Menuju konten utama
Sejarah Masjid di Indonesia

Masjid Sultan Suriansyah: Sejarah, Interior, & Arsitektur Bangunan

Sejarah pembangunan Masjid Sultan Suriansyah terkait erat dengan sultan pertama Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan.

Masjid Sultan Suriansyah: Sejarah, Interior, & Arsitektur Bangunan
Masjid Sultan Suriansyah. foto/Domain Publik

tirto.id - Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Sejarah pembangunan masjid ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Sultan Suriansyah yang merupakan sultan pertama Kesultanan Banjar (1526-1550 M) sejak era Islam.

Sebelum memeluk Islam, nama Sultan Suriansyah adalah Pangeran Samudera. Ia merupakan cucu dari Maharaja Sukamara, penguasa Kerajaan Negara Daha. Negara Daha adalah kerajaan bercorak Hindu sebelum lahirnya Kesultanan Banjar.

Masjid Sultan Suriansyah terletak di Jalan Alalak Utara RT 5, Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masjid ini bersebelahan dengan Sungai Kuin dan berjarak 500 meter dari makam Sultan Suriansyah.

Masjid Sultan Suriansyah pernah dipugar pada tahun 1976 yang dipelopori oleh Kodam X Lambung Mangkurat. Pemugaran berikutnya terjadi pada 1999 oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.

Berdasarkan SK Menteri PM.27/PW.007/MKP/2008, pada 23 Mei 2008 Masjid Suriansyah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

Sejarah Pembangunan Masjid Sultan Suriansyah

Dikutip dari seminar “Masjid Sultan Suriansyah sebagai Simbol Dimulainya Pergerakan Islam di Kalimantan Selatan” oleh Noortieni Khairulisa (2017), Masjid Sultan Suriansyah dibangun pada 1526 Masehi oleh Sultan Suriansyah.

Pembangunan masjid ini dilakukan setelah Pangeran Samudera berhasil merebut kekuasaan Kerajaan Negara Daha dari cengkeraman pamannya yang bernama Pangeran Tumenggung.

Pangeran Samudera yang telah masuk Islam dibantu oleh Kesultanan Demak dari Jawa dalam upaya tersebut. Setelah memenangkan perang, Pangeran Samudera mengubah nama Kerajaan Negara Daha menjadi Kesultanan Banjar yang bercorak Islam.

Penelitian Noor Hasanah dan Sitti Rahmasari bertajuk Memahami Kearifan Lokal Banjar Melalui Arsitektur Masjid Sultan Suriansyah” yang terhimpun dalam Jurnal Antasari (2019) mengungkapkan, wilayah Banjar di Kalimantan Selatan mengalami proses Islamisasi pada abad ke-16.

Adanya bantuan dari Kesultanan Demak ternyata juga berpengaruh terhadap gaya arsitektur dalam pembangunan Sultan Suriansyah. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pendukung sebagai berikut:

  • Arsitektur masjid Sultan Suriansyah dipengaruhi oleh Jawa, terlihat pada bagian atap masjid yang berupa tumpeng berundak, bukan kubah. Ini merupakan pola khas bangunan Jawa.
  • Adanya makam Chatib Dajan di kompleks makam Sultan Suriansyah yang terletak ± 500m dari masjid Sultan Suriansyah. Ini menunjukkan keakraban Sultan Suriansyah dengan pemuka Islam kala itu sehingga makam mereka diposisikan berdekatan.

Arsitektur dan Interior Bangunan Masjid Sultan Suriansyah

Masjid Sultan Suriansyah didirikan di lahan seluas 30 x 25 meter dengan ukuran panjang bangunan 15,50 meter, lebar 15,70 meter, dan tinggi 10 meter.

Masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur khas Banjar, yakni berupa konstruksi rumah panggung berbahan dasar kayu ulin dan beratap tumpang tiga dengan hiasan mustaka pada bagian atapnya.

Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud (2016), ciri atap meru dipasang di Masjid Sultan Suriansyah, yakni memiliki atap bertingkat sebagai simbol bangunan terpenting di kawasan tersebut.

Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella.

Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.

Pada bagian dalam masjid terdapat sebuah mimbar berbahan dasar kayu ulin. Lengkungan pada muka mimbar dihiasi kaligrafi Arab.

Kemudian, di bawah tempat duduk mimbar terdapat undak-undak berjumlah sembilan yang dihiasi dengan ukiran sulur-sulur dan kelopak bunga.

Di bagian mihrab, atapnya terpisah dengan bangunan induk. Lalu, pada bagian daun pintu sebelah barat dan timur terdapat inskripsi Arab berbahasa Melayu yang ditulis dalam bidang berukuran 0,5 x 0,5 meter.

Dua daun pintu Lawang Agung (pintu utama) terdapat 2 buah tulisan inskripsi berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm.

Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: “Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia”.

Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)".

Kedua inskripsi ini menunjukkan telah berlangsung pembuatan Lawang Agung oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidullah I (1734-1759), yaitu pada hari Senin, tanggal 10 Sya'ban 1159.

Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah".

Kemudian, pada bagian kanan atas terdapat tulisan “Krono Legi: Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17”.

Sedangkan, pada bagian kiri terdapat tulisan, “Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri”. Hal Ini berarti bahwa pembuatan mimbar terjadi pada hari Selasa Legi, tanggal 17 Rajab 1296 atas nama Haji Muhammad Ali al-Najr.

Dikutip dari laman Pemerintah Kecamatan Banjarmasin Utara (2018), Masjid Sultan Suriansyah sudah beberapa kali mengalami pemugaran. Namun, struktur dasarnya tetap dipertahankan karena masjid ini termasuk cagar budaya peninggalan Kesultanan Banjar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya