tirto.id - Oh cahaya, akhirnya kita sampai juga
Temukannya, sinarnya pun dibagi rata
Berbinar-binar hidup bergelora
Oh cahaya la-la la la-la lala-lala
("Biru" – Efek Rumah Kaca)
Saya kira sebait lagu Efek Rumah Kaca (ERK) dari album Sinestesia itu mampu menggambarkan keriangan sekaligus kehidmatan Konser Rimpang malam itu (27/7 2023).
Lagu ke-24 dari 27 total lagu yang dibawakan ini mengajak semua para Penerka, begitu julukan penggemar mereka, yang memadati Tennis Indoor Senayan berkaraoke massal:
Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan
Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan
Pasar bisa diciptakan
Tiga ribu penonton kompak melakukan sing-a-long sepanjang konser, khususnya saat sesi kedua, Menjalar, dimulai.
Jumlah ini saya kutip dari Cholil Mahmud (sang vokalis dan gitaris) kepada Adrian Yunan Faisal (bintang tamu dan mantan basis ERK) sesaat sebelum "Putih" berkumandang: (kurang lebih) ”Adrian, tuh tiga ribu orang memenuhi Tennis Indoors malam ini...”
Mereka berjingkrakan, bertepuk tangan, dan mengapresiasi ERK dan semua musisi tamu yang mengisi acara. Persis seperti lirik lagu "Fun Kaya Fun" yang dinyanyikan di urutan keempat, saat sesi pertama, Rimpang:
Bagai gendam, orang-orang berjingkrakan
Kerasukan
Bebunyian, menyentuh jiwa-jiwa
Bergetaran
Hiruk pikuk dan antusiasme partisipatif penonton ini adalah sesuatu yang paling dirindukan semua pihak pencinta musik live, setelah sekitar dua tahun segala konser luring vakum.
Dan melihat perayaan meriah lautan manusia ini, sekaligus menjadi bukti konkret pengejawantahan keyakinan ERK selama ini: ”Pasar bisa diciptakan!”
Kesan Spiritual yang Kental
Tapi ada hal lain yang berbeda malam itu. Betapa madani-nya konser semalam. Begitu spiritual. Lirik dan musik yang sudah terasa madani, diperkuat oleh tata cahaya dan tata artistik.
Cahaya dalam bentuk musik dan lirik yang mencerahkan itu sesuai dengan tajuk sesi kedua, Rimpang, yang artinya umbi yang bercabang-cabang, menjalar ke orang-orang yang mendengarkannya.
Hal ini yang, salah satunya, yang membuat penonton berbondong-bondong tidak hanya merayakan album Rimpang, tapi juga 16 tahun perjalanan ERK terhitung album pertamanya, 2007.
Kostum para musisinya, yang serba putih, juga bisa dimaknai dengan “cahaya” yang mereka bawa ke panggung malam itu.
Kata Soleh Solihun, kostum mereka seperti sekte. Bagi saya, kostum mereka mengingatkan saya pada kelompok Soneta pimpinan Rhoma Irama — sebuah pelopor kelompok musik yang juga mengusung kemadanian dan menciptakan pasarnya sendiri.
Spiritualitas ini paling terasa di lagu "Putih". Lagu yang mengisahkan tentang siklus kehidupan dan kematian, begitu menggetarkan hati saat dibawakan live, dengan kostum serba putih dan tata artistik yang seakan dibanjiri nur. Dan kehadiran Adrian memperkaya keharuan itu:
..dan tahlilan dimulai
doa bertaburan terkadang tangis terdengar
akupun ikut tersedu sedan
akhirnya aku usai juga
Dan tibalah pertanyaan kubur itu:
...dalam dirinya terhimpun alam raya semesta
dalam jiwanya berkumpul hangat surga neraka
hingga kan datang pertanyaan segala apa yang dirasakan
tentang kebahagian, air mata bercucuran
hingga kan datang ketakutan menjaga keterusterangan
dalam lapar dan kenyang, dalam gelap dan benderang
tentang akal dan hati, rahasianya yang penuh teka-teki
tentang nalar dan iman, segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
dan tentang kebenaran juga kejujuran.
Lirik, musik, atraksi visual, berkelindan menyemburat dan mengingatkan pada zikrul maut (renungan tentang kematian). Beberapa orang mengaku terharu dan menangis, menghayati lagu itu. Apalagi, konser itu dipadupadankan dengan tata artistik dan tata cahaya yang spektakular.
Lagu kedua yang lebih terasa hingga nurani adalah "Debu-Debu Berterbangan", sebuah tafsiran surat al-ashr. Lagu ini hanya berselang satu lagu dari "Putih":
Pada saatnya nanti
Tak bisa bersembunyi
Kitapun menyesali, kita merugi
Pada siapa mohon perlindungan
Debu-debu berterbangan
”Aku sejak 2018 nggak pernah mau dengar 'Debu-Debu Berterbangan' karena saat gempa tsunami aku gak sengaja keputer itu. Jadi bikin aku trauma,” ujar seorang kawan dari Palu yang turut menonton. Bisa dibayangkan perasaannya ketika mendengarkan lagu itu untuk pertama kalinya setelah lima tahun.
Cahaya kemadanian itu juga terlihat dengan kuatnya aktivisme yang merupakan tafsiran dari lagu-lagunya. Adrian, yang muncul di setiap lagu-lagu dari album Sinestesia juga menggetarkan saat membacakan daftar orang hilang di lagu "Jingga", yang berkisah orang hilang dan gerakan kamisan:
Dedy Hamdun HILANG Mei 97
Ismail HILANG Mei 97
Hermawan Hendrawan HILANG Maret 98
Hendra Hambali HILANG Mei 98
M Yusuf HILANG Mei 97
Nova Al Katiri HILANG Mei 97
Petrus Bima Anugrah HILANG Maret 98
Sony HILANG April 97
Suyat HILANG Februari 98
Ucok Munandar Siahaan HILANG Mei 98
Yadin Muhidin HILANG Mei 98
Yani Afri HILANG April 97
Wiji Tukul Mei 98
Dan ”Cahaya’ kembali disebut di lagu ini:
Ku bermandi cahaya mentari
Mendarah mendaging
Dan menjadi energi
Ku menelan cahaya rembulan
Menjadi harapan,
Nyala tak terperikan
Bintang tamu Ubiet Nyak Ina Raseuki dengan cengkok khasnya itu menambah suasana magis di lagu itu.
Sebelumnya, di sesi pertama, bersama Morgue Vanguard, ERK mengumandangkan "Bersemi Sekebun", sebuah tembang yang juga menyelipkan kemadaniannya. Menyatakan bahwa aktivisme yang mereka lakukan adalah bagian dari keluhuran, bagian dari cahaya. Dan juga seonggok doa:
Adalah bentuk keluhuran
Merongrong kuasa yang tiran
Di jalan bersama kalian
Doa orang tua terngiang
Kawan bergandengan lengan
Harap jangan gelap kelam
Setelah usai lagu itu, Morgue Vanguard mengingatkan lautan manusia itu. Sebuah pesan yang bikin bergidik:
”Untuk kawan-kawan di Halmahera Timur,yang memblokade kapal tongkang tambang yang merampas dan yang merusak ekosistem mereka."
"Untuk kawan-kawan di Malang, yang di bui, dan melanjutkan barisan pengingat pasca tragedi Kanjuruhan”.
“Kirim salam” itu berlanjut terus, termasuk kepada Harris Azhar dan Fatia Maulidiyanty serta warga Wadas dan Kulon Progo, dengan salam:
“Untuk semua kawan-kawan yang berada di daftar panjang pertahanan di hadapan Babylon. Bertahanlah sedikit lebih lama. Menebarlah serupa dandelion”
Beberapa lagu lain yang terkait erat dengan aktivisme, yang dibawakan malam itu adalah "Heroik", "Di Udara", dan "Merdeka" sebagai penutup. Sayangnya, dalam konser ini, lagu "Mosi Tidak Percaya" tidak dibawakan. Mungkin karena terlalu malam atau setlist terlalu banyak. Padahal lagu ini termasuk lagu terkeras kritiknya, khususnya menjelang Pemilu Februari 2024.
Malam itu, para musisi tamu pun tak kalah seru. Anda Perdana, dengan gayanya yang khas, melolong membawakan "Desember", sendirian. Paruh pertama dengan bas dan setengah terakhir dengan gitar. Terlihat resonansinya sampai ke pemirsa.
The Adams tampil mengejutkan dengan akapela di pembukaan Cinta Melulu, yang disambut dengan musik utuhnya oleh ERK.
Malam itu, spiritualisme lagu—baik musiknya maupun liriknya-tepancar bagai cahaya, yang “sinarnya pun dibagi rata” ke para Penerka, yang meresponsnya dengan berkaraoke.
Dan tata artistik dan tata cahaya melengkapi pertunjukannya menjadi lebih magis. Mistis. Begitu intim dan dekat. Dan kami, setidaknya saya dan kawan-kawan, pulang dengan “…berbinar-binar hidup bergelora”.
Penulis: Ekky Imanjaya
Editor: Lilin Rosa Santi