tirto.id - Sejarah emansipasi perempuan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran R.A. Kartini yang memperjuangkan kesetaraan antara kaum wanita dan pria. Hari lahir ibu kita Kartini yakni tanggal 21 April 1879 selalu diperingati setiap tahunnya.
Lahir di Jepara, Jawa Tengah, R.A. Kartini berasal dari keluarga ningrat Jawa terpandang. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah Bupati Jepara dan masih punya garis keturunan dari wangsa Mataram.
Dikutip dari buku Biografi Pahlawan Nasional R.A. Kartini (2008), ibunda Kartini bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru mengaji juga ulama.
Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung maupun tiri.
Kakek Kartini, Pangeran Condronegoro, termasuk generasi awal dari kalangan orang Jawa yang telah menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan sempurna.
Perjalanan Hidup R.A. Kartini
Meskipun berasal dari keluarga terpandang dan terpelajar, namun keluarga Kartini masih memegang teguh tradisi, termasuk mengenai peran perempuan dalam keluarga dan kehidupan.
Kartini menempuh pendidikan hanya sampai usia 12 tahun di Europese Lagere School (ELS). ELS adalah sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak peranakan Eropa, keturunan timur asing, atau pribumi dari kalangan bangsawan terkemuka.
Oleh sang ayah, Kartini diminta untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia pun mulai dipingit atau tidak boleh keluar rumah sesuai kebiasaan tradisi.
Selama dipingit di rumah, Kartini mulai menulis surat kepada teman-temannya yang kebanyakan berasal dari Eropa, seperti Estelle atau Stella Zeehandelaar, Jacques Henrij Abendanon, Rosa Manuela Abendanon, dan lainnya.
Kelak, surat-surat Kartini tersebut dibukukan dan diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan terbitan yang kemudian dikenal dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Sebelum menginjak umur 20 tahun, Kartini sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, juga karya-karya Frederik van Eeden.
Tak hanya itu, Kartini juga melahap roman feminis karangan Goekoop de-Jong van Beek dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada 12 November 1903, Kartini terpaksa menikah dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat karena permintaan ayahnya.
Suami Kartini ternyata tidak seburuk yang ia pikirkan. Ia mendukung cita-cita Kartini yang ingin memajukan perempuan di Indonesia, termasuk mengelola sekolah untuk kaum putri di kompleks kantor bupati.
Selama pernikahannya, Kartini memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini wafat 4 hari setelah melahirkan, yakni pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun.
Perjuangan R.A. Kartini
Dikutip dari Agnes Louise Symmers dalam Letters of A Javanese Princess: Raden Adjeng Kartini (1964:32), dapat dilihat surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899.
Kartini mengungkapkan keadaan dirinya dan kaum wanita di Jawa atau Indonesia pada umumnya. Kepada Stella, Kartini menulis:
“… we girls, so far as education goes, fettered by our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade girls in the strongest manner ever to go to outside of the house..."
Kartini memang konsisten memperjuangkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di lingkungannya. Aturan adat dan konstruksi sosial dalam masyarakat Jawa membuat perempuan berada di bawah laki-laki.
Misalnya mengenai pekerjaan yang tidak setara, bagaimana perempuan harus di rumah dan tidak boleh memperoleh pendidikan tinggi, juga kawin paksa yang masih sering terjadi kala itu.
Melalui surat-suratnya, Kartini menyampaikan banyak kritik, termasuk mengenai praktek poligami yang masih kerap dilakukan di kalangan ningrat Jawa.
Hal penting yang menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami adalah faktor paksaan dari orang tua agar putrinya mendapatkan suami dari kaum bangsawan.
Masyarakat Jawa kebanyakan pada waktu itu memang mengharapkan putrinya disunting pria ningrat demi meningkatkan derajat dan taraf hidup keluarga.
Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga biasa atau rakyat jelata.
Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Menikah dengan pria bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal.
Dengan caranya, Kartini ingin menyadarkan bahwa kaum perempuan di Jawa atau Indonesia seharusnya lebih dihargai dan mendapatkan kesetaraan seperti halnya kaum pria.
Penulis: Abraham William
Editor: Iswara N Raditya