Menuju konten utama

Sejarah Fosil Homo Floresiensis: Penemu, Lokasi, Ciri-ciri, Usia

Menurut peneliti, Homo Floresiensis diyakini bisa menunjukkan jejak sejarah asal-usul kehidupan manusia modern di Indonesia.

Sejarah Fosil Homo Floresiensis: Penemu, Lokasi, Ciri-ciri, Usia
Ilustrasi Homo Sapiens. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Penemuan fosil Homo Floresiensis dipublikasikan pada tahun 2004. Publikasi tersebut segera jadi buah bibir di komunitas ilmuwan dunia, dan bahkan memicu perdebatan.

Hasil riset gabungan sejumlah peneliti Indonesia dan Australia itu memberikan kisah baru tentang perjalanan evolusi manusia pada kurun waktu 18.000 hingga 30.000 tahun silam. Temuan fosil Homo Floresiensis juga dianggap memberikan titik terang dalam kajian tentang asal-usul manusia.

Berdasarkan catatan Amurwani Dwi dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2014:28), Homo Floresiensis diyakini oleh sebagian peneliti bisa menunjukkan jejak sejarah asal-usul kehidupan manusia modern di Indonesia.

Namun, asumsi tersebut belum mendapat jawaban pasti mengingat Homo Floresiensis berukuran lebih kecil dari manusia modern, yakni dengan tinggi hanya sekitar 1 meter. Karena memiliki tubuh pendek, Homo Floresiensis mendapat julukan populer Hobbit dari Liang Bua.

Dalam Modul Sejarah terbitan Kemdikbud (2020: 13-14) diterangkan bahwa hingga saat ini masih ada perdebatan di kalangan ahli mengenai kapan sebenarnya Homo Floresiensis berkembang.

Sebagian ilmuwan meyakini Homo Floresiensis adalah wujud evolusi dari Pithecanthropus Erectus. Namun, sebagian ahli lainnya menduga keduanya hidup berdampingan pada periode yang sama.

Selain itu, ada opini yang menjelaskan bahwa Homo Floresiensis hidup satu zaman dengan Homo Sapiens, makhluk purba yang diyakini menjadi cikal bakal manusia modern saat ini.

Lokasi Penemuan Homo Floresiensis

Lokasi penemuan fosil Homo Floresiensis di gua Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh karena itu, manusia purba ini kerap pula disebut Manusia Liang Bua. Situs Liang Bua terletak sekitar 15 kilometer sebelah utara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, di Flores Barat.

Merujuk informasi dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Kemdikbud, Liang Bua merupakan salah satu situs gua yang terletak di daerah perbukitan karst di Manggarai.

Nama Liang Bua yang disematkan pada situs di ketinggian 500-an meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut berasa dari bahasa Manggarai-Flores. Kata "Liang" berarti gua, sementara "Bua" bermakna dingin. Jadi, liang bua artinya adalah gua yang dingin.

Dari segi morfologi, Liang Bua memang memiliki banyak ciri yang membuat tempat tersebut layak menjadi hunian manusia purba pada masa prasejarah.

Berdasarkan data Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ciri-ciri itu terlihat dari ukuran gua Liang Bua yang dalam, lebar, sekaligus memiliki atap tinggi. Lantai gua Liang Bua juga luas dan relatif datar sehingga memungkinkan untuk menjadi hunian dalam rentang waktu lama.

Tambahan lagi, mulut gua Liang Bua menghadap ke timur laut sehingga memungkinkan tempat tersebut rutin mendapatkan sinar matahari dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Kedua kondisi itu melengkapi kelayakan gua Liang Bua menjadi tempat tinggal Homo Floresiensis.

Manusia purba penghuni gua Liang Bua bahkan mungkin tidak perlu jauh untuk mencari air. Sebab, lokasi Liang Bua tak jauh dari aliran sungai. Terdapat 2 aliran kali yang berdekatan dengan gua itu, yakni Sungai Wae Racang dan Wae Mulu.

Penemu Homo Floresiensis

Homo Floresiensis ditemukan pertama kali pada 2003 berkat penggalian di gua Liang Bua yang dilakukan oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood. Saat itu, Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Mike dari University of New England, Australia.

Di Flores, Nusa Tenggara Timur, gua Liang Bua kini dianggap menjadi situs prasejarah. Di tempat tersebut, fosil Homo Floresiensis yang ditemukan dalam bentuk enam individu manusia. Selain itu, di sana juga terdapat tulang bekas makhluk komodo dan gajah purba.

Temuan fosil pada 2003 hampir sama dengan yang ditemukan Soejono dalam proyek sebelumnya, yakni ketika tahun 1970. Jenis ini berbeda dari Homo Sapiens lain karena ukuran tubuhnya lebih kecil. Akhirnya, sebutannya ditetapkan menjadi Homo Floresiensis, jenis baru gen Homo.

Penemuan fosil Homo Floresiensis di situs Liang Bua pada tahun 2003 sebenarnya merupakan buah dari proses penelitian bertahap dalam rentang waktu puluhan tahun, sejak dasawarasa 1960-an.

Penelitian di situs Liang Bua pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1965, yakni oleh Theodore Verhoeven, seorang Pastor dari Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores Tengah, NTT.

Riset di situs yang sama lalu dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1978 – 1989. Pada periode tersebut, penelitian di Liang Bua dipimpin oleh Profesor Soejono, yang kala itu menjabat Kepala Puslit Arkenas.

Setelah sempat vakum selama 12 tahun, penelitian di situs Liang Bua kembali dilanjutkan pada tahun 2001-2004. Riset kali ini dijalankan atas hasil kerja sama Puslit Arkenas dengan kampus dari Australia, Universitas New England.

Kerja sama penelitian sempat berlanjut pada kurun tahun 2007-2009 antara Puslit Arkenas dengan Universitas Wollongong, juga kampus dari Australia.

Kemudian, kerja sama riset di situs Liang Bua juga dijalin oleh Puslit Arkenas dengan Smithsonian Institution, Washington DC, USA, sejak 2010 hingga beberapa tahun kemudian.

Ciri-ciri Homo Floresiensis

Banyak temuan yang penting bagi ilmu pengetahuan dan penyelidikan masa prasejarah dari hasil riset panjang di Liang Bua. Namun, yang paling menarik memang fosil Homo Floresiensis, temuan pada tahun 2003.

Fosil Kerangka manusia purba berjuluk Hobbit ini ditemukan pada lapisan Plestosen Akhir, tepatnya di kedalaman 5,9 meter. Para peneliti situs Liang Bua menemukan setidaknya kerangka 9 individu Homo Floresiensis di lapisan tersebut.

Akan tetapi, dari 9 kerangka individu Homo Flosiensis tersebut hanya satu yang ditemukan dalam kondisi nyaris utuh, yakni fosil dengan kode Liang Bua 1/LB1.

Dari segi fisik, kerangka yang nyaris utuh tersebut diperkirakan milik manusia Homo Floresiensis, yang berjenis kelamin perempuan, dan sempat hidup hingga berusia 25-30 tahun.

Ciri fisik lainnya adalah memiliki tinggi badan hanya 106 cm (1,06 meter), tulang kaki dan tangan sangat kekar, bagian tengkorak berciri arkaik seperti tulang kening menonjol serta dahi miring ke belakang.

Volume otak Homo Floresiensis, berdasarkan temuan kerangka di Liang Bua, ditaksir sekitar 380 cm kubik (diukur dengan mustard seed) dan 417 cm kubik (diukur digital dengan CT scan).

Homo Floresiensis diketahui pula memiliki bagian wajah menjorok ke depan (prognath) dengan rahang yang kekar, serta tidak mempunyai dagu.

Daftar Ciri Homo Floresiensis Non-Fisik

  • Hidup dengan berburu, beternak, dan bercocok tanam.
  • Ketika berburu, mereka menggunakan batu, tulang, dan kayu yang telah dilancipkan.
  • Mereka bisa mengasah batu, membuat gerabah, dan tidak nomaden.
  • Sangat cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.
  • Telah menggunakan pakaian yang dibuat dengan menggunakan kulit hewan.
  • Sudah mengenal kepercayaan dan sistem penguburan mayat.

Daftar Ciri Fisik Homo Floresiensis

  • Memiliki tinggi kisaran 1 meter.
  • Dahi bentuknya sempit dan tidak menonjol.
  • Kerangka kepala (tengkorak) kecil.
  • Bentuk otaknya kecil dengan volume sebesar 380 cc.
  • Berat badan hanya sekitar 25 kg.
  • Tulang rahang terlihat menonjol.

Berapa Usia Homo Floresiensis?

Hasil analisis dengan 7 teknik berbeda menyimpulkan kerangka manusia purba di situs Liang Bua berusia sekitar 13.000 - 12.000 tahun yang lalu.

Namun, kesimpulan itu lantas dievaluasi oleh hasil riset Puslit Arkenas bersama dengan Universitas Wollongong dan Smithsonian Institute, yang dikerjakan pada 2007-2014.

Analisis ulang terhadap usia tulang Homo Floresiensis dan sedimen yang mengandung fosil di situs Liang Bua memuat dua kesimpulan.

Pertama, berdasarkan analisis sedimen, situs Liang Bua diketahui berusia 60.000 – 100.000 tahun. Adapun alat batu yang dipakai Homo Floresiensis diperkirakan berumur 50 ribu – 190 ribu tahun.

Kemudian, didapati pula temuan yang menunjukkan bahwa ada sejumlah hewan yang turut punah beserta Homo Floresiensis, yakni gajah kecil, burung Marabou raksasa, burung Nazar, dan komodo.

Sayangnya, belum ada petunjuk jelas yang menerangkan penyebab kepunahan Hobbit dari Liang Bua tersebut.

Di sisi lain, masih ada perdebatan di kalangan ahli mengenai siapa sebenarnya Homo Floresiensis. Sebagian ahli menduga makhluk purba ini merupakan jenis spesies manusia baru yang mempunyai ciri-ciri kombinasi antara Homo erectus dan manusia modern.

Sebaliknya, ada sejumlah kelompok ilmuwan lainnya yang menganggap kerangka dari situs Liang Bua adalah jenis manusia modern seperti yang hidup pada masa sekarang, tapi mengalami cedera atau patalogis serta memiliki penyakit microcephaly (kelainan otak) sehingga jadi kerdil.

Baca juga artikel terkait MANUSIA PURBA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom