tirto.id - Kesultanan Bima merupakan kerajaan di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mulai bercorak Islam sejak tahun 1620 Masehi. Ada beberapa jejak peninggalan sejarah Kerajaan Bima yang masih dapat ditemui hingga kini.
Sebelum memeluk Islam dan menjadi kesultanan, Kerajaan Bima menganut agama Hindu. Peter Truhart dalam Regent of Nations, Part 3: Asia-Pacific and Oceania (2003) menuliskan, Kerajaan Bima masa Hindu berdiri sejak permulaan abad ke-13 Masehi.
Ketika itu, wilayah yang menjadi kekuasaan Kerajaan Bima meliputi sejumlah pulau di Nusa Tenggara, seperti Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, Komodo, dan lainnya.
Sedangkan menurut Van Dijk (1925), dikutip dari "Kesultanan Bima di Nusantara" karya Tawalinuddin dalam jurnal Wacana (Vol.8, No.1, 2006), hingga abad ke-19, Kesultanan Bima menguasai timur Pulau Sumbawa, Flores Barat (Manggarai), dan 66 pulau kecil lainnya di Selat Alas.
Dikutip dari buku Bima Dalam Lintasan Sejarah (2015:69) tulisan Gani Abdullah, daerah-daerah tersebut sudah mulai terpengaruh Islam sebelum akhirnya Bima menjadi kesultanan pada abad ke-17 Masehi.
Pengaruh Islam datang dari Kesultanan Gowa-Tallo, Makassar, yang kala itu sedang melawan VOC atau Belanda di Nusa Tenggara.
Didik Pradjoko dan kawan-kawan dalam Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013:231) mengungkapkan, Gowa-Tallo melancarkan serangan terhadap Belanda hingga akhirnya menaklukkan beberapa kerajaan di Nusa Tenggara, salah satunya Bima.
Sejak 1620, Kerajaan Bima resmi memeluk Islam sehingga berubah menjadi kesultanan. Raja pertama yang memeluk Islam adalah Ruma-ta Ma Bata Wadu dengan gelar Sultan Abdul Kahir I.
Sultan Abdul Kahir I menikahi dengan adik ipar Sultan Gowa-Tallo. Jalinan kekerabatan antara dua kerajaan ini pun semakin erat.
Peninggalan Kesultanan Bima
1. Istana Asi Mbojo
Didirikan sejak 1888 dan digunakan kembali pada 1929. Berdasarkan catatan H. Akbar melalui artikel “Memori Kolektif Kota Bima dalam Bangunan Kuno pada Masa Kesultanan Bima” dalam jurnal Indonesian Green Technology (2017), Istana Asi Mbojo digunakan sebagai tempat tinggal sultan dan keluarganya.
2. Istana Asi Bou
Ketika Istana Asi Mbojo sedang diperbaiki, Istana Asi Bou didirikan sebagai tempat singgah sementara sultan beserta keluarganya. Bentuknya seperti rumah panggung dan dana pembangunannya berasal dari kas Kesultanan Bima dan uang pribadi Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima.
3. Masjid Sultan Muhammad Salahuddin
Bangunan ini sebenarnya telah didirikan sejak 1737 M, masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Muhammad Salahuddin menitahkan pembangunan kembali ketika memerintah Bima. Pada 1990, Siti Maryam, anak Muhammad Salahuddin, memperbaiki lagi masjid tersebut.
4. Masjid Al-Muwahiddin
Pada 1946, bangunan ini didirikan dengan tujuan tempat ibadah, dakwah, dan pembelajaran Islam sementara karena masjid Sultan Muhammad Salahuddin kondisinya rusak.
5. Rimpu
Rimpu adalah kain busana wanita yang digunakah oleh perempuan Islam di Bima. Aksa dalam artikel “Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima” yang termuat di jurnal MIMIKRI (Vol.4, No.1, 2018:85) menjelaskan, peninggalan budaya ini sudah ada di Bima sejak abad ke-17 M.
Daftar Raja Kesultanan Bima
- Abdul Kahir I atau Ruma-ta Ma Bata Wadu (1620-1640 M)
- I Ambela Abi’I Khair Sirajuddin atau Mantau Uma Jati (1640-1682 M)
- Nuruddin Abu Bakar All Syah atau Mawa’a Paju (1682-1687 M)
- Jamaluddin Ali Syah atau Mawa’a Romo (1687-1696 M)
- Hasanuddin Muhammad Syah atau Mabata Bo’u (1696-1731 M)
- Alauddin Muhammad Syah atau Manuru Daha (1731-1748 M)
- Kamalat Syah atau Rante Patola Sitti Rabi’ah (1748-1751 M)
- Abdul Kadim Muhammad Syah atau Mawa’a Taho (1751-1773 M)
- Abdul Hamid Muhammad Syah atau Mantau Asi Saninu (1773-1817 M)
- Ismail Muhammad Syah atau Mantau Dana Sigi (1817-1854 M)
- Abdullah atau Mawa’a Adil (1854-1868 M)
- Abdul Aziz atau Mawa’a Sampela (1868-1881 M)
- Ibrahim atau Ma Tahi Parange (1881-1915 M)
- Muhammad Salahuddin (1915-1951 M)
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya