Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Perang Banjarmasin: Latar Belakang, Kronologi Sejarah, & Akhir

Sejarah Perang Banjarmasin, Perang Banjar, atau Perang Banjar-Barito di Kalimantan Selatan dimulai dengan upaya perebutan takhta Kesultanan Banjar.

Perang Banjarmasin: Latar Belakang, Kronologi Sejarah, & Akhir
Ilustrasi Sejarah Perang Banjarmasin. wikimedia commons/public domain

tirto.id - Sejarah Perang Banjarmasin, Perang Banjar, atau Perang Banjar-Barito di Kalimantan Selatan dimulai dengan upaya perebutan takhta Kesultanan Banjar antara ketiga putra Sultan Adam yakni Pangeran Hidayatullah II, Pangeran Anom, dan Pangeran Tamjidillah II.

Upaya perebutan takhta ini terjadi setelah pemimpin Kesultanan Banjar yakni Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1825-1857) wafat. Sementara putra mahkota yang bernama Pangeran Abdul Rakhman sudah terlebih dulu meninggal secara mendadak pada 1852.

Tampuk kepemimpinan Kesultanan Banjar sejatinya akan diwariskan kepada Pangeran Hidayatullah II yang sudah mengantongi surat wasiat dan didukung keluarga istana. Namun, akibat pengaruh Belanda, terjadi polemik internal terkait suksesi.

Latar Belakang Perang Banjarmasin

Belanda ikut campur dalam pewarisan takhta tersebut dan mendukung Pangeran Tamjidillah II untuk menjadi sultan selanjutnya. Sedangkan Pangeran Anom dijagokan untuk menjadi Mangkubumi (Perdana Menteri) di Kesultanan Banjar.

Tamjidillah II merupakan anak dari selir tertua Sultan Adam. Ia bergaya kebarat-baratan dan memiliki kedekatan dengan Belanda. Belanda menginginkan Tamjidillah II menjadi sultan untuk memperlancar perizinan daerah penghasil batu bara di wilayah Kesultanan Banjar.

Dikutip dari buku Pangeran Antasari (1993) karya M. Idwar Saleh, Belanda di bawah Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg menobatkan Pangeran Tamjidillah II secara sepihak sebagai Sultan Banjar pada 3 November 1857.

Pangeran Hidayatullah II hanya diangkat sebagai mangkubumi pada 9 Oktober 1856. Sedangkan Pangeran Anom ternyata mendapat masalah dengan Residen Belanda sehingga diasingkan ke Bandung, Jawa Barat.

Kronologi Sejarah Perang Banjarmasin

Penobatan Pangeran Tamjidillah II oleh Belanda memicu perlawanan di luar istana. Dari pedalaman, Panembahan Muning atau Aling, yang pernah mengabdi kepada Sultan Adam, memimpin penentangan terhadap keputusan sepihak tersebut.

Panembahan Muning berpendapat, dalam situasi saat itu, yang paling pantas naik takhta adalah Pangeran Antasari, keponakan Pangeran Hidayatullah II. Pangeran Antasari berhak menjadi sultan karena ia keturunan Sultan Muhammadilah, Sultan Banjar yang bertakhta pada 1759-1761.

Gerakan Aling dikenal dengan sebutan Datu Muning dan berpusat di Kembayau (Tambai Mekah), di daerah Sungai Muning di Kalimantan Selatan.

Infografik SC Perang Banjar

Infografik SC Perang Banjar. tirto.id/Lugas

Pangeran Antasari menerima undangan Aling untuk bergabung melawan Belanda. Mereka juga didukung beberapa pihak seperti Kesultanan Paser dan Kesultanan Kutai Kertanegara

Selain itu, Pangeran Antasari mendapatkan bantuan bala bantuan dari Tumenggung Surapati yang memimpin orang-orang Dayak. Pertempuran melawan Belanda akan segera dimulai.

Tanggal 25 April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang kawasan tambang batu baru Pengaron. Orang-orang Muning juga melakukan serangan di bawah komando Panembahan Aling dan Sultan Kuning (putra Aling).

Pasukan Muning berhasil membakar tambang dan pemukiman orang Belanda. Beberapa kejadian inilah yang menjadi penyebab meletusnya Perang Banjar.

Jalannya Perang Banjarmasin

Belanda memberhentikan Sultan Tamjidillah II dari takhta pada 25 Juni 1859 dan mengasingkannya ke Bogor karena situasi yang semakin panas. Belanda kemudian menawarkan takhta sultan kepada Pangeran Hidayatullah II.

Upaya tersebut dilakukan Belanda untuk menekan potensi kerusuhan akibat serangan dari pasukan pimpinan Pangeran Antasari. Pangeran Hidayatullah II menolak dan justru memilih bergabung dengan Pangeran Antasari untuk melawan Belanda.

Oleh pendukungnya, Pangeran Hidayatullah II kemudian dinobatkan menjadi Sultan Banjar di Amuntai pada September 1859. Belanda marah dan menghapus Kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860.

Pasukan gabungan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II benar-benar merepotkan Belanda. Maka, Belanda mulai memikirkan taktik licik agar bisa memecah kekuatan tersebut.

Belanda menerapkan strategi liciknya dengan menyandera ibu Pangeran Hidayatullah II. Situasi ini membuat Pangeran Hidayatulah II akhirnya dapat ditangkap pada 2 Maret 1862.

Yanuar Ikbar dalam "Pelurusan Sejarah Perang Banjarmasin (1859-1863)" yang dimuat di laman resmi Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Kalimantan Selatan (2016) mengungkapkan, Pangeran Hidayatullah II dibawa ke Martapura, kemudian diasingkan ke Cianjur pada 3 Februari 1862.

Akhir Perang Banjarmasin

Dikutip dari modul Sejarah SMA Kelas XI (2020), setelah kepergian Pangeran Hidayatullah II, Pangeran Antasari tetap memimpin rakyat Banjar untuk melawan Belanda.

Pangeran Antasari kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh rakyat Banjar dan Dayak pada 14 Maret 1862.

Belanda menambah pasukan dengan mendatangkan bantuan dari Batavia untuk menghadapi Pangeran Antasari. Situasi ini membuat Pangeran Antasari harus menerapkan strategi perang gerilya karena kalah jumlah pasukan.

Dalam menjalankan perang gerilya, Pangeran Antasari terserang penyakit cacar dan paru-paru. ia kemudian meninggal dunia pada 11 Oktober 1862.

Perang Banjarmasin pun mendekati akhir sepeninggal Pangeran Antasari. Para tokoh pemimpin rakyat yang tersisa dibunuh, ditangkap, atau diasingkan oleh Belanda.

Atas perjuangan dan jasa-jasanya, Pangeran Antasari ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan pada 27 Maret 1968.

Baca juga artikel terkait PERANG BANJAR atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya