tirto.id - Masuknya Jepang ke Indonesia menandai dimulainya babak baru dalam sejarah Indonesia. Setelah ditandatanganinya Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, secara resmi Dai Nippon menduduki wilayah Indonesia, menggantikan Belanda.
Pergantian rezim penjajahan ini berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia saat itu. Salah satunya adalah dibentuknya sejumlah organisasi kemasyarakatan rakyat Indonesia oleh pemerintahan militer Jepang.
Pada masa pendudukan pemerintah militer Jepang, aspek sosial kemasyarakatan menjadi salah satu aspek yang cukup diperhatikan. Ada beberapa gerakan atau organisasi masyarakat yang dibentuk di era penjajahan Dai Nippon di Indonesia pada 1942 hingga 1945.
Gerakan 3A
Gerakan 3A merupakan salah satu bentuk propaganda pemerintah pendudukan Jepang agar mendapat simpati dari masyarakat Indonesia.
Abdulsalam dalam buku Menudju Kemerdekaan (1964) menyebutkan bahwa pembentukan gerakan 3 A dimaksudkan untuk membantu usaha peperangan Jepang melawan Sekutu di Perang Dunia II.
Gerakan 3A dibentuk pada 29 April 1942 dan diketuai oleh Mr. Syamsuddin, memiliki tigas semboyan utama yaitu:
- Nippon Pemimpin Asia
- Nippon Pelindung Asia
- Nippon Cahaya Asia
Akan tetapi, gerakan ini tak bertahan lama karena orientasinya yang lebih berfokus terhadap kepentingan Jepang ketimbang rakyat Indonesia. Setelah menuai protes keras dari masyarakat, pada 1943 Gerakan 3A dihapuskan.
Sendenbu
Dikutip dari Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (1993), Sendenbu atau Departemen Propaganda dibentuk pada Agustus 1942.
Sendenbu dibawahi langsung oleh Badan Pemerintahan Militer Jepang (Gunseikanbu). Dibentuknya Sendebu ini untuk bertanggungjawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil.
Kegiatan Sendenbu ditujukan kepada penduduk sipil di Jawa, meliputi orang Indonesia, Indo-Eropa, minoritas Asia, dan Jepang.
Sedangkan Seksi Penerangan Angkatan Darat ke-16 melaksanakan propaganda bagi tentara Jepang, tawanan perang, dan warga negara musuh melalui siaran luar negeri.
Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
Sugiyarto dalam Gerakan Pemuda di Depan Gerbang Kemerdekaan Indonesia (2019) menyebutkan, pemerintah pendudukan Jepang mengubah kebijakan politiknya dengan merangkul barisan nasionalis pemuda Indonesia.
Perubahan kebijakan ini dilakukan agar para pemuda Indonesia secara sukarela bersedia membantu peperangan Jepang melawan Sekutu dalam Perang Dunia II atau Perang Asia Timur Raya.
Salah satu upayanya adalah dengan sebuah organisasi pemuda yang diberi nama Pusat Tenaga Rakyat, disingkat Putera, dengan melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara atau Empat Serangkai.
Putera secara resmi berdiri pada 16 April 1943 sebagai organisasi sosial kemasyarakatan bentukan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Dalam menjalankan fungsinya, Putera bertugas untuk menghimpun kembali kekuatan rakyat yang sebelumnya telah dihancurkan oleh Belanda.
Namun, penghimpunan kekuatan ini bukan tanpa maksud. Jepang tetap mengedepankan prinsip bahwa pembentukan Putera mesti memberikan dampak lebih bagi Dai Nippon di Perang Dunia II.
Akan tetapi, Putera justru dimanfaatkan tokoh Empat Serangkai untuk menyebarkan paham nasionalisme kepada kaum pemuda Indonesia.
Melihat perkembangan Putera yang memberikan banyak dampak terhadap semangat kebangsaan pemuda Indonesia, maka Jepang membubarkan organisasi pada 1944.
Jawa Hokokai
Anik Sulistiyowati dalam Modul Pembelajaran SMA: Sejarah Indonesia Kelas XI (2020), menyebutkan, situasi Perang Asia Timur Raya pada 1944 mulai tidak berpihak kepada Jepang.
Pasukan Sekutu dapat mengalahkan tentara Jepang di berbagai front. Hal ini menyebabkan kedudukan Jepang di Indonesia semakin terdesak.
Dari situlah kemudian dibentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa) pada 8 Januari 1944 oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Jawa Hokokai diharapkan menjadi wadah bagi rakyat Indonesia untuk memberikan darma baktinya terhadap Jepang yang sedang kepayahan di Perang Dunia II dan membutuhkan dukungan.
Tujuan dari pembentukan himpunan ini adalah mengorbankan diri, mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan suatu tindakan dengan bukti.
Namun, dalam perjalanannya, tulis Nugroho Notosoesanto melalui buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979), Jawa Hokokai tidak mendapat respons yang baik dari rakyat Indonesia.
MIAI atau Masyumi
Cikal-bakal Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) sebenarnya sudah ada pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, tepatnya dibentuk pada 21 September 1937.
Pendirian MIAI adalah untuk menaungi berbagai organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya.
Diharapkan, dengan adanya MIAI dapat memperkuat hubungan antara umat Islam demi mempersatukan suara untuk membela kepentingan kaum muslimin.
Sempat dibubarkan, MIAI dibangkitkan kembali pada era pendudukan Jepang di Indonesia pada 4 September 1942 dengan nama Masyumi. Kala itu, Masyumi belum menjadi partai politik.
Tujuan Jepang mengizinkan berdirinya Masyumi agar dapat memobilisasi umat Islam untuk kepentingan perang melawan Sekutu.
Adapun tugas dan tujuan Masyumi yaitu menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia, mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman, dan ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Kegagalan Jepang mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat) juga menjadi salah satu faktor dibentuknya Masyumi.
Awalnya, Masyumi adalah federasi yang menaungi organisasi Islam pada masa pendudukan Jepang. Masyumi mendeklarasikan diri sebagai partai politik setelah Indonesia merdeka.
Abdul Rahman melalui penelitiannya berjudul "Masyumi dalam Kontestasi Politik Orde Lama" menyebutkan, Masyumi ditetapkan menjadi partai politik pada 7-9 November 1945 di Yogyakarta.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya