Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Perjanjian Giyanti: Lahirnya Kerajaan Surakarta-Yogyakarta

Perjanjian Giyanti mempengaruhi jalannya sejarah Jawa serta memunculkan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Sejarah Perjanjian Giyanti: Lahirnya Kerajaan Surakarta-Yogyakarta
Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Maulana Surya/aww.

tirto.id - Perjanjian Giyanti amat mempengaruhi jalannya sejarah peradaban Jawa. Isi perjanjian yang juga melibatkan Belanda atau VOC ini telah membelah wilayah Mataram Islam yang memunculkan dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Dikutip dari buku berjudul Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX (2006) yang ditulis Purwadi, Perjanjian Giyanti disebut pula dengan Babad Palihan Negari yang ditandatangani tanggal 13 Februari 1755 di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, dekat Karanganyar, Jawa Tengah.

Berdasarkan Perjanjian Giyanti, wilayah milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak (yang mengalir dekat Candi Prambanan) dikuasai oleh Susuhunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta.

Sedangkan yang wilayah yang berada di sebelah barat Sungai Opak menjadi kepunyaan Kasunanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I.

Latar Belakang Perjanjian Giyanti

Latar belakang terjadinya Perjanjian Giyanti tidak terlepas dari polemik internal di kalangan anggota keluarga istana Kasunanan Kartasura atau yang menjadi pewaris Wangsa Mataram Islam saat itu.

Nantinya, muncul dua kerajaan baru sebagai pengganti Kasunanan Kartasura, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Terdapat tiga tokoh utama yang terlibat dalam konflik saudara ini, yaitu Pangeran Prabasuyasa atau Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa (nantinya bergelar Adipati Mangkunegara I).

Susuhunan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726.

Adapun Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sama-sama merasa berhak mendapatkan bagian dari kekuasaan Kasunanan Kartasura setelah Amangkurat IV wafat. Namun, VOC justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa sebagai raja.

Pangeran Prabasuyasa kemudian bergelar Susuhunan Pakubuwana II (1745-1749) dan memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta. Maka, berdirilah Kasunanan Surakarta sebagai bentuk paling baru kerajaan turunan Mataram.

Dua Kerajaan Pewaris Mataram Islam

Raden Mas Said mengobarkan perlawanan terhadap VOC untuk menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram. Ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara, adalah putra sulung Amangkurat IV.

Sartono Kartodirdjo dalam Sejak Indische sampai Indonesia (2005) mengungkapkan, Pangeran Arya Mangkunegara seharusnya menjadi penguasa Mataram sebagai penerus Amangkurat IV. Namun, lantaran kerap menentang VOC, ia diasingkan ke Sri Lanka hingga meninggal dunia

Bukan hanya Raden Mas Said yang merasa berhak atas takhta. Pangeran Mangkubumi juga berhasrat serupa. Ia bahkan sempat menemui pejabat VOC di Semarang pada 1746 dan meminta dirinya diangkat menjadi raja, tetapi ditolak.

Penolakan itu membuat Pangeran Mangkubumi marah dan bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Pakubuwana II dan VOC, demikian tulis Joko Darmawan dalam Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017).

Pakubuwana II wafat pada 20 Desember 1749. Pangeran Mangkubumi kemudian mengklaim diri sebagai raja baru, namun VOC segera menaikkan putra mendiang Pakubuwana II, yakni Raden Mas Soerjadi sebagai Susuhunan Pakubuwana III di Kasunanan Surakarta.

Sepeninggal Pakubuwana II, perlawanan terhadap VOC dan Surakarta semakin menghebat. Pangeran Mangkubumi memimpin pasukannya dari sebelah timur Surakarta, sementara angkatan perang pimpinan Raden Mas Said menyerang dari utara.

VOC yang merasa kewalahan kemudian menjalankan siasat pecah-belah. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said diadu-domba yang membuat keduanya berpisah jalan.

Dampak Perjanjian Giyanti

Di sisi lain, utusan VOC juga menghubungi Pangeran Mangkubumi secara diam-diam. VOC menjanjikan Pangeran Mangkubumi akan menerima separuh wilayah Mataram yang kini dikuasai Pakubuwana III jika menghentikan perlawanannya.

Tanggal 13 Februari 1755, VOC dan Pangeran Mangkubumi bertemu. Pertemuan inilah yang nantinya menghasilkan Perjanjian Giyanti.

Atmakusumah dalam Takhta untuk Rakyat (2011) menyebut bahwa Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan yang pada pokoknya “membelah nagari” atau membagi Mataram menjadi dua bagian.

Berdasarkan Perjanjian Giyanti, kawasan milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak dikuasai oleh Susuhunan Pakubuwana III dengan kedudukan tetap di Surakarta. Sedangkan yang di sebelah barat menjadi kepunyaan Pangeran Mangkubumi.

Di wilayah bagiannya, Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi menjadi sebagai raja pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.

Raden Mas Said yang harus menghadapi lebih banyak musuh pada akhirnya nanti juga memperoleh jatah atas campur-tangan VOC. Ia diberikan sebagian wilayah Kasunanan Surakarta yang kemudian menjadi Kadipaten Mangkunegaran.

Baca juga artikel terkait PERJANJIAN GIYANTI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH