Menuju konten utama

Saat Inovasi jadi Strategi Pengenalan Wayang Beber ke Anak Muda

Wayang beber masa kini tidak hanya dinikmati dalam bentuk pertunjukan, tapi juga ada dalam keseharian anak muda.

Saat Inovasi jadi Strategi Pengenalan Wayang Beber ke Anak Muda
Pengunjung melihat pameran dan pertunjukan wayang beber dengan lakon Ande-ande Lumut di Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (28/6/2019). Pagelaran wayang beber ini untuk mengenalkan nilai luhur budaya bangsa melalui wayang beber dengan lakon yang diambil dari cerita panji serta untuk melestarikan wayang tertua di Indonesia ini. Antara Jatim/Syaiful Arif/zk

tirto.id - Siapa bilang anak muda saat ini, terutama Generasi Z tidak tahu wayang beber? Mungkin wayang beber bagi beberapa anak muda terdengar asing di telinga mereka. Namun, beberapa komunitas berhasil mematahkan stigma tersebut.

Komunitas yang sebagian dimotori anak muda dari berbagai daerah mempunyai benang merah yang sama untuk mengenalkan tradisi ini kepada generasi muda Indonesia, dengan cara-cara baru yang lebih mudah dipahami.

Wayang beber, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan lukisan wayang yang dibuat pada kertas gulung, berisikan cerita inti dari lakon yang akan dikisahkan oleh dalang, dimainkan dengan cara membeberkannya. Cara memainkannya dengan dibentangkan sesuai bagiannya, dan dalang bercerita. Kemudian digulung lanjut ke bagian berikutnya.

Wayang beber saat ini ada 2 jenis, yaitu tradisi dan kontemporer. Wayang beber tradisi bercerita tentang cerita pakem Panji dan di Indonesia hanya 2 yang tersisa yakni di Pacitan dan Gunung Kidul, Yogyakarta.

Sementara, wayang beber kontemporer yang saat ini lebih berkembang, dari yang hanya seni pertunjukan lalu mengalami evolusi yang seiring dengan perkembangan zaman. Wayang beber kontemporer banyak bercerita tentang isu-isu kekinian yang menjadi keresahan seniman pelukisnya.

Seorang seniman asal Solo dan pendiri Wayang Beber Kota, Dani Iswardana, mengatakan, “Banyak sekali permasalahan yang terjadi di kota dan semakin kompleks, seperti misalnya, keberadaan pasar tradisional yang kalah dengan mal, ini menjadi inspirasi saya untuk membuat lukisan dan ide wayang beber,” ungkap seniman yang mulai berkiprah sejak tahun 2004 ini.

Dani mengaku selalu ide dalam karyanya terinspirasi dari hal-hal yang ia temui sehari-hari. Atas ketekunannya, ia berhasil mengenalkan hasil karya wayang beber buatanya ke mancanegara, mulai dari Singapura, Malaysia, Jepang hingga Perancis, melalui program kesenian yang ia ikuti.

“Saya mengadakan workshop dan pameran di sana, sekaligus belajar budaya negara lain,” jelasnya. Selain ke luar negeri, ia juga sering pentas di beberapa kota di Indonesia, bahkan di acara bersih desa. Dani beranggapan, wayang beber merupakan media storytelling yang dapat menyampaikan suatu pesan bagi masyarakat.

Berbeda dengan Dani, Karin Intan Liliana, (22), mahasiswa DKV Universitas Petra, Surabaya ini awalnya tidak tahu sama sekali tentang wayang beber. Dia yang asli Solo saat itu sedang melakukan riset untuk tugas akhirnya, dan menemukan wayang beber.

“Saya tahunya wayang kulit dan orang,dan ternyata ada wayang beber, ini menarik dan saya gali lebih dalam,” jelasnya.

Ia kemudian belajar banyak tentang wayang beber, dan bertemu pelukis wayang beber veteran, Joko Sri Yono. Bulan Maret lalu, ia menginisiasi komunitas Dibeberke, berupa kampanye sosial yang fokus memperkenalkan wayang beber untuk anak muda di Solo.

Karin bekerjasama dengan Soerakarta Walking Tour dan Rumah Budaya Keraton membuat suatu event kolaborasi.

“Spesial tur dan workshop, yang bertema tentang wayang beber. Peserta yang ikut berjumlah 24 orang, mereka belajar tentang sejarah wayang beber, melihat langsung artefak yang digambar di kertas daluang, sambil berjalan-jalan ke Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka. Kemudian diskusi dengan pak Joko Sri Yono, dan terakhir ada workshop melukis manual wayang beber di atas tote bag,” jelas Karin.

Peserta yang terdiri dari usia milenial dan Gen Z ini sangat tertarik dengan kegiatan komunitas itu.

“Meski awalnya asing di telinga mereka, setelah tahu, mereka mengapresiasi. Tidak harus menekuni, mengenal sedikit saja itu menjadi trigger untuk cinta akan budaya,” ungkap Karin.

Ia menambahkan, “Dari pihak yang mengenalkan juga harus berinovasi. Anak muda sangat visual, maka perlu kegiatan yang ringan, agar semua indera terpakai, caranya, memberi pengalaman langsung bagi mereka. Pengemasannya harus bagus agar mereka tertarik.”

Berkolaborasi dengan Anak Muda

Hampir sama dengan Karin, Faris Wibisono (31), lebih dulu getol mengenalkan wayang beber di daerahnya dengan menggagas Wayang Beber Tani di Wonogiri sejak tahun 2014. Faris adalah dalang sekaligus pelukis wayang beber kontemporer.

Wayang Beber Tani banyak bercerita tentang isu lingkungan, peraturan musim nusantara yang terlupakan.

“Saya hidup di pegunungan kars Wonogiri yang hanya mengandalkan air bawah tanah tanah, untuk itu perlu merawat keberadaan punden (pohon besar),” jelasnya.

Pasca-pandemi ia bergerak cepat ke arah digital dengan menciptakan Wayang Beber Rebel. Ia tak lagi melukis manual, tetapi menggunakan aplikasi di tablet dan mencetaknya dengan teknik digital printing.

“Tidak lagi kain belacu atau daluang, tapi menggunakan katun dengan ketebalan tertentu.”

Menurutnya, wayang beber masa kini tidak hanya dinikmati dalam bentuk pertunjukan saja, tapi juga ada dalam keseharian anak muda. Wayang beber bisa ada di topi, hoodie, jaket, sepatu, helm dan lain sebagainya.

“Dengan cara inilah, mereka memaknai wayang lebih ringan, wayang tidak lagi kaku dan rumit, namun menjadi kebanggaan bagi mereka,” jelasnya.

Faris mengaku anak muda lokal banyak terinspirasi darinya. “Kami saling melengkapi, ada penjahit, penyablon, saling menopang satu sama lain, penting agar mereka tetap di desa dan meregenerasi tradisi yang ada,” ujar Faris.

Menurutnya, yang ia lakukan adalah bentuk menyikapi perubahan global agar dapat beradaptasi dengan teknologi dan pola pikir.

“Wayang adalah produk kontemporer yang harus relate secara ruang dan waktu yang bisa dinikmati 10 atau puluhan tahun mendatang.”

Infografik Wayang Beber

Infografik Wayang Beber. tirto.id/Fuad

Kawin dengan Teknologi

Selain Faris yang menyikapi evolusi wayang beber menjadi barang yang dapat dibanggakan anak muda, di Jakarta, ada Samuel Santosa Adi Prasetyo yang mengembangkan komunitas Wayang Beber Metropolitan sejak tahun 2010.

“Lahir di metropolitan, bukan Jakarta saja, boleh dibilang tempat muaranya perubahan. Solo pun akan jadi metroplitan, keniscayaan pasti akan terjadi,” jelasnya. Samuel banyak melibatkan mahasiswa dalam mengelola komunitasnya.

Sama dengan ketiga pegiat wawang beber di atas, Dani, Karin, dan Faris yang secara aktif membagikan kegiatannya melalui media sosial seperti Instagram dan Youtube.

Hal lain yang dilakukan Samuel adalah membawa wayang beber ke podcast yang bisa didengarkan melalui aplikasi Spotify, dengan nama Pakeliran Indonesia.

“Saya mencoba mengembalikan memori kolektif budaya mendengarkan wayang zaman dahulu dari radio berpindah ke podcast,” jelas Samuel, yang ia mulai sejak tahun lalu. Wayang beber hanya visual yang tidak bergerak, yang membuatnya hidup adalah dalang yang bercerita.

“Bunyi masuk ke telinga, dan akan disimpan semasa hidup, podcast ini cocok untuk orang-orang yang tidak fokus di visual, bisa juga menjawab kebutuhan manusia yang semakin sibuk, karena bisa didengarkan sambil menyetir atau melakukan kegiatan lain.”

Hampir sama dengan Karin, Samuel berpendapat, generasi muda saat ini bukan lari dari tradisi, tetapi tradisi yang tidak bisa berbaur dengan mereka. “Asalkan seorang seniman hadir dan berdialog dengan mereka, mereka paham dan mau ikut membantu.”

Untuk itulah, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia ketika bertutur (mendalang) wayang beber.

“Komunikasi menjadi hal penting yang dapat diterima.”

Kedua, menjadi teman. “Dengarkan saja apa kesukaan anak muda, misalnya anime, memasak, musik blues, dan masuk di dalam dunia mereka, ini bisa menjadi ide cerita baru yang relate dengan mereka,” jelasnya.

Berkolaborasi dengan anak muda juga dilakukan oleh dalang wayang beber asal Pacitan, Ganjar Tri Wicaksono (32). Ia dan kelompoknya, Wayang Beber Sakbendino, secara aktif mengenalkan wayang beber ke sekolah dan pesantren di Pacitan, setiap hari selama setahun pada 2016. Ia melakukan itu karena banyak anak muda di Pacitan yang tidak tahu wayang beber.

Ia mengungkapkan keresahannya, ada artefak wayang beber yang masih tersisa di Pacitan yang namun kondisinya memprihatinkan.

“Kini sudah diambil alih Pemda.” Ia menambahkan, kepedulian akan tradisi Jawa ini tidak hanya peran dari masyarakat saja, namun pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang harus turun tangan untuk mengarsipkannya.

Kalau tidak, harta kekayaan bangsa ini akan lenyap, atau hanya tinggal tulisan, yang sering kali malah ditulis oleh bangsa lain.

Baca juga artikel terkait KESENIAN RAKYAT atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi