Menuju konten utama
5 Januari 2014

Slamet Gundono: Dalang Santri yang Berani Membunuh Pandawa

Alunan kentrung. 
Rumput-rumput berbincang
di tengah panggung.

Slamet Gundono: Dalang Santri yang Berani Membunuh Pandawa
Ilustrasi Slamet Gundono. tirto.id/Gery

tirto.id - Gelaran Solo City Jazz 2012 memasuki puncak pelaksanaan. Di belakang panggung, sang penampil terakhir sedang melakukan persiapan. Tubuhnya tambun, rambutnya pendek, serta busananya seperti pendekar zaman kerajaan. Tak ada sedikitpun raut wajah tertekan meski ribuan pengunjung yang memadati pelataran Pasar Triwindu menanti aksi pamungkasnya.

Lagu pertama bertajuk “Kembang Sruni” langsung digeber. Dalam komposisi tersebut, ia memadukan bebunyian tradisional dengan harmoni jazz modern yang bertempo kencang. Biasanya, peleburan lintas genre semacam ini bisa berujung canggung atau malah berakhir tragis. Akan tetapi, di tangannya, kedua prasangka itu tak terdengar sama sekali. Yang ada justru membuat penonton bergoyang malu-malu mengikuti arahan nada.

Suasana semakin gayeng tatkala di jeda lagu, ia mengeluarkan candaan yang disambut tawa ger-geran dari barisan penonton. Topiknya macam-macam: mulai Jokowi, urusan ranjang, sampai harga kebutuhan pokok yang turun-naik di Pasar Legi. Atmosfer ini terus bertahan hingga ia berpamitan pada khalayak yang menandakan pertunjukan telah rampung disajikan.

Sang penampil tersebut bernama Slamet Gundono. Ia adalah seorang dalang. Tapi, demi hajatan Solo City Jazz, ia rela tampil tak seperti biasanya. Dan malam itu, publik sama sekali tak berkeberatan dengan pilihannya.

Dalang yang Menolak Pakem

Slamet Gundono lahir di Tegal pada 19 Maret 1966 dari pasangan Ki Suwati dan Sumarti. Mulanya, namanya hanya Gundono. Embel-embel “Slamet” diberikan gurunya semasa duduk di bangku sekolah dasar. Untuk menghormati pemberian tersebut, ia lantas mengubah nama yang tercatat di aktenya dengan “Slamet Gundono.”

Perkenalannya dengan seni tradisi terjalin sejak kecil, mengingat di lingkungan tempat tinggalnya banyak seniman. Ditambah, ayahandanya juga merupakan seorang dalang. Kendati demikian, ia sempat berniat untuk tidak meneruskan jejak Ki Suwati. Alasannya: dalang identik dengan minuman keras serta gemar main perempuan.

Namun, yang namanya naluri tidak bisa serta merta disingkirkan. Saat menjadi santri di sebuah pondok di Lebaksiu, Tegal, ketertarikannya terhadap wayang malah semakin menguat. Usai lulus pesantren, Gundono memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Kesenian Jakarta dan mengambil jurusan teater. Tak lama berselang, ia pindah ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia—sekarang ISI—Surakarta guna mengambil fokus pada pedalangan. Di kota ini, Gundono menemukan jalan keseniannya.

Selama belajar di ISI, jiwa “pemberontak” Gundono perlahan terbentuk. Sebagai contoh, kejadian tahun 1995. Kala itu, Gundono tampil perdana di hadapan publik dalam ajang Festival Greget Dalang. Festival tersebut dihadiri dalang-dalang kondang seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, serta Ki Purbo Asmoro.

Festival berjalan lancar. Tidak ada tanda-tanda kekacauan saat satu per satu dalang memainkan ceritanya. Memasuki giliran Gundono, situasi berubah drastis. Dalam lakonnya, Gundono “membunuh” lima anggota Pandawa. Bayangkan, Pandawa yang bagi sebagian besar masyarakat Jawa adalah juru selamat, pahlawan, simbol kebaikan, serta penepis angkara murka, dibunuh dalam sekali kesempatan.

Sontak, “pembunuhan” Pandawa membuat geger penonton serta skena seni tradisi masa itu. Mereka mempertanyakan dan mengutuk mengapa Gundono berani keluar dari pakem suci—jika tak ingin disebut konvensional—dunia pewayangan. Gundono yang mendengar kritikan masyarakat, santai menanggapi. Menurutnya, ia hanya ingin melihat bagaimana jadinya apabila mitos-mitos terkait wayang didekonstruksi sedemikian rupa.

Wayang Suket dan Keluar dari Zona Nyaman

Dua tahun usai geger di Solo, Gundono diundang tampil di Riau. Di sana, Gundono diharuskan mementaskan wayang. Tapi, di Riau, mendapatkan peralatan wayang maupun gamelan merupakan sesuatu yang tak mudah. Ia lalu memutar otak dan menemukan solusi: tampil dengan wayang rumput (suket). Maka, Gundono segera mengumpulkan rumput, membentuknya dengan berbagai tokoh, kemudian memainkannya. Walhasil, lakon bertajuk Kelingan Lamun Kelangan tersebut berhasil dimainkan dengan bahan baku rumput.

Sepulang dari Riau, Gundono semakin jatuh hati dengan konsep wayang suket. Ia berpendapat, wayang suket memiliki garis keterhubungan antara pertunjukan teater barat dan tradisi timur. Tak sebatas itu, baginya, rumput—atau suket—melambangkan proses tumbuh kembang yang tak lekang oleh waktu.

“Seperti rumput, semangat harus terus tumbuh. Rumput tidak butuh banyak air dan sinar matahari, namun, dapat terus tumbuh. Saya belajar banyak dari filosofi rumput,” katanya kepada The Jakarta Post dalam sebuah wawancara.

Filosofi tersebut lalu menjadi landasan transformasi kreasinya. Dengan semesta wayang suket, Gundono ingin memperlihatkan bahwa kesenian tak harus tunduk pada pola yang ada. Misalnya, dalam wayang suket, ia tak sekedar menampilkan tokoh dari Mahabharata atau Ramayana, tapi juga karakter nyata di kehidupan sehari-hari.

Kemudian, alih-alih memakai kostum dalang—beskap, blangkon, dan keris—Gundono memilih tampil sekenanya. Ia bisa telanjang dada, bisa juga mengenakan baju biasa. Lalu, jika pertunjukan wayang pada umumnya diatur begitu ketat, dalam wayang suket Gundono, pertunjukan tak terikat oleh waktu. Ia dapat tampil sesuai waktu yang ia inginkan. Mungkin singkat, mungkin pula panjang.

Tema-tema yang diangkat dalam wayang suket tak jauh-jauh dari masalah sosial di lingkungan sekitar. Mulai kemiskinan, korupsi, sampai kerusakan alam. Pertunjukan wayang suket melambangkan refleksi diri maupun semangat akar rumput yang terselip nilai-nilai moral dan religius di dalamnya.

Infografik Mozaik Ki Slamet Gundono

Gundono pernah mengatakan, wayang suket dibuat untuk memenuhi kerinduan akan suatu media wayang dalam bentuk selain konvensional namun tidak meninggalkan kaidah wayang yang ada. Baginya, wayang suket merupakan romantisme masyarakat Indonesia yang sebagian agraris.

Kreatifitas Gundono tak berhenti pada wayang suket saja. Tercatat, ide-ide liar dalam pikiran Gundono berhasil ia tuangkan dalam wujud wayang nggremeng, wayang lindur, wayang guyub desa (yang dimainkan bersama 75 orang tetangganya di Solo), wayang multimedia, sampai wayang air.

Atas konsistensinya berkreasi dengan wayang suket, ia diganjar penghargaan prestius, Prince Claus Award, dari Kerajaan Belanda pada 2005. Philip Yampolsky, akademisi Universitas Columbia dan peneliti kesenian tradisi Indonesia sekaligus penulis Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi (2006) menyebutkan bahwa karya-karya Gundono mengacu pada cerita, karakter, musik, dan filosofi Jawa, namun tidak terkekang dalam formulasi klasik.

Sebagai gantinya, tambah Yampolksy, ia menyusun kembali elemen tradisional dalam struktur alternatif yang lebih longgar serta menggunakannya untuk “menegaskan martabat dan integritas orang-orang terbengkalai, terabaikan, serta mereka yang tanpa kekuatan maupun suara.” Dengan cara tersebut, Gundono membangun kembali “jembatan yang rusak antara tradisi dan masa kini.”

Ungkapan senada juga meluncur dari Munawar Aziz, peneliti tamu di Universitas Goethe-Frankfurt. Menurutnya, Gundono telah memberi kontribusi penting dalam dunia kesenian Indonesia. Ia menjadi sosok dalang yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada rakyat kecil. Di lain sisi, lakon wayang yang dipentaskan Gundono, seringkali keluar dari pakem. Gundono tanpa ragu meruntuhkan standar estetis yang selama ini menjadi tembok penghalang pembaharuan seni wayang.

Sampai sini, kita dapat melihat seberapa jauh Gundono berjalan. Kebebasannya dalam meramu lakon-lakon wayang tidak hanya berhenti pada pengembangan bentuk wayang, melainkan juga dalam cerita-cerita yang ia angkat. Di bawah kendalinya, wayang—terutama wayang suket—menjadi luwes dan tajam secara aktual mengingat ia turut menyertakan narasi-narasi tentang permasalahan sosial.

Pada hari ini, 5 Januari, empat tahun yang lalu, Gundono meninggal dunia akibat komplikasi dalam tubuhnya. Konon, dalam tidur tenangnya, senyum tulus mengembang dari bibir Gundono. Entah pertanda apa, yang jelas, ia telah menyelesaikan misinya.

Baca juga artikel terkait KESENIAN DAERAH atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan