tirto.id - Akulturasi dalam perkembangan budaya Islam di Indonesia adalah hal yang tidak bisa dihindarkan saat terjadi kemajemukan di dalam masyarakat. Budaya, suku, ras, golongan, hingga agama yang berbeda dari membaurnya masyarakat asli dan pendatang, berpeluang tinggi menciptakan akulturasi.
Persinggungan perbedaaan membuat sebuah ketertarikan untuk melakukan proses adaptasi di berbagai bentuk kebudayaan.
Akulturasi, menurut sosiolog Gillin dan Raimy, merupakan proses budaya pada masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain. Adanya kontak sosial dengan budaya lain akan memicunya. Ciri khas akulturasi adalah proses adaptasi tersebut masih tetap mempertahannya kebudayaan lama.
Terjadinya akulturasi dimaksudkan untuk mengembangkan budaya dan sekaligus mempertahankannya. Dr. Trina Harlow berpendapat bahwa cara ini dipakai sebagai sarana mempertahankan budaya sendiri sekaligus belajar memahami keberadaan budaya lain.
Dr. Trina mencontohkan, akulutasi ibarat mangkuk salad yang di dalamnya diisi berbagai bahan makanan. Isian tersebut memang bercampur, namun masing-masing tetap menunjukkan independensinya dan saling meningkatkan posisi satu sama lain. Proses akulturasi tidak berjalan tunggal dan terjadi dengan dinamis.
Contoh Akulturasi Budaya Islam
Masuknya Islam di Nusantara juga turut memengaruhi akulturasi. Akulturasi tersebut nampak dalam berbagai hal. Ajaran Islam sebelum awalnya berkembang di Jazirah Arab, dibawa ke Nusantara melalui pedagang, dan terjadi perpaduan dengan budaya setempat.
Islam turut memengaruhi adat yang berkembang di Indonesia. Adat dikenal sebagai al urf dalam Islam yang dipahami sebagai kebiasaan masyarakat yang dilakukan turun termurun. Adat adalah hasil refleksi atau pematangan sosial.
Abdul Wahab Khallaf, ahli fikih Islam, menilai urf muncul karena adanya saling pengertian banyak orang dengan tidak memandang stratifikasi sosial. Hadirnya urf tidak tergantung pada transmisi biologis dan pewarisan dari unsur genetik.
Dengan demikian, adat masyarakat dapat mengalami akulturasi saat bersinggungan dengan adat atau budaya lain yang bisa dimaklumi bersama. Begitu juga saat Islam datang ke Nusantara lalu bersinggungan dengan adat setempat, muncul akulturasi termasuk adat yang berciri paduan dengan Hindu - Budha dari kerajaan berkuasa saat itu.
Contoh pengaruh Islam ini sering muncul dalam upacara-upacara sosial budaya. Di adat Jawa, seperti Surakarta, muncul penanggalan Islam namun masih membawa sisi weton di dalamnya seperti Pahing, Pon, Wage, dan sebagainya. Penanggalan itu masih dipakai sampai sekarang.
Di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta juga ada tradisi Sekaten. Sekaten adalah pesta rakyat yang konon untuk masuk ke dalamnya harus membaca dulu Syahadatain atau dua kalimat syahadat.
Sementara itu di Sumatera terdapat upcara tabut dalam memperingati maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Tradisi serupa hadir pula di Takalar dengan nama maudu' lompoa.
Tradisi tahlil, barzanji, dan upacara peringatan untuk orang-orang yang
baru meninggal, adalah bentuk konversi budaya masa lalu yang dinilai lebih jahiliah. Sebagian da'i Islam masa lalu mencoba memberikan alternatif budaya pengganti dari budaya masa lalu yang dianggap menyimpang.
Seni ukir dan bangunan tak luput dari akulturasi Islam. Dalam seni ukir, hadir ukiran kaligrafi yang membawa bentuk kalimat bahasa arab dari potongan Al Quran dan Al Hadits. Kreasi ukiran yang melukiskan makhluk hidup, disamarkan dengan berbagai hiasan.
Pada seni bangunan, paling kentara dari akulturasi Islam adalah bangunan masjid dan menara kuno. Ciri masjid kuno di Indonesia yaitu memiliki atap bersusun yang berjumlah ganjil. Menara yang didirikan dipakai untuk mengumandangkan masjid, serta didahului dengan memukul beduk atau kentongan. Masjid kuno masih bisa ditemukan pada Masjid Kudus dan Masjid Banten.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Agung DH