Menuju konten utama
Hari Kartini 21 April 2022

Cara Kartini Memperjuangkan Emansipasi Perempuan & Kemajuan Bangsa

Bagaimana cara Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan dan kemajuan bangsa? Berikut penjelasan selengkapnya.

Cara Kartini Memperjuangkan Emansipasi Perempuan & Kemajuan Bangsa
RA Kartini. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Bagaimana cara Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan dan kemajuan bangsa?

Setiap 21 April, Indonesia memperingati sebagai Hari Kartini (Raden Ajeng Kartini), pahlawan perempuan yang pemikirannya menginspirasi kaum pergerakan.

Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Ia berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Ayah Kartini adalah seorang bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya M.A. Ngasirah.

M.A. Ngasirah, bukan berasal dari keturunan bangsawan, tetapi rakyat biasa, anak seorang kiai atau guru agama dari Telukawur, Jepara.

Kakaknya, Sosrokartono, merupakan orang yang pandai dalam bidang bahasa. Ia diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) yang menjadi tempat Kartini belajar bahasa Belanda.

Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV merupakan salah satu bupati yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya, sekitar pertengahan abad ke-19.

Cara Kartini Memperjuangkan Emansipasi Perempuan

Kartini dikenal sebagai pahlawan yang gigih memperjuangkan emansipasi perempuan. Perjuangan Kartini dimulai saat dia terpaksa harus berhenti sekolah saat berusia 12 tahun.

Meski datang dari keluarga bangsawan, ada satu tradisi yang tak boleh "dilanggar". Tradisi itu yakni "dipingit" yang mana mengharuskan anak perempuan untuk tinggal di rumah saja.

Hasrat untuk sekolah dan menimba ilmu membuat Kartini memilih untuk belajar sendiri. Dia membaca buku-buku serta koran tentang bagaimana kemajuan berpikir perempuan Eropa.

Kartini pun bertekad memajukan perempuan pribumi. Dia juga mulai menulis surat-surat kepada temannya yang sebagian besar berasal dari Belanda. Salah satunya kepada Abendanon. Ia menceritakan masa pingit selama empat tahun.

“Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia,” tulis Kartini kepada Nellie van Kol pada tahun 1901 yang terdapat dalam Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya, 1899-1904 (2017: hlm. 165).

Kartini tak hanya memperjuangkan hak perempuan zaman itu. Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini Sebuah Biografi (1979) menunjukkan bahwa konsep tentang bangsa yang tersirat dalam surat-surat Kartini yang berperan mendorong kemunculan kelompok diskusi tentang nasionalisme.

“Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme,” kata Sitisoemandari Soeroto dalam bagian penutup Kartini Sebuah Biografi (1979).

Surat-surat Kartini diterbitkan berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang rilis pada 1911.

Pemikiran dan gagasan Kartini mulai dibicarakan saat Notosoeroto memimpin saat Notosoeroto memimpin Perhimpunan Indonesia (PI) yang berfungsi sebagai wahana politik para pelajar Indonesia di Belanda.

Pada 24 Desember 1911 Notosoeroto bahkan mengadakan rapat yang khusus. Dalam rapat itu, Ia menyampaikan pidato berjudul “Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan Hindia.”

“Bukan nasionalisme yang sempit, bukan peniruan unsur asing dengan sikap memandang rendah diri sendiri, melainkan membangun terus di atas dasar sendiri yang baik, menuju cita-cita manusia yang lazim,” kata Notosoeroto yang dikutip Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008:78).

Gagasan nasionalisme Kartini tidak hanya dirayakan kaum pergerakan di Belanda, tapi juga di Tanah Air.

Ide pembentukan kelompok diskusi Kartini tercetus di Jawa selang setahun usai surat-surat Kartini diterbitkan di Belanda.

Pemikiran-pemikiran Kartini juga mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.

Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Kemudian tahun 1938, dirilis Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru.

Kartini meninggal usai melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 17 September 1904. Saat itu Kartini baru berusia 25 tahun.

Melalui SK Presiden RI nomor 108 yang diterbitkan pada 2 Mei 1964, Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan tanggal lahirnya ditetapkan sebagai hari nasional.

Oleh sebab itu setiap tahunnya Indonesia akan memperingati perjuangan Kartini. Tahun ini, meski masih dalam suasana pandemi Covid-19, perayaan Hari Kartini tetap dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Isi Surat-Surat Kartini

Sebagaimana dikutip dari Intersections, surat-surat yang dikirimkan menguraikan pemikiran Kartini terkait berbagai masalah termasuk tradisi feodal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.

Dalam surat-suratnya, Kartini juga menulis keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.

Di sisi lain, surat-surat tersebut juga mencerminkan pengalaman hidup Kartini sebagai putri seorang bupati Jawa. Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat Kartini tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Buku pertama Dari Kegelapan Menuju Cahaya ini diterbitkan pada 1911. Kemudian, di tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayi dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru.

Surat-surat dan pemikiran-pemikiran Kartini juga mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.

Baca juga artikel terkait EMANSIPASI PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yantina Debora
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani