Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Kerajaan Larantuka: Lokasi, Pengaruh Kristen, & Peninggalan

Sejarah Kerajaan Larantuka di Flores terkait erat dengan pengaruh agama Kristen Katolik yang dibawa Portugis.

Sejarah Kerajaan Larantuka: Lokasi, Pengaruh Kristen, & Peninggalan
Misionaris Kristen di Larantuka, NTT. wikimedia commons/free Share

tirto.id - Kerajaan Larantuka merupakan salah satu kerajaan Kristen yang pertama dan terakhir di Nusantara. Kerajaan ini terletak di Flores, Nusa Tenggara Timur. Hegemoni kerajaan ini terjadi sekitar abad ke-16 saat Portugis memasuki daerah Timur.

Sebelum berhubungan dengan Portugis, Larantuka sempat menjalin kerja sama dengan pihak lain, salah satunya dengan imperium kerajaan terbesar di Jawa, yaitu Majapahit.

Informasi ini termaktub dalam buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005) karya Slamet Mulyana. Dalam buku itu dituliskan, Majapahit melebarkan kekuasaannya sampai ke kawasan timur Nusantara, salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan ialah Larantuka.

Namun, seiring melemahnya kekuasaan Majapahit sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Larantuka pun berdiri menjadi sebuah kerajaan merdeka. Kemudian, Larantuka menjalin hubungan dengan Portugis saat negara itu masuk ke Timur Nusantara.

Hubungan dengan Portugis, Pengaruh Agama, dan Peninggalan

Hubungan itu dimulai ketika Portugis sedang transit di Larantuka sebelum menuju Maluku yang saat itu terkenal sebagai daerah pusat rempah-rempah. Kemudian, Portugis mengetahui bahwa Larantuka juga terdapat banyak komoditas yang laku di pasaran Eropa, salah satunya kayu cendana. Oleh karena itu, Portugis melakukan perdagangan sekaligus menyebarkan ajaran Katolik di Larantuka yang bertahan hingga saat ini.

Mengutip hasil penelitian Narasatriangga, dkk berjudul Dominasi Kultural Figur Bunda Maria dalam Ritual Semana Santa Pada Masyarakat Larantuka, Flores Timur dalam Jurnal Humanis (Volume 22, 2018), tradisi agama Katolik ini dibawa oleh Portugis yang datang untuk berdagang rempah-rempah, termasuk cendana dari Pulau Solor dan Timor pada abad ke-16 yang berpusat di Lohayong, Solor Timur.

Pengaruh Katolik yang dibawa Portugis benar-benar mengakar di Larantuka. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan gelar raja-raja yang memimpin. Salah satu contohnya, Raja Ola Adobala yang bergelar Don Francisco DVG, demikian dikutip M. Nijhoff dalam jurnal Anthropologica (Volume 140, 1984:324).

Menukil dari hasil penelitian Mulyati bertajuk Semana Santa, Tradisi Paskah Umat Katolik di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur yang terhimpun dalam jurnal Walasuji (Volume 10, 2019), pada 1613 serangan Belanda (VOC) di Solor menyebabkan Portugis kalah dan bersama beberapa pribumi mereka mengamankan diri ke Larantuka.

Persaingan antara Portugis dan Belanda ini terus berlanjut, hingga pada tahun 1749 terjadi Perang Penfui (Dominikus Meak Parera & ‎Gregor Neonbasu, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor, 1994:21). Pada perang ini, Portugis berhasil memenangkannya, sementara Belanda hanya mampu bertahan.

Namun, setelah peperangan ini, Portugis mengalami perpecahan dengan munculnya kelompok Zwarte Portugeesen atau Portugis-Hitam. Didik Pradjoko, dkk dalam buku Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013:261), menyebut bahwa kelompok itu terdiri dari terdiri dari warga lokal keturunan Portugis yang bercampur dengan orang Melayu dari Malaka.

Kondisi pun semakin sulit, mengutip dari Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur karya M. Koehuan, dkk, tepat pada 20 April 1859, Portugis akhirnya menyerahkan Flores, termasuk Larantuka kepada Belanda.

Sejak saat itu, pemerintahan kerajaan Larantuka pun dihapuskan oleh Belanda. Berakhirnya kerajaan ini bukan berarti menghilangkan pengaruhnya. Terbukti, pengaruh Katolik masih ada hingga saat ini, salah satunya dapat dilihat dari tradisi Semana Santa yang dilaksanakan saat Paskah.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN LARANTUKA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Alexander Haryanto