Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Buleleng, Perang Bali I, & Silsilah Raja

Sejarah runtuhnya Kerajaan Buleleng disebabkan oleh serangan dari Belanda yang terangkai dalam Perang Bali I pada 1846 hingga 1849 M.

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Buleleng, Perang Bali I, & Silsilah Raja
Pasukan Belanda di wilayah Kerajaan Buleleng dalam persiapan Perang Jagaraga. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Kerajaan Buleleng merupakan salah satu kerajaan di Pulau Dewata. Berdiri pada 1660 Masehi, sejarah runtuhnya kerajaan ini disebabkan oleh serangan dari Belanda yang terangkai dalam Perang Bali I pada 1846 hingga 1849 M.

Pendiri Kerajaan Buleleng adalah I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan, putra I Gusti Ngurah Jelantik, Raja Kerajaan Gelgel yang bertakhta pada 1580 M.

Lantaran I Gusti Anglurah Panji Sakti adalah anak dari istri selir, bukan permaisuri, kehadirannya dianggap mengancam posisi putra mahkota Gelgel.

Deni Prasetyo dalam buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009) mengungkapkan, Panji Sakti berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia punya keistimewaan, termasuk disebut-sebut memiliki kekuatan supranatural.

Maka, Panji Sakti kemudian diasingkan ke kampung halaman ibundanya yang bernama Si Luh Pasek Gobleg, yakni di Desa Panji, wilayah Den Bukit, Bali bagian utara.

Panji Sakti tumbuh sebagai sosok pemimpin muda yang cemerlang. Ia berhasil menyatukan wilayah-wilayah sekitar Den Bukit bahkan kemudian dinobatkan menjadi raja. Dari sinilah riwayat Kerajaan Buleleng bermula pada 1660 M.

Hukum Tawan Karang & Perang Bali

I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai pendiri Kerajaan Buleleng langsung mampu mengantarkan kerajaan yang menganut ajaran Hindu ini ke masa kejayaan.

Soegianto Sastrodiworyo dalam I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng (1994) menjelaskan, kala itu wilayah Kerajaan Buleleng meluas hingga Blambangan (Banyuwangi) dan Pasuruan, Jawa Timur.

Namun, sepeninggal sang raja pendiri pada 1704, Kerajaan Buleleng perlahan melemah. Selain mengalami kekalahan dan takluk dari kerajaan-kerajaan lain, wilayah Buleleng juga menjadi target serangan penjajah Belanda.

Berturut-turut yakni pada 1846, 1848, dan 1849, Buleleng digempur oleh Belanda. Peperangan ini merupakan rangkaian dari Perang Bali I.

Buleleng membuat Belanda jengkel lantaran penerapan hukum Tawan Karang. Ryan ver Berkmoes dalam Bali & Lombok (2007) memaparkan, Hak Tawan Karang merupakan aturan di mana raja-raja Bali berhak menyita kapal yang karam di wilayah perairan kekuasaan mereka.

Hukum tawan karang sejatinya telah diterapkan sejak masa Bali Kuno. Prasasti Bebetin yang berangka tahun 896 Masehi dan Prasasti Sembiran dengan angka tahun 923 Masehi telah menyebutkan aturan terkait hukum tawan karang tersebut.

Belanda yang tidak suka dengan penerapan hukum Tawan Karang akhirnya mengirim pasukan ke Buleleng yang kala itu sudah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Karangasem.

Tanggal 25 Mei 1846, seperti dikutip dari Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali (1983) karya Made Sutaba dan kawan-kawan, Belanda mulai melancarkan serangan dari laut maupun darat.

Perlawanan rakyat Buleleng dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik yang masih punya garis keturunan dengan I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Runtuhnya Kerajaan Buleleng

Serangan Belanda pertama pada 1846 masih mampu ditangkal oleh pasukan Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Jelantik. Menurut Robert Pringle dalam A Short History of Bali (2004), Belanda saat itu berkekuatan 2.400 orang tentara.

Awal tahun 1848, I Gusti Jelantik menggerakkan pasukan untuk mengusik Belanda secara gerilya. Pos-pos dan kapal-kapal Belanda menjadi sasarannya.

Belanda membalas, tapi selalu gagal berkat siasat jitu yang diterapkan I Gusti Jelantik. Sepanjang tahun 1848 itu, Buleleng berkali-kali meraih kemenangan yang membuat Belanda harus mundur dari Bali untuk kedua kalinya.

Tak ingin kalah lagi, Belanda lantas menerapkan taktik licik andalannya, yakni devide et impera alias adu domba. Tahun 1849, Belanda menyusupkan utusan untuk menghasut dan memecah-belah kekuatan rakyat Bali, termasuk Buleleng.

Ide Anak Agung Gde Agung dalam Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908 (1989) menyebutkan, Belanda menebar isu bahwa sebagian kerajaan di Bali sudah ditaklukkan. Kabar bohong ini membuat Buleleng cemas.

Pasukan gabungan Buleleng tak fokus lantaran khawatir, bahkan tidak sedikit yang meninggalkan benteng pertahanan mereka di Jagaraga.

Belanda memanfaatkan betul situasi ini. Pagi-pagi buta tanggal 15 April 1849, Jagaraga digempur dari dua sisi, depan dan belakang. Pihak Buleleng tidak siap menerima serangan besar ini. Korban tewas berjatuhan, ribuan warga ditawan.

D. Surya dalam buku berjudul Bali (2012) mengungkapkan, I Gusti Jelantik terpaksa mundur ke Gunung Batur. Namun, di perjalanan dan dalam kondisi terluka serta dikejar-kejar pasukan Belanda, ia tak mampu bertahan dan akhirnya gugur.

Setelah kematian I Gusti Jelantik, Buleleng jatuh ke tangan penjajah dan menjadi wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Nusantara.

Daftar Raja Buleleng

Wangsa Panji Sakti

Gusti Anglurah Panji Sakti

Gusti Panji Gede Danudarastra

Gusti Alit Panji

Gusti Ngurah Panji

Gusti Ngurah Jelantik

Gusti Made Singaraja

Wangsa Karangasem

Anak Agung Rai

Gusti Gede Karang

Gusti Gede Ngurah Pahang

Gusti Made Oka Sori

Gusti Ngurah Made Karangasem

Baca juga artikel terkait KERAJAAN BULELENG atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya