menanggapinya,” tulisnya.
Sebelum mendirikan Pesantren Miftahul Huda di Manonjaya, Tasikmalaya, Choer Affandi banyak menerima tawaran dari beberapa pihak untuk mendirikan pesantren di luar Manonjaya. Beberapa tawaran tersebut yaitu:
(1) Haji Junaedi di Padayungan-Nagarawangi, yang akan menghibahkan tanah seluas 400 bata, (2) K.H. Ismail B.A. (anggota DPR Tasikmalaya dan Ketua NU) yang menawarkan rumah di komplek NU, (3) H. Badruddin (Direktur Utama Mitra Batik dan anggota PUI) yang akan memberikan tanah 1 ha beserta 5 bangunan di dalamnya di Kota Tasikmalaya, (4) K.H. Kamaluddin, saudara Choer Affandi dan pimpinan sebuah pesantren di Pangandaran, yang menawarkan tanah 1 ha hasil wakaf dari warga dengan syarat ia mau mukim di sana, (5) Ijazi (Lurah Desa Sindang Sari) yang siap membangunkan pesantren.
Namun semua tawaran tersebut ia tolak karena Choer Affandi menuruti nasihat guru tasawufnya, yakni Rd. Haji Didi Abdul Majid.
“Jika ingin manfaat ilmu diam di sini (Manonjaya), jangan pergi ke manapun. Namun jika tidak ingin manfaat ilmu terserah (pergi ke mana saja),” ujar gurunya tersebut dalam Awal Mula Uwa Ajengan Datang ke Manonjaya.
Akhirnya pada 7 Agustus 1967, Choer Affandi mulai mendirikan Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kedusunan Pasirpanjang, Desa Kalimanggis, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Peletakan batu pertama dihadiri oleh Bupati Tasikmalaya, Kolonel Husain Wangsa Atmaja, dan direstui oleh Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie.
Sampai hari ini, Pesantren Miftahul Huda Manonjaya telah memiliki ribuan cabang di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam kancah perpolitikan nasional, anak sulung Choer Affandi, K.H. Asep Ahmad Maoshul Affandi, menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PPP, dapil Jawa Barat X. Sementara cucunya dua periode berturut-turut memimpin Kabupaten Tasikmalaya, dan sekarang tengah bersaing sebagai salah satu Calon Gubernur dalam Pilgub Jawa Barat 2018.
K.H. Choer Affandi meninggal pada hari Jumat, 26 November 1994 di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Sebelum wafat ia kerap mengajak keluarganya untuk pulang ke Manonjaya.
“Hayu urang balik, embung di dieu, hayang di pasantren (Ayo kita pulang, tidak mau di sini, mau di pesantren)” ujarnya.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS