Menuju konten utama

Ariyah dari Jembatan Ancol dan Perlawanan Terhadap Premanisme

Kisah Ariyah mengingatkan kita kembali akan berbagai ketidakadilan dan penindasan di Indonesia.

Ariyah dari Jembatan Ancol dan Perlawanan Terhadap Premanisme
Karim (Gusty Pratama) sedang digorok oleh centeng Juragan Tambas dalam pentas teater “Ariyah dari Jembatan Ancol” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2023). (FOTO/courtesy of Image Dynamics/bangjose)

tirto.id - Masa lampau sesungguhnya tak pernah melangkah jauh meninggalkan masa kini. Keduanya seringkali berkelindan dalam suratan takdir yang teramat pelik. Realita ini disajikan dengan gemilang dalam pementasan Ariyah Dari Jembatan Ancol yang berlangsung di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, tanggal 27 - 28 Juli lalu.

Lakon bergenre horor ini mengambil inspirasi dari legenda urban yang sudah sangat masyhur di ibukota, Si Manis Dari Jembatan Ancol.

Disutradarai Heliana Sinaga dan Joned Suryatmoko, pagelaran ini mencuplik fragmen kehidupan di tahun 1817, saat tokoh utamanya Ariyah disinyalir pernah hidup, dan tahun 2023, dimana rohnya konon masih menggentayangi kawasan Jakarta Utara.

Pementasan dibuka dengan bunyi desir angin, derik jangkrik dan lolongan anjing yang bersahut-sahutan dari arah panggung. Kemudian, layar pun terangkat diiringi sajian orkes Betawi yang dimainkan secara live oleh pemusik-pemusik yang berjejer di depan.

Di atas panggung, pada sisi kiri, tampak sebuah rumah kayu sederhana. Di teras rumah tersebut, Ariyah, yang diperankan oleh Chelsea Islan, tampak sedang pamit untuk pergi bekerja pada ibunya, Mak Sabilah, yang diperankan artis asal Tanah Luwu, Ririn Ekawati.

Namun sebelum melangkah keluar rumah, dua orang centeng yang diutus Juragan Tambas menghadang Ariyah sambil menyerahkan tagihan hutang keluarganya yang nilainya terus bertambah. Gelak tawa mereka di hadapan dua perempuan miskin yang sedih dan kebingungan itu terdengar sangat jumawa.

Lampu panggung di sebelah kiri kemudian dipadamkan. Pentas beralih ke sisi kanan, dimana terdapat set interior rumah modern, yang terdiri dari ruang tamu dan dapur, lengkap dengan perangkat-perangkat elektronik terkini. Di dalamnya terlihat seorang ibu muda bernama Yulia, yang diperankan oleh Mikha Tambayong, sedang didesak untuk angkat kaki dari rumahnya sendiri oleh dua preman suruhan mafia tanah.

Tubuh dan suara Yulia bergetar saat bersikeras mempertahankan rumah milik almarhum suaminya, yang surat-suratnya berhasil digandakan oleh mafia tanah tersebut. Namun preman-preman itu bergeming, sementara bayi Yulia menangis kencang di buaiannya.

Dengan menghadirkan dua zaman yang berbeda, Ariyah seakan menelanjangi suatu realita yang sudah mendarah daging di ibukota selama ini, yaitu premanisme, dimana yang lemah hanya menjadi bulan-bulanan bagi mereka yang kuat dan berkuasa.

Hantu yang Menyampaikan Rasa

Pementasan ini diproduksi oleh Titimangsa dengan dukungan dari Bakti Budaya Djarum Foundation.

“Pertunjukan Ariyah ini bisa dibilang pertunjukan yang berani dan kritis bagi kami,” Happy Salma, produser dan pendiri Titimangsa, mengatakan.

Yayasan nirlaba ini ternyata sudah meriset legenda urban Si Manis Dari Jembatan Ancol sejak dua tahun lalu untuk program siniar (podcast) Sandiwara Sastra yang diselenggarakan bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Dua tahun lalu, kami riset tentang hantu-hantu di Indonesia, terutama urban legend-nya,” Happy Salma menjelaskan. “Dari semua cerita dari Aceh, Papua (dan) Jakarta, kami menemukan satu benang merah bahwa yang dikatakan hantu adalah representasi perasaan manusia yang tak tersampaikan.”

“Di Jakarta sendiri, (perasaan tak tersampaikan) itu muncul dari premanisme,” lanjut Happy. “Dari masa lalu (hal) itu sudah ada. Perampasan lahan, dan lain sebagainya.”

Kisah ini kemudian ditulis ulang oleh penulis sastra Kurnia Effendi dengan mengambil sebuah sudut pandang baru.

“(Kisah) Si Manis Dari Jembatan Ancol mungkin sudah ratusan kali diceritakan dalam berbagai bentuk, baik film maupun sandiwara di panggung,” Kurnia menjelaskan. “Jadi harus ada versi yang berbeda.”

Infografik Ariyah

Infografik Ariyah. tirto.id/Quita

Hantu yang Menyampaikan Pesan

Di panggung, konflik meruncing seiring dengan memuncaknya nafsu Juragan Tambas melihat kemolekan Ariyah. Dengan semena-mena, ia menaikkan bunga hutang keluarganya hingga jumlahnya tak mungkin lagi terbayarkan.

Aktor kawakan Ario Bayu memerankan dengan sangat baik kedua karakter antagonis utama di pementasan ini, yaitu sang rentenir di era 1817 dan kepala mafia tanah di tahun 2023.

Intimidasi yang dilakukan secara konsisten oleh Juragan Tambas dan centeng-centengnya membuat Ariyah dan ibunya kalut. Mak Sabilah berniat untuk menjual rumah mereka demi melunasi hutang. Namun sang rentenir dan anak buahnya memastikan bahwa tidak ada orang yang berani membeli agar Ariyah bisa jatuh ke pelukannya.

Saat terdesak, Ariyah mengatakan bahwa ia bersedia untuk menjadi jaminan bila hutang-hutang mereka tidak bisa dilunasi. Suatu kalimat yang sebenarnya sudah ditunggu-tunggu oleh Juragan Tambas.

Bersama kekasihnya, Karim, gadis ini bekerja keras membuat dan menjual kue-kue kayu manis, yang kabarnya sangat digemari wanita-wanita Belanda yang tinggal di Batavia saat itu. Namun segala daya upaya mereka tidak pernah cukup, bahkan untuk sekadar membayar cicilan yang ditetapkan sang rentenir.

Saat Karim, yang diperankan oleh aktor dan penyanyi Gusty Pratama, berinisiatif menghadap Juragan Tambas untuk bernegosiasi, dia malah ditangkap oleh centeng-centengnya dan dibunuh.

Ariyah yang menanti kekasihnya di toko kue merasa khawatir saat mendengar bahwa Karim pergi menemui sang rentenir dan tak kunjung pulang. Ia pun mendatangi kediaman Juragan Tambas dan kembali ditertawakan karena kepolosan dan ketidakberdayaannya.

Benak Ariyah semakin kisruh saat sang juragan mengatakan bahwa kekasihnya sudah dibantai oleh para anak buahnya. Meyakini mayat Karim dibuang dari Jembatan Ancol, yang waktu itu terkenal sebagai tempat pembuangan hewan, Ariyah pun berlari ke sana. Centeng-centeng sang juragan mengejar dan berusaha menangkapnya, namun Ariyah melawan hingga terkena tebasan golok. Mayatnya pun dibuang dari jembatan legendaris tersebut.

Beralih ke tahun 2023, Ariyah yang merasa dirinya masih hidup bergentayangan mencari Karim dan ibunya.

“Dalam kisah (urban legend) yang beredar, munculnya Si Manis itu membuat celaka laki-laki yang nggak bener,” kata penulis naskah Kurnia Effendi. “Nah, ini sebenarnya suatu kesalahpahaman karena ada indikasi bahwa Si Manis itu sebenarnya cuma ingin menyampaikan pesan.”

Dalam penjelajahannya, Ariyah berteman dengan seorang penjaga malam di seputaran Ancol, yang dilakoni oleh aktor teater senior Joind Bayuwinanda. Di malam-malam sepi, keduanya saling bertukar cerita dan keluh kesah dalam logat Betawi yang kental.

“(Berbicara dengan logat Betawi) memang bisa dibilang challenging pas awal-awal karena bukan bahasa yang kita gunakan sehari-hari,” Chelsea Islan menuturkan. “Tapi karena kita tiap hari latihannya jadi sekarang sudah lancar.”

Menjelang pementasan, semua aktor yang terlibat berlatih mulai jam 1 siang hingga jam 10 malam setiap harinya selama lebih dari dua bulan.

“Kalau di teater itu memang harus banyak berlatih,” Chelsea menjelaskan. “Prosesnya sangat panjang.”

Mikha Tambayong, aktris yang terbilang sering membintangi film-film bergenre horor, mengaku banyak belajar dari sesi-sesi latihan mereka yang panjang.

“Walaupun aku baru saja habis shooting film horor, tapi ini beda banget,” Mikha mengatakan. “Buat aku, (akting di teater) jauh lebih susah. Berakting saat semua mata (penonton) tertuju pada kita (dan) tidak bisa ada take dua itu, menurut aku, jadi tantangan terbesar.”

Meski demikian, Mikha tampil brilian sebagai Yulia. Ekspresi tubuh dan suaranya prima dalam merepresentasikan ketakutan dan rasa tertekan akibat intimidasi preman-preman dan hantu-hantu yang bermunculan di rumahnya.

Penampilan para memedi di lakon horor ini juga patut diapresiasi. Tidak mudah menghadirkan ketakutan di antara audiens yang tak bersekat dari panggung. Kemunculan mereka yang senyap tanpa cekikan khas hantu-hantu Indonesia justru mengejutkan dan membuat beberapa penonton wanita terpekik. Pencahayaan, tata suara dan musik bertempo lambat yang disajikan juga mampu membawa suasana makin mencekam.

Hantu Jenglot yang ditampilkan dengan tubuh berlumuran tanah dan hanya bercawat putih dilakoni oleh koreografer dan penari balet handal Siko Setyanto. Perannya berhasil mencuri perhatian dengan gerak tubuh yang melenting dan menekuk-nekuk tak wajar.

Ballerino asal Solo ini mengaku senang dapat menokohi hantu Jenglot.

“Ketika diajak (berperan dalam ‘Ariyah’) dan (ditunjuk) jadi Jenglot, saya senang luar biasa,” kata Siko sambil tertawa. “Saya dulu waktu kecil kepengen banget tahu (Jenglot) ini kalo digerakkan kayak apa sih.”

Hantu Putih yang diperankan oleh seniman tari Josh Marcy justru mengundang tawa. Dengan wajah, jubah, kuku-kuku panjang dan rambut gimbal menjuntai yang serba putih, kehadirannya terasa komikal alih-alih menakutkan.

Teror yang sesungguhnya hadir lewat bentakan, sindiran, ejekan dan ancaman-ancaman keji yang dilontarkan para juragan dan preman-preman bayaran mereka terhadap Ariyah, Mak Sabilah dan Yulia.

“Di masa lalu sampai sekarang, sebenarnya penindasan, penjajahan dan penekanan terhadap perempuan masih berlaku,” ujar penulis naskah Kurnia Effendi menjelaskan.

Teater Ariyah dari Jembatan Ancol

Mak Sabilah (Ririn Ekawati), Ariyah (Chelsea Islan), Juragan Tambas (Ario Bayu) dan centengnya sedang membahas hutang-hutang keluarga Ariyah yang terus bertambah dalam pentas teater “Ariyah dari Jembatan Ancol” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2023). (FOTO/courtesy of Image Dynamics/bangjose)

Hantu yang Melawan

Pementasan dua jam ini mencapai puncaknya saat Ariyah dan Yulia bersinergi melawan mafia tanah yang hendak mengambil alih rumah janda beranak satu itu.

Momen ini juga berhasil mempertemukan Ariyah dan kekasihnya, yang selama ini ternyata terkubur tepat di bawah dapur rumah Yulia. Di tahun 2023, lebih dari dua abad sejak kematiannya, Karim pun akhirnya mendapatkan penguburan yang layak.

Di penghujung cerita, momen emosional terjadi saat Ariyah dan Yulia berjalan berhadapan dari ujung kanan dan kiri panggung menuju ke tengah. Saat berdiri berdepan-depanan, keduanya saling merentangkan tangan namun tidak bersentuhan, seakan menegaskan sokongan mereka untuk satu sama lain walau berbeda alam.

Panggung kemudian digelapkan. Tepat ketika para penonton mengira bahwa pertunjukan sudah usai, lampu-lampu kembali menyala. Tampak Ariyah duduk sendiri di ruang tamu rumah Yulia dengan rambut terjuntai dan tangan terentang di atas sofa merahnya.

“Saya masih di sini,” ujarnya dengan suara berat.

Tepuk riuh penonton pun membahana dari seluruh penjuru teater.

“Ini merindingnya masih berasa,” kata ko-produser Melyana Tjahyadikarta sambil mengusap kedua lengannya saat keluar dari ruang pertunjukan. “Semua pemain bermain dengan serius dan luar biasa.”

“Cerita ini juga membuat kita berpikir apa dan siapa yang sebenarnya menghantui kita selama ini,” lanjutnya lagi.

Kisah Ariyah mengingatkan kita kembali akan berbagai ketidakadilan dan penindasan yang masih merundung kaum papa di Jakarta dan berbagai kota-kota lain di Indonesia.

Dan hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama, alih-alih menunggu suatu kekuatan gaib untuk berpihak pada yang lemah.

Pementasan ini juga membuktikan bahwa teater merupakan media yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, sekaligus mencerahkan wawasan kita tentang sejarah.

Ariyah Dari Jembatan Ancol adalah karya seni yang sudah membawa kita menyelami arus zaman, memahami realitas kompleks yang terjadi di dalamnya, sekaligus menggugah kita untuk terus memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi semua.

Baca juga artikel terkait PERTUNJUKAN atau tulisan lainnya dari Sylviana Hamdani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Lilin Rosa Santi