tirto.id - Sejarah Kesultanan Banjar tidak terlepas dari riwayat kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan dan Tengah sebelum masuknya agama Islam, baik pemerintahan adat masyarakat Dayak maupun ketika masa pengaruh Hindu.
Pada akhir abad ke-15 Masehi, sebagian besar wilayah Kalimantan Selatan masih di bawah kekuasaan Kerajaan Negara Daha yang bercorak Hindu. Pemimpinnya bernama Maharaja Sukarama.
Maharaja Sukarama berwasiat bahwa penerusnya nanti adalah cucunya, Pangeran Samudera. Namun, yang terjadi kemudian adalah munculnya polemik internal karena Pangeran Tumenggung, putra Maharaja Sukarama, juga berniat menguasai takhta Kerajaan Negara Daha.
Pangeran Samudera yang tidak ingin terlibat dalam konflik keluarga memilih meninggalkan istana lalu menyepi ke daerah Banjar. Atas dukungan Kesultanan Demak dari Jawa, Pangeran Samudera kemudian memeluk Islam dan mendirikan Kesultanan Banjar.
Sejarah Awal Kesultanan Banjar
Sahriansyah dalam Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar (2015) yang mengutip dari Hikayat Banjar mengisahkan, terjadi pertentangan di lingkaran keluarga Kerajaan Negara Daha setelah Maharaja Sukarama menunjuk Pangeran Samudera sebagai penerusnya.
Pangeran Samudera adalah anak dari putri Maharaja Sukarama yang bernama Galuh Intan Sari. Penunjukan sang cucu ini memantik kekesalan dari tiga orang putra Maharaja Sukarama, yakni Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bagalung, dan Pangeran Tumenggung.
Setelah Maharaja Sukarama wafat, Kerajaan Negara Daha untuk sementara dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, anak tertua almarhum, karena Pangeran Samudera selaku pewaris takhta masih berusia 7 tahun.
Dikutip dari Badri Yatim dalam Sejarah Peradaban Islam (1997), Pangeran Mangkubumi tewas dibunuh oleh seorang pegawai istana atas hasutan Pangeran Tumenggung. Setelah kakaknya tiada, Pangeran Tumenggung mengambil-alih kekuasaan Kerajaan Negara Daha.
Pangeran Samudera tetap bertahan di istana, namun keselamatannya terancam. Maka, diiringi oleh para pengikut setianya, Pangeran Samudera kemudian meninggalkan Kerajaan Negara Daha dan pergi ke hilir Sungai Barito atau di daerah yang bernama Banjar.
Demi keamanan, Pangeran Samudera dan para pengikutnya menyamar sebagai kaum nelayan. Namun, penyamaran tersebut diketahui oleh pemimpin daerah Banjar bernama Patih Masih. Banjar merupakan wilayah kekuasaan Negara Daha dan harus membayar upeti kepada kerajaan.
Lantaran tidak mau lagi membayar upeti kepada Kerajaan Negara Daha, tulis Harun Yahya dalam Kerajaan Islam Nusantara: Abad XVI dan XVII (1995), Patih Masih meminta kepada Pangeran Samudera untuk memerdekakan Banjar.
Berdirinya Kesultanan Banjar
Demi mendukung berdirinya kerajaan baru nanti, Patih Masih menyarankan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada Kesultanan Demak dari Jawa yang merupakan kerajaan Islam terbesar kala itu.
Sultan Trenggana selaku penguasa Kesultanan Demak saat itu yang naik takhta pada 1521 M bersedia membantu. Syaratnya, Pangeran Samudera dan seluruh pengikutnya harus memeluk agama Islam.
J.J Ras dalam Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography (1968), menuliskan bahwa Kesultanan Demak mengirimkan 1.000 tentara dan ulama untuk membantu Pangeran Samudera sekaligus mengislamkan Banjar.
Berkat bantuan Kesultanan Demak, Pangeran Samudera berhasil mengalahkan pamannya, Pangeran Tumenggung, sekaligus meruntuhkan Kerajaan Negara Daha. Setelah itu, bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Daha pun diambil-alih.
Kerajaan baru pun resmi berdiri, yakni Kesultanan Banjar yang merupakan kerajaan bercorak Islam di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudera bertakhta dengan gelar Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah juga memiliki sebutan lain, di antaranya adalah Sultan Surian Allah, Sultan Suryanullah, Panembahan Batu Habang, serta Sultan Suria Angsa.
Sepanjang sejarahnya, pusat pemerintahan Kesultanan Banjar beberapa kali berpindah lokasi, pernah di Banjarmasin, Pemakuan, Martapura, Kayu Tangi, Karang Intan, Amuntai, hingga Baras Kuning.
Kejayaan & Runtuhnya Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 Masehi dengan lada sebagai komoditas dagang. Kesultanan Banjar juga mendapatkan keuntungan besar karena daerah barat daya, tenggara, dan timur Kalimantan membayar upeti kepada mereka.
Eksistensi Kesultanan Banjar semakin kuat ketika pada 1636 berhasil menaklukkan banyak daerah lain di Boreno, seperti Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir, Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap, hingga Swarangan.
Kesultanan Banjar saat itu sempat terancam diserang oleh Kesultanan Mataram Islam dari Jawa di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M).
Namun, tulis Hermanus Johannes de Graaf dalam Puncak kekuasaan Mataram (1986), setelah dilakukan perjanjian damai tahun 1637, hubungan dua kerajaan Islam yang sempat tegang selama bertahun-tahun kini membaik.
Kesultanan Banjar mulai menuai keruntuhan setelah sering terlibat polemik dengan VOC atau Belanda. Tanggal 11 Juni 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan komisi kerajaan di bawah pengawasan Belanda.
Kendati begitu, pemerintahan Kesultanan Banjar baru benar-benar berakhir pada 24 Januari 1905. Wilayah Kesultanan Banjar yang meliputi banyak daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dibagi menjadi beberapa kerajaan kecil.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya