Menuju konten utama

Dari Kursi Roda, Ratna Indraswari Mengabarkan Realitas Sosial

Sempat dikira provokator dalam gerakan reformasi, Ratna Indraswari Ibrahim nyatanya penulis yang gigih mengabarkan realitas sosial dari atas kursi roda.

Dari Kursi Roda, Ratna Indraswari Mengabarkan Realitas Sosial
Header Mozaik Ratna Indraswari Ibrahim. tirto.id/Quita

tirto.id - Suatu hari di tahun 1998, salah satu rumah yang terletak di Jalan Diponegoro III, Malang, didatangi intelijen. Mereka mencari para aktivis Kota Malang yang dianggap sebagai provokator selama berlangsungnya gerakan reformasi yang menuntut turunnya rezim otoriter Orde Baru. Namun, mereka hanya mendapati pemilik rumah, Ratna Indraswari Ibrahim di atas kursi rodanya.

Menurut Dwi Ratih Ramadhany dalam Yang Terlupakan dan Dilupakan (2021), kedatangan intelijen tidak terlepas dari aktivitas yang kerap berlangsung di rumah tersebut. Ratna, sapaan akrabnya, menjadikan rumahnya sebagai paviliun bagi orang-orang atau pun organisasi dari berbagai latar belakang, untuk sekadar berbagi cerita, berdiskusi, bertukar pikiran, hingga berbagi kecemasan.

Seturut Eko Bambang Subiyantoro dalam "(Almh.) Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan" (2016), baginya, kehadiran mereka di dalam rumah menjadi semacam penerang hidupnya. Sebab, sejak kedua orang tuanya meninggal yang kemudian diikuti kepindahan saudara-saudaranya, ia hanya tinggal bersama asisten.

Sementara itu, menurut Abdul Malik dalam "Novel 1998 Ratna Indraswari Ibrahim, Saksi Mata Reformasi", hal itu berkelindan dengan karya-karya yang ditulisnya. Ratna menjadikan orang-orang yang rutin menyambangi rumahnya sebagai tokoh-tokoh dalam novel karangannya.

Sebagai contoh, tokoh Zizi dan Gundul dalam novel 1998 (2013), keduanya merupakan nama sapaan dari mahasiswa yang kerap menyambangi rumah Ratna. Selain itu tokoh utamanya yang bernama Neno, dalam dunia nyata adalah seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Brawijaya.

Dalam novel tersebut, ia menceritakan tentang situasi sebelum, saat, dan sesudah gerakan reformasi 1998 berakhir, di Kota Malang. Namun, sebelum novel tersebut diterbitkan, pada 28 Maret 2011, ia mengembuskan napas terakhirnya di RSUD dr. Sjaiful Anwar, akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Jasadnya dimakamkan di TPU Samaan, Malang.

Menulis adalah Pembebasan

Mengutip kembali Dwi Ratih Ramadhany (2021), Ratna lahir pada tanggal 24 April 1949 di Malang, Jawa Timur. Ia merupakan anak keenam dari pasangan Saleh Ibrahim dan Siti Bidasari. Oleh kedua orang tuanya, ia didaftarkan ke Sekolah Kristen Brawijaya pada tahun 1954. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMP 2 Malang dan menuntaskan pendidikan menengah atasnya di Sekolah Taman Siswa.

Saat menginjak usia sepuluh tahun, ia mengalami demam tinggi yang disertai dengan rasa nyeri pada tulang. Sejak saat itu, kesehatannya mulai terganggu, berbagai upaya telah dilakukan kedua orang tua Ratna untuk menyembuhkannya.

Namun, upaya tersebut tidak memberikan dampak signifikan bagi kesehatan Ratna, sampai pada akhirnya ia divonis menderita rakitis (radang tulang). Sejak saat itu, hampir semua aktivitasnya dilakukan di atas kursi roda.

Awalnya, ia sulit menerima kenyataan tersebut. Ia sering merutuki diri, hingga saat memasuki masa remajanya, ia mengaku sebagai seorang ateis. Menyadari goncangan dalam diri anaknya, sang ibu, Siti Bidasari berkata kepadanya, “suatu saat kau akan dekat dengan Tuhan.”

Setelah itu, ia secara perlahan mulai berdamai dengan dirinya. Sebagaimana yang ia katakan kepada sahabatnya, Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd, “[...] saya percuma menangisi ini. Semua sudah saya tanggalkan di belakang. Sekarang saya memikirkan bagaimana saya hidup berguna.”

Mengutip Eko Bambang Subiyantoro dalam jurnal perempuan, sejak saat itu Ratna mulai memfokuskan diri untuk menulis. Hal ini tentu tidak terlepas dari dorongan ibunya yang pernah berkata kepadanya bahwa, “perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya.”

Pada tahun 1975, dengan mewarisi keterampilan menulis dari kedua orang tuanya, ia membuktikan perkataan ibunya dengan menerbitkan cerpen pertamanya “Jam”, yang dimuat dalam majalah wanita MIDI. Setelah itu, karya-karyanya, terutama cerpen, bertebaran di berbagai media massa dan buku antologi.

Ia kemudian menghimpun kembali karya-karyanya yang pernah dimuat di media massa untuk terbitkan sebagai buku kumpulan cerpennya, seperti Menjelang Pagi (1995), Namanya Massa (2000), dan Lakon di Kota Kecil (2002).

Saat menulis, ia dibantu oleh ketiga asistennya yang setia mendampingi. Mereka menjadi juru ketik di depan layar monitor, sedangkan Ratna mendikte segala isi pikirannya dari atas kursi roda. Namun, sesekali ia mengetik sendiri dengan mengandalkan sumpit di tangannya.

Baginya menulis adalah sebuah alat pembebasan cum media untuk mengabarkan realita kehidupan yang terjadi di masyarakat, salah satunya menyangkut permasalahan kehidupan perempuan yang masih terbelenggu di tengah budaya patriaki.

Melalui karyanya, ia menyeru kepada perempuan untuk mulai berani memperjuangkan hak-haknya. Hal ini setidaknya tercermin dalam dua kumpulan cerpennya yang berjudul Bajunya Sini (2004) dan Batu Sandung (2007).

Ratna mengaku sangat terinspirasi oleh penulis cum tokoh feminis dari Inggris, Virginia Woolf. Sepanjang kariernya, ia telah menghasikan 400 karya cerpen. Di samping itu, dilansir dari BBC News Indonesia, sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga yang mencintai buku, ia mendirikan sebuah toko buku yang bernama Tobuki (toko buku kita) pada tahun 2004.

Ia mampu membuktikan sebagai salah satu perempuan penulis yang produktif di tengah dominasi penulis laki-laki pada masanya.

“Beberapa karyanya terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan memenangkan kompetisi menulis majalah Femina, serta mengantarkannya terpilih sebagai pembicara dalam taraf Internasional,” pungkas Dwi Ratih Ramadhany (2021).

Atas pencapaian tersebut, Eko Bambang Subiyantoro berkata, “bila Ratna Indraswari Ibrahim tidak menulis, itu bisa berarti dua kemungkinan, yakni tidak ada lagi pelanggaran kemanusiaan atau kehidupan ini memang telah usai.”

Infografik Mozaik Ratna Indraswari Ibrahim

Infografik Mozaik Ratna Indraswari Ibrahim. tirto.id/Quita

Menjadi Aktivis

Selain menulis, Ratna aktif dalam organisasi. Tercatat dalam rentang tahun 1977-2000, ia memimpin Bakti Nurani, sebuah organisasi bagi penyandang difabel, di Kota Malang. Melalui organisasi yang didirikannya ini, ia bersama kawan-kawannya memotivasi para penyandang difabel untuk mandiri dan menjadi manusia yang memiliki nilai dalam kehidupan.

Pada 1998, ia turut mendirikan Yayasan Pajoeng yang bergelut mengembangkan kebudayaan di Kota Malang dan menginisiasi pendirian Forum Pelangi, yang menjadi wadah bagi para aktivis dari berbagai golongan dan latar belakang. Masih di tahun yang sama, ia bersama kawan-kawannya menerbitkan jurnal Naraswari.

Selain itu, Ratna kerap menghadiri seminar dan kongres. "Pada tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sydney, Australia, sebagai delegasi dari Indonesia," pungkas Eko Bambang Subiyantoro.

Mengutip Terakota.id, ia turut memberi perhatian pada lingkungan. Hal ini dibuktikannya pada tahun 1999 saat terjadi tukar guling lahan taman kota di Lemah Tanjung, Malang, yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dengan PT Bakrieland Development Tbk bersama PT Duta Perkasa Unggul Lestari (DPUL).

Rencananya, lahan taman kota yang dikenal masyarakat Malang dengan nama taman kota APP (Akademi Penyuluhan Pertanian) tersebut akan diubah menjadi kawasan perumahan elite dengan nama, Ijen Nirwana Residence.

Hal ini menimbulkan penentangan dari berbagai elemen masyarakat. Sebab, taman kota tersebut merupakan paru-paru kota yang tersisa. Selain itu, di atas lahan seluas 28,5 hektare tersebut, terdapat beberapa bangunan cagar budaya yang menjadi bagian dari sejarah Kota Malang dan merupakan rumah bagi 36 spesies burung langka dan 128 spesies tanaman.

Dengan keterbatasan fisik, Ratna kerap turun langsung dalam aksi unjuk rasa yang menentang alih fungsi lahan tersebut. Ia pun memberi dukungan kepada para demonstran dengan membuka pintu rumah selebar-lebarnya untuk dijadikan sebagai tempat rapat.

Peristiwa tersebut ia dokumentasikan dalam novel yang diterbitkan pada tahun 2003 dengan judul Lemah Tanjung. Novel itu ia dedikasikan bagi masyarakat Malang sebagai upaya untuk merawat ingatan atas peristiwa yang pernah terjadi di Lemah Tanjung.

Baca juga artikel terkait PENULIS atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Dwi Ayuningtyas