tirto.id - Perang Banjar tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai gerakan perjuangan terhadap penjajah Belanda yang berlangsung antara tahun 1859-1905. Pangeran Antasari muncul sebagai salah satu tokoh utama dalam perang di tanah Borneo ini.
Disebut juga Perang Banjar-Barito, peperangan ini terjadi di wilayah Kesultanan Banjar yang dulu memiliki area kekuasaan meliputi Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah.
Perang Banjar memunculkan sejumlah tokoh seperti Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar, serta Aling (Panembahan Muning) yang merupakan tokoh perjuangan dari pedalaman Borneo.
Latar Belakang Perang Banjar
Dikutip dari buku Sejarah Kelas XI(2014:115), pada 1817 Sultan Sulaiman al-Mutamidullah (1801-1825) selaku pemimpin Kesultanan Banjar meneken perjanjian dengan Belanda.
Isi perjanjian tersebut adalah penyerahan wilayah Kesultanan Banjar yaitu Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan Beran kepada Belanda.
Tanggal 4 Mei 1826, Sultan Adam Al-Watsiq Billah (1825-1857), penerus Sultan Sulaiman, juga melakukan perjanjian dengan Belanda dengan menyisakan wilayah Kesultanan Banjar yaitu Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Wilayah yang semakin sempit ini menjadi masalah dalam kehidupan sosial ekonomi Kesultanan Banjar. Kematian mendadak putra mahkota, Abdul Rakhman, pada 1852, menambah runyam persoalan tersebut.
Sepeninggal Sultan Adam yang wafat pada 1857, ada tiga kandidat penerus takhta Kesultanan Banjar, yaitu Pangeran Hidayatullah II, Pangeran Anom, dan Pangeran Tamjidillah II.
Pangeran Hidayatullah II didukung pihak istana dan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan Adam, Pangeran Anom dijagokan sebagai Mangkubumi (perdana menteri), dan Tamjidillah II didukung oleh Belanda.
Penyebab Perang Banjar
Dikutip dari buku Pangeran Antasari karya M. Idwar Saleh (1993:21), Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg atas nama Belanda secara sepihak menobatkan Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar di Martapura pada 3 November 1857.
Pangeran Tamjidillah II merupakan anak dari istri selir tertua mendiang Sultan Adam. Pengangkatan secara sepihak ini menimbulkan protes dari istana. Yang dianggap paling berhak menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah II.
Setelah dinobatkan, Sultan Tamjidillah II melakukan penghapusan hak-hak istimewa kepada saudara-saudaranya, yakni Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Anom.
Sultan Tamjidillah II menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam yang dikantongi Pangeran Hidayatullah II. Bahkan, Pangeran Anom dibuang ke Bandung.
Gerakan protes terhadap penobatan Sultan Tamjidillah II bermunculan. Dari pedalaman Kalimantan, gerakan kini dipelopori oleh Panembahan Muning atau Aling.
Helius Sjamsuddin dalam Pegustian & Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859–1906 (2001) menyebutkan, Aling dulu terkenal sebagai perompak.
Garis hidup Aling berubah setelah mengabdi kepada Sultan Adam di Kesultanan Banjar. Di akhir masa pengabdiannya, Aling ditugaskan mengurusi perkebunan milik kesultanan di pedalaman.
Aling mendapat firasat bahwa yang berhak mengampu takhta Kesultanan Banjar adalah Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah II. Pangeran Antasari adalah keturunan dari Sultan Muhammadillah, penguasa Kesultanan Banjar periode 1759-1761.
Aksi yang dipimpin Aling dikenal dengan nama Gerakan Datu Muning, berpusat di Kembayau atau Tambai Mekah, sebuah desa yang berada di tepi Sungai Muning, Kalimantan Selatan.
Pangeran Antasari datang ke Kembayau atas undangan Aling. Selain mendapat dukungan dari Aling dan pengikutnya, Pangeran Antasari juga memperoleh sokongan dari banyak pihak.
Beberapa pihak yang mendukung tersebut di antaranya adalah Kesultanan Pasir dan Kesultanan Kutai Kartanegara dari Kalimantan Timur serta Tumenggung Surapati yang memimpin orang-orang Dayak.
Jalannya Perang Banjar
Pada 25 April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang kawasan tambang batu bara di wilayah Pengaron, dilanjutkan dengan serbuan orang-orang Muning di bawah komando Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning.
Pasukan Muning berhasil membakar kawasan tambang dan pemukiman Belanda. Mereka juga melakukan penyerangan di perkebunan milik Belanda di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal.
Rangkaian kejadian inilah yang menjadi pemicu meletusnya Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Antasari.
Strategi yang diterapkan adalah perang gerilya. Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Antasari mendirikan pemerintahan di pedalaman dengan dukungan dari orang-orang Banjar dan Dayak.
Pangeran Antasari berhasil menyatukan Banjar dan Dayak dengan spirit perlawanan terhadap penjajah.
Helius Sjamsuddin dalam bukunya mengungkapkan, semangat perlawanan dari persatuan rakyat Banjar dan Dayak diikat dengan relasi kekeluargaan dan kekerabatan melalui pernikahan sebagai sarana pemersatu dan solidaritas untuk memerangi Belanda.
Akibat peperangan ini, pemerintahan Kesultanan Banjar menjadi semakin kacau. Belanda terpaksa meminta Sultan Tamjidillah II untuk meletakkan takhtanya.
Pada 25 Juni 1859, secara resmi Sultan Tamjidillah II mengundurkan diri dan menyerahkan singgasana Kesultanan Banjar kepada Belanda. Belanda kemudian mengasingkan Tamjidillah II ke Bogor.
Belanda menawarkan kepada Pangeran Hidayatullah II untuk menduduki takhta Banjar. Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah karena Pangeran Hidayatullah II tidak ingin menjadi boneka Belanda.
Pangeran Hidayatullah II kemudian dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh para pengikutnya pada September 1859 di Amuntai.
Dikutip dari Riwajat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air (1966) yang disusun Tamar Djaja, Belanda murka dan mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860.
Pangeran Hidayatullah II yang dibantu oleh pengikut setianya, Demang Lehman, terus melancarkan perlawanan secara gerilya. Begitu pula dengan Pangeran Antasari.
Belanda mengerahkan seluruh pasukannya untuk memadamkan perlawanan tersebut. Hingga akhirnya, Pangeran Hidayatullah II terdesak dan ditangkap Belanda pada 28 Februari 1862.
Pangeran Hidayatullah II bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan oleh Belanda ke Cianjur, Jawa Barat.
Sepeninggal Pangeran Hidayatullah II, tulis Ahmad Basuni dalam buku Pangeran Antasari: Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari Kalimantan (1986), rakyat Banjar dan Dayak menabalkan Pangeran Antasari sebagai Sultan Banjar pada 14 Maret 1862.
Akhir Perang Banjar
Pangeran Antasari melanjutkan perjuangan menghadapi Belanda yang mendatangkan pasukan bantuan dari Batavia. Di tengah perlawanan gerilya tersebut, Pangeran Antasari jatuh sakit. Ia terserang penyakit cacar dan paru-paru hingga akhirnya wafat pada 11 Oktober 1862.
Perjuangan melawan Belanda diteruskan oleh putra Pangeran Antasari yang kemudian dinobatkan sebagai pemimpin Banjar dengan gelar Sultan Muhammad Seman, dibantu oleh beberapa tokoh pejuang lainnya seperti Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman.
Kendati begitu, perlawanan ini tidak sebesar saat dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah II dan Pangeran Antasari meskipun masih berlangsung hingga awal abad ke-20.
Kathy MacKinnon dalam The Ecology of Kalimantan (1996) mencatat, Sultan Muhammad Seman gugur karena ditembak pasukan Belanda dalam pertempuran pada 24 Januari 1905.
Perang Banjar berakhir setelah tokoh-tokoh pejuang yang tersisa berguguran, ditangkap, juga banyak yang diasingkan ke luar pulau. Selanjutnya, wilayah Kesultanan Banjar dikuasai pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Daftar Tokoh Perang Banjar
- Pangeran Hidayatullah II
- Pangeran Antasari
- Panembahan Muning/Aling
- Sunan Kuning
- Tumenggung Surapati
- Demang Lehman
- Sultan Muhammad Seman
- Gusti Acil
- Gusti Muhammad Arsyad
- Antung Durrahman
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya