tirto.id - Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya 1022H/1612M. Masjid ini menjadi saksi sejarah kehidupan rakyat Aceh, menjadi pusat pendidikan umat Islam, dan tetap kukuh meski diterjang tsunami pada 2004.
Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di pusat kota Banda Aceh, menjadi simbol agama, budaya, jiwa, ketangguhan, dan perjuangan masyarakat Aceh.
Pada masa awal pendirian, Masjid Raya Baturrahman tidak hanya menjadi tempat ibadah semata. Masjid ini dijadikan Kesultanan Aceh sebagai pusat pendidikan ilmu agama Islam. Mengutip laman Islamic Center, para penuntut ilmu yang datang ke masjid tersebut tidak hanya berasal dari warga lokal, tetapi juga berasal dari Melayu, Persia, Arab, hingga Turki.
Ketika zaman penjajahan Belanda, Masjid Raya Baturrahman menjadi semacam benteng pertahanan. Rakyat Aceh memperluas fungsinya sebagai basis perlawanan. Namun, dalam Agresi Militer Belanda II pada 10 April 1873 yang dipimpin oleh Jenderal van Swieten, masjid ini dibahar hingga habis.
Perjuangan rakyat Aceh sama sekali tidak surut meski kehilangan Masjid Raya Baiturrahman. Sebaliknya, justru semakin membara.
Belanda, melalui Gubernur Jenderal Van Lansnerge, kemudian berupaya meredam perlawanan ini dengan membangun kembali masjid pada 1879. Rancangannya dibuat oleh arsitek asal Belanda, Gerrit Bruins, lalu diadaptasi oleh L.P. Luijks, yang mengawasi penggarapan masjid tersebut oleh kontraktor bernama Lie A Sie.
Masjid Raya Baiturrahman selesai dibangun kembali pada 27 Desember 1881 pada masa kekuasaan Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah. Rakyat Aceh sempat menolak untuk beribadah di masjid tersebut karena dibangun oleh Belanda. Namun, lambat laun, Baiturrahman menjadi ikon utama Aceh.
Ciri Arsitektur Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Melansir laman IPLBI, Masjid Raya Baiturrahman Aceh memiliki kemiripan dengan Taj Mahal di India. Dengan adanya menara dan kubah besar, desain masjid ini memang memakai gaya arsitektur Mughal. Namun, dipadukan dengan berbagai unsur lain, termasuk budaya asli Aceh.
Menurut laman Sistem Informasi Masjid Kemenag, Masjid Raya Baiturrahman Aceh berdiri pada lahan seluas 31.000 meter persegi. Luas bangunannya sekitar 4.000 meter persegi. Masjid mampu menampung sekitar 13 ribu jamaah.
Masjid yang berlokasi di Jalan Muhammad Jam No.1 Kota Banda Aceh tersebut awalnya memiliki 1 kubah. Dalam perluasan masjid pada 1935, ditambahan 2 kubah yang terletak di kanan-kiri kubah awal.
Dalam perluasan masjid yang dilakukan pada 1991 hingga 1993, jumlah kubah Masjid Raya Baiturrahman ditambahkan lagi hingga total 7 kubah sampai sekarang.
Keunikan lain masjid ini ada pada pintunya. Pintu-pintu di sana identik berupa 3 pintu besar yang berkesan gigantis. Banyak ornamen menghiasi pintu itu. Cahaya dapat masuk melalui celah-celah pintu yang dibuat dari kayu.
Menara utama dibuat di tengah halaman Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Menara utama tersebut memiliki ketinggian 53 meter. Di area pelataran masjid, sebelumnya juga telah dibangun 4 menara identik dan memiliki kemiripan dengan bangunan berarsitektur Mughal.
Masjid Raya Baiturrahman Aceh memiliki kolom yang dibuat dari beton. Di sana ditambahkan berbagai ornamen dengan ciri Islam yang kental. Warna kolom yang diberikan sentuhan putih bagai menggambarkan kebersihan dan kesucian masjid ini.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fitra Firdaus