tirto.id - Adat dan tradisi penting dalam budaya Indonesia. Namun, tidak berarti bahwa keduanya harus diperlakukan layaknya relik yang tak boleh disentuh atau diotak-atik agar tak retak.
Penata tari asal Minangkabau Gusmiati Suid justru meyakini bahwa pembaharuan adalah kunci untuk menjaga agar adat dan tradisi tetap hidup dan relevan di era modern.
Sebagai pendobrak batas-batas budaya, Gusmiati sering dicibir dan digugat. Namun ia bergeming. Dengan keteguhan, ia menapaki jalan sunyi yang tak dipilih banyak orang. Dedikasi dan prestasi hidupnya telah menoreh catatan yang luar biasa bagi seni tari Indonesia.
Baru-baru ini, peneliti dan mahasiswa pasca sarjana jurusan sejarah dan arkeologi Universitas Indonesia Diana Trisnawati menelusuri kembali arsip-arsip yang tercecer mengenai Gusmiati Suid dan menghimpun enam penulis yang mengenal beliau secara pribadi demi menyusun sebuah buku yang komprehensif mengenai kiprahnya di dunia tari Indonesia.
Buku berjudul Gusmiati Suid: Arsip & Refleksi ini diluncurkan di Studio Tari Salihara, Jakarta Selatan, tanggal 24 Juni lalu.
“Sosok Ibu bisa dikatakan maestro,” Diana mengutarakan pada wawancara eksklusif dengan Tirto.id. “Ibu ini berani menjadi pelopor (yang) memulai suatu kebaruan.”
“Ibu bukan hanya pendobrak tradisi, tapi seorang heroik yang mencoba memajukan kebudayaan Indonesia di dunia,” lanjutnya.
Bertunas dari Akar
“Yang paling penting adalah kita mengerti apa yang kita kerjakan,” kata Gusmiati Suid dalam sebuah video wawancara yang ditayangkan saat peluncuran buku.
“Akar saya adalah dari Minangkabau dan saya harus bertolak dari Minangkabau.”
Putri tunggal keluarga Said Gasim Shahab dan Asiah ini memang dibesarkan dalam tradisi Minangkabau yang kental. Sejak usia 4 tahun, Gusmiati sudah dilatih pencak silat aliran Kumango oleh pamannya sendiri. Selain itu, hari-harinya diisi dengan kegiatan mengaji di surau, sekolah dan belajar tarian tradisi pada bibinya.
Sejak belia, berbagai tarian asli Minangkabau, seperti Tari Sewah dan Mayopado, sudah dikuasainya dengan mahir.
Setamat SMP, Gusmiati mengikuti jejak orang tua dan kakeknya yang berprofesi guru dan menempuh pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Padang Panjang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di kota yang sama, dimana ia kemudian berjumpa dengan pembaharu tarian Minang Huriah Adam (1936 – 1971) dan berguru kepadanya.
“Huriah Adam itu membersihkan tari Minangkabau dari pengaruh tari Melayu,” Nirwan Dewanto, kritikus seni dan budayawan, mengatakan.
“Jadi yang selama ini dikenal sebagai tari Minangkabau adalah tari Melayu yang Orientalistik.”
Bersama Huriah, Gusmiati belajar untuk melihat tarian Minang bukan hanya sebagai warisan budaya yang mati.
“Tradisi bukan sekadar terus-terusan dirayakan, dikagumi keindahannya (dan) dijadikan komoditi,” Bondan Kanumoyoso, dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan sejarawan, mengatakan.
“Tapi Gusmiati bergerak lebih jauh. Tradisi itu diajak berdialog dan kemudian dia mengkritisi, membentuk ulang dan mencoba menyajikan kembali pada masyarakat.”
Alih-alih gemulai dan gempita sebagaimana layaknya tarian Minang biasa disajikan saat itu, koreografi Gusmiati begitu serius dan berapi-api. Penarinya sering mengenakan busana serba hitam dan tampil dengan pandangan mata yang tajam tanpa senyuman.
Berangkat dari seni bela diri asal Minangkabau, Silek, gerakan-gerakan tarinya tegas, sekaligus lembut, diselingi berbagai jungkiran, hantaman dan hentakan keras ke dinding dan lantai.
“Tari tradisional diolah sedemikian rupa oleh Gusmiati melewati batas-batas konvensional yang selama ini kita pahami sebagai sebuah tari,” lanjut Bondan.
Kreasi Gusmiati tampaknya selaras dengan nafas hidupnya.
“Bu Yet (sapaan akrab Gusmiati) itu tipikal yang menduplikasi secara sempurna falsafah Minangkabau ‘alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati’, (yang artinya) alu untuk menumbuk padi itu begitu keras, tapi menginjak semut tidak mati,” seniman dan budayawan asal Sumatera Barat, Edy Utama, mengatakan.
“Dia merefleksikan ketegasan sikap, namun di dalamnya juga ada kelembutan,” Edy melanjutkan.
“Dasar (falsafah Minangkabau) ini yang kemudian memberikan kekayaan kreatif pada Ibu Gusmiati Suid untuk menerjemahkan kehidupan ini dalam cara yang sangat dialektis.”
Ketegasan sikap Gusmiati juga terlihat saat ia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan pegawai negeri yang dianggap sangat ideal saat itu demi meletupkan gairahnya di dunia tari.
“Dua tanggung jawab yang sama-sama besar (sebagai guru dan seniman tari) saya rasakan itu saling bertabrakan kalau saya tidak berani memutuskan mana yang saya pilih,” Gusmiati mengatakan dalam video wawancara yang ditayangkan di Salihara sore itu. “Akhirnya saya berani memutuskan saya harus jadi seniman dan saya berhenti jadi pegawai negeri.”
Untuk mewujudkan ide-ide kreatifnya yang semakin bergejolak, Gusmiati pun mendirikan sanggar tari Gumarang Sakti di kota kelahirannya Batusangkar pada tahun 1982.
Beberapa tahun kemudian, sanggar ini, berikut ketiga anaknya yang masih belia, diboyongnya ke Jakarta saat memutuskan pindah demi karirnya. Dengan uang hasil penjualan rumah dan tanahnya di Batusangkar, ia kemudian membeli sebidang lahan di Depok yang dijadikannya hunian dan studio bagi kelompok tarinya.
“Saya, kalau sudah punya niat melaksanakan sesuatu itu, saya coba semaksimal mungkin dan pantang mundur,” kata sang maestro dalam tayangan video.
“Dan kejelekan saya, sekaligus kelebihan saya, (adalah) keras kepala dan nekad. Banyak hal yang nekad yang saya lakukan dalam hidup ini. Banyak orang yang ngeri melihat kenekadan saya. Tapi itulah saya.”
Di ibukota, Gusmiati leluasa menuangkan kreativitasnya. Ia mengikuti berbagai festival di dalam dan luar negeri dan mendapatkan penghargaan untuk karya-karyanya yang fenomenal.
Pada tahun 1991, Gusmiati dan Gumarang Sakti berhasil memperoleh penghargaan bergengsi New York Dance and Performance Awards, yang juga dikenal sebagai ‘The Bessies’, karena dinilai sebagai penampil terbaik dalam ajang Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) yang diselenggarakan di Joyce Theater, New York.
Beberapa tahun kemudian, Gumarang Sakti juga terpilih menjadi satu-satunya wakil dari Asia untuk tampil dalam pagelaran 100 Jahre Moderner Tanz, International Festival NRW, di Jerman.
Dihantui Ide-ide Kreatif
“Panas tembaga jangan dituang,
Bila dituang melebuh diri.
Adat adab kearifan budaya harus kita julang,
Kita jadikan perisai negeri.”
“Kira-kira seperti itu pencarian Ibu (Gusmiati),” kata seniman musik tradisi, Epi Martison, saat mengomentari tentang sosok sang koreografer.
Gelisah dan tak pernah puas begitulah sosok Gusmiati di mata para sahabat-sahabatnya.
“Dia selalu dihantui ide-ide untuk karya berikutnya,” Nirwan Dewanto menjelaskan. “Dan ternyata, produksinya setahun satu. Itu luar biasa bagi seorang koreografer.”
Ketidakpuasan inilah yang juga memicu sang penata tari untuk terus mencipta.
“Saya tidak pernah merasa puas, apalagi merasa bangga dengan sebuah karya,” Gusmiati mengatakan dalam cuplikan videonya. “Karena saya mengira proses itu jalan terus yah. Dan apa yang saya buat sebulan yang lalu, terasa betul bodoh saya, apabila saya lihat sekarang.”
Selama hampir empat dasawarsa kiprahnya di dunia tari Indonesia, Gusmiati telah menelurkan 37 koreografi tari dengan durasi yang beragam.
Yessy Apriati, putri bungsu Gusmiati dan direktur Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF), tampak berseri saat menerima buku yang baru diterbitkan itu dari tim penyusun.
“Untuk langkah awal, ini saya puas,” wanita berusia 54 tahun itu mengatakan. “Metoda dan cara kerja Gusmiati Suid terlihat di buku ini.”
Bagi Yessy, Gusmiati adalah sosok pekerja keras yang menerapkan disiplin tanpa tedeng aling-aling. Uni Eci, begitu putri sang maestro ini sering disapa, sudah ikut berlatih bersama sanggar tari Gumarang Sakti sejak masih sangat belia.
“Beliau sangat keras,” Yessy menuturkan. “Dalam kelompok, ibu tidak membeda-bedakan mana yang anak, mana yang penari. Kita semua diperlakukan dengan disiplin yang sama. Dan sekarang, saya membentuk kelompok kerja dengan disiplin yang sama yang saya terima dari ibu. Dengan kerja keras yang sama. Dengan totalitas yang sama.”
Meskipun dikenal galak dan tak segan-segan berdebat dengan sahabat-sahabatnya, Gusmiati ternyata merupakan sosok pemikir kritis yang selalu dirindukan.
“Saya cuman kenal Ibu empat tahun terakhir hidupnya, tapi cukup intense,” Helly Minarti, peneliti dan kurator independen, mengatakan. “Gusmiati, biasanya dengan rokok kretek di tangan dan kopi hitam bercangkir-cangkir, mengajak para sahabatnya bersilat lidah. Ia sengaja memantik perdebatan atas isu-isu seni atau sosial.”
Saat ini, Helly, bekerja sama dengan Salihara, sedang mendigitalisasi beberapa karya dan arsip-arsip Gusmiati.
“Adalah penting membaca rekam jejak Gusmiati Suid, bukan untuk mengglorifikasi sosoknya sebagai seorang seniman besar, melainkan agar kita dengan membaca kritis proses berkaryanya bisa makin memahami Indonesia di zaman sang seniman ini hidup sebagai salah satu mosaik yang membentuk sejarah perjalanan seni tari Indonesia,” ujar Helly.
“Penting bagi kita untuk tahu dari mana kita,” tukasnya lagi.
Gusmiati Suid memang telah meninggalkan warisan berharga dalam seni tari Indonesia. Sebagai seorang pionir yang menggabungkan tradisi dan inovasi, karya-karyanya yang penuh semangat dan eksplorasi telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan seni tari tanah air. Kreasinya juga telah menginspirasi banyak seniman muda untuk berani bereksperimen dan menembus batasan-batasan konvensional dalam budaya.
Gusmiati Suid adalah bukti bahwa adat dan tradisi dapat terus hidup dan bernas dalam konteks zaman yang terus berubah.
Penulis: Sylviana Hamdani
Editor: Lilin Rosa Santi