Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Zainul Arifin, Kiai NU yang Menjadi "Perisai" Bung Karno

Bahu Zainul Arifin terkena peluru dalam percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno oleh anggota DI/TII pada 1962. Ia memang selamat, tapi kesehatannya menurun gara-gara penembakan itu.

Zainul Arifin, Kiai NU yang Menjadi
KH. Zainul Arifin. FOTO/nu.or.id

tirto.id - Rangkaian salat Idul Adha pada Rabu pagi tanggal 14 Mei 1962 pagi itu semula berjalan lancar. Para pejabat dan orang-orang penting lainnya bersama-sama hadir di kompleks Istana Negara Jakarta, termasuk Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Zainul Arifin.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Idham Chalid bertindak sebagai imam. Adapun khatibnya adalah A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Wakil Menteri Pertama Bidang Pertahanan dan Keamanan/KSAD.

Zainul Arifin menempati baris paling depan, di sisi kanan Jenderal Nasution yang bersebelahan dengan Presiden Sukarno. Sementara di samping kiri Zainul Arifin ada Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri.

Setelah rukuk pada rakaat kedua, tiba-tiba terdengar pekik takbir dari arah belakang saf pertama, tepatnya dari barisan keempat yang berjarak kurang dari 6 meter, disusul beberapa kali suara letusan pistol yang memecah kekhidmatan sekaligus menimbulkan kepanikan.

Dari barisan terdepan, sesosok tubuh ambruk. Zainul Arifin terkulai di atas sajadah dengan bahu berlumuran darah. “Saya kena,” ucapnya lirih sembari terus melafalkan zikir.

Beruntung, peluru hanya menyerempet bahu kirinya, sedikit lagi jantungnya bisa saja kena. Nyawa Zainul Arifin dapat diselamatkan kendati kejadian tersebut ternyata meninggalkan dampak buruk baginya. Sepuluh bulan berselang, Zainul Arifin wafat.

Kiprah Panglima Hizbullah

Zainul Arifin Pohan lahir pada 2 September 1909 di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Menurut E. K. Siahaan dalam K.H. Zainul Arifin (1984), Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan pendidikan calon guru di Kerinci, Jambi, juga memperdalam ilmu agama dengan bimbingan para ulama, ia merantau ke Batavia (Jakarta) pada 1925. Saat itu, usianya baru 16 (hlm. 32).

Banyak yang dilakukan Zainul Arifin di pusat kolonial Hindia Belanda itu. Ia sempat bekerja di perusahaan air minum milik pemerintah kotapraja (Gementee) selama 5 tahun sebelum terkena pemutusan kerja karena resesi global. Setelah itu, Zainul Arifin mengabdi sebagai guru sekolah dasar dan menggagas Perguruan Rakyat di kawasan Meester Cornelis atau Jatinegara.

Zainul Arifin sangat tertarik dengan kebudayaan Betawi dan Melayu. Ia terlibat aktif dalam berbagai kegiatan seni-budaya Betawi. Zainul Arifin yang menguasai bahasa Belanda juga kerap bertindak sebagai pokrol bambu—semacam pengacara tanpa latar belakang pendidikan hukum—untuk warga Betawi yang membutuhkan.

Pada masa inilah Zainul Arifin bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor sekaligus anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang membentuknya sebagai sosok cendekiawan berbakat. Kariernya di organisasi Islam yang lahir pada 1926 ini melesat dengan cepat. Zainul Arifin pun menempati posisi sebagai Ketua Cabang NU Jatinegara, kemudian Ketua Majelis Konsul NU Batavia hingga kedatangan Jepang pada 1942.

Di era pendudukan Dai Nippon, peran Zainul Arifin semakin sentral. Ia menjadi wakil NU di kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk pada 1943. Selain itu, Zainul Arifin juga turut menggagas pembentukan laskar Hizbullah dan mendapatkan pelatihan militer dari Jepang dalam rangka Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu.

Hizbullah (Tentara Allah) adalah salah satu laskar semi militer di Indonesia bentukan Jepang, selain Pembela Tanah Air (PETA) dan lain-lainnya. Hairus Salim H.S. dalam Kelompok Paramiliter NU (2004) menyatakan, Zainul Arifin selaku Ketua Markas Tertinggi Hizbullah mengingatkan akan pentingnya latihan kemiliteran bagi para pemuda untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan bangsa (hlm. 43).

Setelah Indonesia merdeka pada 1945 dan harus menghadapi Belanda yang ingin berkuasa lagi, Zainul Arifin dan Laskar Hizbullah terlibat langsung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk dalam Agresi Militer Belanda I dan II. Ia turut mengkoordinasi laskar-laskar untuk berjuang secara gerilya membantu angkatan perang RI di bawah pimpinan Jenderal Soedirman.

Selain itu, ketika para pemimpin republik ditangkap dan diasingkan Belanda ke luar Jawa pada akhir 1948, Zainul Arifin kemudian turut mempertahankan negara bersama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukitttingi, Sumatera Barat, sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD).

Usai penyerahan kedaulatan secara penuh pada pengujung 1949, Zainul Arifin sebenarnya sempat menjadi sekretaris pimpinan TNI karena pengalaman sebelumnya bersama Laskar Hizbullah. Namun, pada akhirnya ia memilih mundur karena banyak mantan anggota Hizbullah yang tidak diterima menjadi anggota TNI.

Bagai “Perisai” Sukarno

Dari militer, Zainul Arifin lantas beralih fokus ke jalur politik. Ia sebenarnya sudah punya pengalaman di bidang itu, yakni semasa aktif bersama GP Ansor, NU, maupun Masyumi, juga anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang merupakan embrio dari DPR/MPR.

Sempat menjadi anggota parlemen di DPR Sementara (DPRS) mewakili Masyumi, lalu bergabung dengan Partai NU, Zainul Arifin akhirnya masuk kabinet. Ia ditunjuk untuk menjabat Wakil Perdana Menteri di Kabinet Ali Sastroamidjojo I sejak 30 Juli 1953.

Dua tahun berselang setelah masa tugasnya usai, Zainul Arifin duduk sebagai anggota Majelis Konstituante dan Wakil Ketua DPR. Hingga akhirnya, terhitung mulai 1960, ia terpilih sebagai Ketua DPR Gotong Royong (DPR-GR). Dalam masa jabatan inilah insiden penembakan yang mengenai dirinya itu terjadi.

Infografik zainul arifin pohan

Pelaku penembakan pada 14 Mei 1962 itu adalah seorang anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) suruhan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Yang menjadi sasaran utama sebenarnya Presiden Sukarno, tetapi tembakan itu meleset dan menyerempet bahu Zainul Arifin serta terkena beberapa orang lainnya.

Beberapa bulan setelah peristiwa menghebohkan tersebut, tanggal 4 Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil ditangkap, dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu pada 5 September 1962.

Dikutip dari Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006) karya Rosihan Anwar, pelaku penembakan yang merupakan anak buah Kartosoewirjo itu diperkirakan berusia sekitar 35, memakai kemeja putih dengan jas warna coklat muda dan berkain sarung berwarna coklat agak tua (hlm. 146).

Selain pelaku penembakan, ditangkap juga seorang laki-laki lain yang kedapatan menyimpan pistol di bawah tikar yang digunakannya untuk alas sembahyang Idul Adha di areal Istana Negara itu.

Ada dua versi terkait luputnya percobaan pembunuhan terhadap Sukarno itu. Maulwi Saelan dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008) mengungkapkan, si pelaku kebingungan karena melihat Bung Karno yang tengah dibidiknya ada dua wujud atau dua orang sehingga tembakannya meleset (hlm. 175).

Sementara menurut penuturan cucu Zainul Arifin, Ario Helmy, yang ditulis Abdullah Alawi dalam artikel berjudul “Peristiwa Idul Adha Berdarah 1962”, terungkap hal yang berbeda. Menurut catatan Ario Helmy, seorang pengawal presiden bergerak cepat dengan segera menepiskan tangan si pelaku sebelum menembak sehingga arah tembakannya melenceng.

Apapun itu, yang jelas peluru yang diarahkan kepada presiden mengenai bahu kiri Zainul Arifin. Sejak saat itu, Zainul Arifin harus berkali-kali keluar masuk rumah sakit, hingga meninggal dunia pada 2 Maret 1963 setelah beberapa hari mengalami koma.

K.H. Zainul Arifin wafat dalam usia 53. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Setahun kemudian, Presiden Sukarno atas nama pemerintah RI menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan