Menuju konten utama
Ramadhan 2021

Masjid Tua Palopo, Sejarah Islam di Luwu, & Keunikan Arsitektur

Sejarah Masjid Tua Palopo di Sulawesi Selatan punya kaitan erat dengan eksistensi Kerajaan Luwu.

Masjid Tua Palopo, Sejarah Islam di Luwu, & Keunikan Arsitektur
Masjid Tua Palopo. wikimedia commons/free/Midori

tirto.id - Masjid Tua Palopo merupakan masjid yang pertama kali didirikan di Sulawesi Selatan. Pembangunan tempat ibadah dengan keunikan arsitektur yang dibangun sejak 1615 dan bernama Masjid Jami’ Tua Palopo ini punya sejarah terkait eksistensi Kerajaan Luwu.

Dinamakan Masjid Tua Palopo lantaran usia masjid ini memang sudah sangat lama. Sedangkan penamaan Palopo berasal dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua makna.

Arti Palopo yang pertama yaitu penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula. Sedangkan makna kedua adalah memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan, seperti yang dilakukan dalam proses pembangunan Masjid Tua Palopo.

Masuknya Ajaran Islam ke Palopo

Sebelum masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, Palopo sama seperti dengan wilayah Nusantara lainnya yang masih menganut kepercayaan lokal yakni animisme dan dinamisme.

Keberadaan Palopo sendiri terkait erat dengan eksistensi Kedatuan (Kerajaan) Luwu di Sulawesi Selatan yang mulai diketahui sejak abad ke-14 Masehi. Setelah Kedatuan Luwu memeluk Islam, Palopo menjadi pusat pemerintahan kerajaan suku Bugis itu.

Muhammad Ali Saputra dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar melalui tulisan "Masjid Tua Palopo" dalam Jurnal Pusaka (Volume 1, 2013:4) menyebutkan, ajaran Hindu dan Buddha tidak menyentuh kehidupan masyarakat Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.

Pendapat tersebut diperkuat dengan sulitnya melacak jejak-jejak keberadaan sisa-sisa peninggalan peradaban Hindu-Buddha di Palopo dalam bentuk material sebagaimana tinggalan bangunan candi di Jawa dan Sumatera.

Sementara itu, masuknya pengaruh Islam ke Sulawesi Selatan tidak terlepas dari perkembangan Islam ke Makassar dan menyebar hingga Palopo. Islamisasi di Palopo berawal dari kedatangan tiga orang ulama asal Minangkabau, yaitu Sulaiman, Bungsu, dan Abdul Ma’mur, pada akhir Abad 16 M.

Masih dalam tulisan Muhammad Ali Saputra disebutkan, sesampainya di Luwu, para ulama tersebut dibawa untuk menghadap pemimpin Kedatuan Luwu yakni La Patiware Daeng Parabu (1587-1615 M).

Datu Luwu, tulis Haris Tawalinuddin dalam makalah berjudul "Masjid Luwu: Sebuah Tinjauan Arsitektur" yang disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi di Cipanas 3-9 Maret 1986, akhirnya bersedia menerima agama Islam pada 1603 Masehi, tepatnya tanggal 15 Ramadhan.

Sejarah Berdirinya Masjid Tua Palopo

Sejak saat itu, Kedatuan Luwu berubah menjadi pemerintahan dengan corak Islam. Datu Luwu pun memiliki gelar baru, yakni Sultan Muhammad Waliyyul Mudharuddin yang setelah wafatnya dijuluki Matinroe ri Ware’.

Penerus kepemimpinan Kedatuan Luwu adalah sang putra yang bernama Pattipasaung dan bergelar Sultan Abdullah (1615-1637 M).

Dikutip dalam Islamisasi Kedatuan Luwu pada Abad XVII (2009) karya Syukur dan Syamzan, pada masa Sultan Abdullah, ibu kota Kedatuan Luwu dipindahkan ke Wara’ atau yang kemudian dikenal dengan nama Palopo, pada 1610 Masehi.

Di Palopo, pendalaman sekaligus dakwah ajaran Islam dilakukan semakin intensif. Hal inilah yang kemudian mengindikasikan bahwa pendirian Masjid Tua Palopo terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Abdullah.

Arsitektur Masjid Tua Palopo

Ambary dan Hasan Muarif dalam Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (2001) memaparkan, bangunan masjid merupakan hasil rancang bangun yang disesuaikan dengan alam dan budaya masyarakat setempat.

Bangunan Masjid Tua Palopo diarsiteki seorang ahli membuat menara bernama Pong Mante yang didatangkan dari Makale (kini termasuk wilayah Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan).

Dikutip dari tulisan Muhammad Ali Saputra, Masjid Tua Palopo memiliki ciri arsitektur sebagai berikut:

  • Memiliki denah dasar berbentuk segi empat bujur sangkar berukuran 15x15 meter kuadrat dan tidak memiliki serambi.
  • Pondasi dan tangga masjid terbuat dari batu padas (andesit).
  • Lantai terbuat dari bahan tegel/ubin teraso.
  • Memiliki mihrab yang tampak dari luar ruang utama masjid seperti genta atau stupa, sedangkan dari dalam seperti berbentuk lengkungan setengah lingkaran.
  • Memiliki mimbar yang bagian atapnya disusun dari kulit kerang berukuran tipis.
  • Dinding masjid ini memiliki konstruksi dari susunan balok-balok batu padas (andesit) yang berbentuk segi empat.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2021 atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya