tirto.id - Jayanagara merupakan pemimpin Kerajaan Majapahit ke-2 yang bertakhta pada periode tahun 1309 hingga 1328 Masehi. Sejarah mencatat, ia merupakan Raja Majapahit yang paling dibenci. Selama era pemerintahan Jayanagara, muncul rangkaian pemberontakan yang akhirnya menewaskan sang raja.
Lahir pada 1294 Masehi, Jayanagara adalah putra dari pendiri sekaligus raja pertama Majapahit, Raden Wijaya. Jayanagara merupakan buah hati Raden Wijaya dengan istrinya yang berasal dari Kerajaan Dharmasraya (Sumatera) bernama Dara Petak atau Indreswari.
Keberadaan Dara Petak tidak terlepas dari Ekspedisi Pamalayu pada 1275-1286 oleh Kerajaan Singasari yang diperintah Raja Kertanegara dan beribukota di Malang, Jawa Timur. Setelah Singasari runtuh, Majapahit muncul sebagai penerus kekuasaan terbesar di tanah Jawa.
Alasan Jayanagara Tidak Disukai
Pararaton menyebut Jayanagara dengan nama Kalagemet yang ditafsirkan sebagai olok-olok. Nama tersebut memiliki arti “lemah” atau “jahat”.
Sejak naik takhta pada 1309 dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan sosok putra mahkota Raden Wijaya ini.
Salah satu penyebabnya adalah karena Jayanagara berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari wangsa raja-raja di Jawa. Selain itu, Jayanagara bukan lahir dari permaisuri, melainkan dari istri selir Raden Wijaya.
Pitono Hardjowardojo dan kawan-kawan dalam buku berjudul Pararaton (1965) memaparkan, sebelum menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sudah punya beberapa istri yang semuanya adalah putri Kertanagara. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah menantu Kertanegara, raja terakhir Singasari.
Merujuk Nagarakertagama, Haris Daryono Ali Haji dalam Menggali Pemerintahan Negeri Doho (2012) menyebutkan, kebiasaan raja-raja di Jawa zaman dulu bahwa yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.
Meskipun berstatus sebagai istri selir, Dara Petak berhasil membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan putranya, Jayanagara, sebagai putra mahkota Majapahit.
Itulah kemudian yang terjadi: Jayapura berkuasa di Majapahit dan memantik kebencian mendalam dari kalangan istana sendiri.
Pemberontakan & Tewasnya Jayanagara
Jayanagara digambarkan sebagai sosok raja yang punya sifat jahat, kejam, dan gila kuasa. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama (2006) menuliskan, Jayanagara sangat khawatir kehilangan takhtanya.
Dikutip dari Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (2007) karya Purwadi, Jayanagara melarang dua adik perempuannya, yakni Dyah Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi) dan Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa), menikah.
Jayanagara selalu menghalangi jika ada pria yang hendak meminang kedua adik tirinya itu. Ia takut jika nantinya suami adik-adiknya tersebut mengancam kekuasaannya sebagai pemilik tunggal takhta Majapahit.
Sikap dan sifat Jayanagara ini kemudian memantik rangkaian pemberontakan, yang bahkan dimotori oleh orang-orang kepercayaan ayahnya, yakni Raden Wijaya, sendiri. Mereka menganggap, takhta Majapahit jatuh ke tangan orang yang salah.
Dari sekian banyak pemberontakan pada era Jayanagara, ada beberapa yang paling mengguncang Majapahit, antara lain perlawanan yang dipimpin oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, Ra Semi pada 1318, hingga Ra Kuti pada 1319.
Dua pemberontakan terakhir dilakukan oleh anggota Dharmaputra, jabatan untuk orang-orang yang memiliki kedudukan khusus dan dahulu ditunjuk langsung oleh Raden Wijaya.
Purwadi dalam Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik (2007) menyebutkan, Dharmaputra terdiri dari 7 orang, yakni Ra Semi, Ra Kuti, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa, dan Ra Tanca.
Jayanagara selalu lolos dari maut dalam berbagai aksi pemberontakan itu, salah satunya berkat bantuan Gajah Mada yang kelak menjabat sebagai Mahapatih Majapahit pada rezim pemerintahan berikutnya.
Nyawa Jayanagara melayang justru ketika situasi kerajaan sudah agak tenang, di tangan orang dalam istana yang tidak lain adalah tabib sekaligus pengawal kepercayaannya sendiri yang juga anggota Dharmaputra, Ra Tanca.
Tahun 1328, Jayanagara tewas mengenaskan di dalam kamarnya. Sebelumnya, sang raja meminta Ra Tanca mengobati sakit bisulnya. Saat itulah Ra Tanca justru menikam Jayanagara dari belakang dan mati seketika.
Gajah Mada yang saat itu bertugas sebagai Bhayangkara (pengawal khusus raja) langsung bertindak dengan membunuh Ra Tanca.
Jenazah Jayanagara dikebumikan di Trowulan (dekat Mojokerto, Jawa Timur), yang menjadi pusat pemerintahan Majapahit kala itu.
Setelah Jayanagara tiada, yang dinobatkan sebagai penguasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Gitarja atau Tribhuwana Tunggadewi. Pemimpin perempuan ini adalah ibunda Hayam Wuruk.
Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi, karier Gajah Mada melesat hingga ditunjuk sebagai Mahapatih Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa untuk menyatukan Nusantara.
Daftar Raja-raja Majapahit
- Raden Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309)
- Kalagemet /Sri Jayanagara (1309-1328)
- Sri Gitarja/Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350)
- Hayam Wuruk/Sri Rajasanagara (1350-1389)
- Wikramawardhana (1389-1429)
- Suhita /Dyah Ayu Kencana Wungu (1429-1447)
- Kertawijaya/Brawijaya I (1447-1451)
- Rajasawardhana/Brawijaya II (1451-1453)
- Purwawisesa /Girishawardhana/Brawijaya III (1456-1466)
- Bhre Pandansalas/Suraprabhawa/Brawijaya IV (1466-1468)
- Bhre Kertabumi/Brawijaya V (1468 -1478)
- Girindrawardhana/Brawijaya VI (1478-1489)
- Patih Udara/Brawijaya VII (1489-1527)
Editor: Agung DH