tirto.id - Sekelompok remaja sedang makan siang di pinggir sungai ketika mereka melihat tubuh mengapung di permukaan air. "Aku mengira itu batang pohon, ternyata tubuh perempuan," ujar salah seorang dari mereka.
Tubuh yang mengapung itu adalah penulis kondang Virginia Woolf. Ia sudah dua puluh hari menghilang sejak 28 Maret 1941. Di dalam saku bajunya ditemukan puluhan batu yang digunakan sebagai pemberat ketika Woolf menenggelamkan dirinya sendiri di Sungai Ouse, di dekat rumahnya di Sussex.
Kisah kematian yang tragis ini menjadi salah satu hal yang paling diingat khalayak tentang Virginia Woolf. Persona Woolf adalah daya tarik tersendiri bagi banyak pembaca untuk mulai mengenal tulisan-tulisannya. Cerita tentang depresi dan masalah mental; koneksi dengan para intelektual Inggris yang tergabung dalam Bloomsbury group; reputasi genius dan child prodigy; hingga gosip bahwa ia memiliki hubungan romantis dengan penulis perempuan lain yang juga merupakan karibnya, Vita Sackville-West, merupakan bagian dari drama kehidupan Woolf yang diketahui para pengagumnya.
Novel-novel Woolf paling terkenal seperti To the Lighthouse (1927), The Waves (1931), dan Orlando: A Biography (1928) mengisi lanskap kesusastraan berbahasa Inggris pada awal abad ke-20. Karya-karya itu pula yang menjadikannya salah satu penulis terpenting sepanjang masa.
Orlando, misalnya, sebuah fiksi yang dikemas dalam format biografi, menyentuh ranah queer. Novel ini berkisah tentang seorang laki-laki bangsawan yang tiba-tiba berubah menjadi perempuan di usia ke-30 dan bagaimana hal tersebut mengubah hidupnya. Selain novel, Woolf menulis naskah drama, kritik sastra, dan esai.
Mempertanyakan Posisi Perempuan dalam Sastra
Walaupun Woolf sudah tenar sejak masa hidupnya karena tulisan maupun aktivitas intelektualnya, ia baru benar-benar diingat sebagai salah satu ikon feminis dan penulis perempuan terpenting jauh setelah kematiannya, yaitu pada dekade 1960-an. Kala itu tulisan-tulisan Woolf sudah menjadi kitab klasik bagi para pelajar studi sastra dan gender di berbagai universitas.
A Room of One’s Own (1929) adalah salah satu tulisan Woolf paling esensial untuk mendalami pandangan feminisnya. Buku 100-an halaman ini sebenarnya merupakan makalah yang dipresentasikan Woolf pada 1928 di Universitas Cambridge. Seperti lazimnya penulis jempolan, pernyataan terpenting dari buku ini dapat ditemukan pada halaman pertama: "Perempuan harus punya ruang dan uang sendiri kalau mau menulis fiksi!"
Menurut Woolf, alasan perempuan tidak menulis sebanyak laki-laki adalah karena perempuan tidak punya kapital dan ruang, baik fisik maupun non-fisik, untuk menulis dengan kebebasan memadai. Banyak perempuan tidak bekerja karena harus tinggal di rumah sehingga selalu bergantung secara finansial kepada laki-laki. Di rumah pun, banyak perempuan tidak memiliki ruang privat karena konstruksi sosial bahwa perempuan adalah pengurus keluarga dan anak. Keinginan untuk dapat menulis dengan kondusif tinggal angan-angan belaka.
Selain menghubungkan kemiskinan perempuan dengan produktivitas menulis, Woolf juga mempertanyakan representasi perempuan dalam dunia sastra dan sejarah. Ia menelaah mengapa kemunculan perempuan selalu hanya dalam konteks domestik seperti sebagai istri, selir, maupun ibu.
Kurangnya jumlah perempuan yang menulis dan memublikasikan karya membuat representasi perempuan dalam sastra dan sejarah didominasi gambaran tentang perempuan yang dikonstruksi laki-laki. Bagi Woolf, ini selalu mengarah kepada imajinasi domestik.
"Padahal perempuan, seperti laki-laki, juga punya ketertarikan pada hal-hal lain yang tidak melulu hal domestik," tulis Woolf dalam A Room of One’s Own.
Kesehatan Mental di Kalangan Penulis Perempuan
Menurut Hermione Lee dalam Virginia Woolf (1996: 607), pandangan feminis Woolf dipengaruhi oleh perlakuan yang ia terima ketika dirawat selama mengalami depresi dan mental breakdown.
Pada awal abad ke-20, ketika ilmu psikologi masih dalam tahap perkembangan dan teori Freud masih belum menjadi hal lumrah dibaca orang, perempuan yang menunjukkan gejala depresi selalu didiagnosis mengalami histeria. Perempuan yang dianggap mengidap gangguan ini harus dikurung dan tidak diperkenankan bertemu orang atau bekerja sama sekali.
Leonard Woolf, suami Virginia, menulis istrinya sakit karena stres terkait proses penulisan buku, bukan karena histeria. Banyak penulis zaman ini, berdasarkan pandangan medis, memperkirakan Virgina Woolf kemungkinan besar memiliki bipolar disorder. Ketika kecil, Woolf pernah mengalami kekerasan seksual yang meninggalkan lubang trauma dalam hidupnya.
Proses menulis memang sering kali terasa sepi bagi banyak penulis. Woolf selalu dihantui rasa cemas bahwa tulisannya buruk dan ia amat takut gagal. Masalah mental ini memengaruhi kondisi fisiknya semakin lemah. Proses penulisan The Years (1937) adalah yang terberat bagi Woolf. Ia berulang kali mengalami mental breakdown dan beranggapan dirinya tidak mampu menulis.
Pada masa kini, gejala macam itu dikenal dengan sebutan impostor syndrome. Menariknya, impostor syndrome menjangkiti lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Stigma negatif yang mendominasi selama berabad-abad bahwa perempuan adalah makhluk domestik dan inferior di dunia profesional membuat banyak perempuan selalu berusaha jauh lebih keras untuk mencapai kesuksesan dibanding laki-laki, termasuk dalam bidang sastra. Kematian Virgina Woolf yang disebabkan beban penyakit mental selama puluhan tahun menunjukkan betapa krusial kesadaran atas kesehatan mental.
Sebelum menenggelamkan diri di Sungai Ouse pada 28 Maret 1941, tepat hari ini 79 tahun lalu, Virginia Woolf menulis surat terakhir untuk suaminya:
"Tersayang, kamu telah memberikan kebahagiaan paripurna dalam hidupku… Tidak ada yang bisa lebih baik darimu. Dari hari pertama hingga kini. Semua orang tahu itu. V."
=========
Tika Ramadhini adalah kandidat doktor sejarah di Humboldt Universität, Berlin. Saat ini sedang menulis disertasi tentang kehidupan para perempuan Jawa di Makkah awal abad ke-20. Ia lahir di Jakarta, 23 Maret 1992.
Editor: Ivan Aulia Ahsan