tirto.id - Pernahkah Anda ditanya seputar pernikahan atau anak? Beberapa waktu lalu saya baru saja dikomentari soal hal tersebut. Seorang kawan lama di SMA mengirimkan pesan Instagram untuk merespons unggahan saya yang berisi foto diri bersama rekan lain.
“Makanya cepet punya dedek dong,” tulis kawan perempuan saya.
Di waktu lain, saya pernah mendapat pernyataan nyinyir serupa ketika pertama kali bertemu tante dari pihak suami. Selepas bersalaman, tanpa basa-basi ia langsung mendaratkan pertanyaan tentang jumlah anak. Perbincangan kami kemudian diakhiri dengan senyum canggung saya dan respons basa-basi lainnya seperti, “Cepet-cepet lah, jangan ditunda-tunda.”
Ada lagi komentar senada datang dari kawan perempuan suami saya--yang bahkan tidak saya kenal namanya. Ia lancang menanyakan soal anak, dan bahkan menekankan pada suami saya, bahwa usia pernikahan kami sudah cukup lama untuk dikategorikan normal belum memiliki anak. Saya cuma bisa ngeloyor, meninggalkan ia yang masih ngoceh soal kebahagiaan berumah tangga versi dia.
Komentar paling tidak sopan saya dapatkan datang dari tetangga, yakni ibu dari teman sekolah saya. Saat tak sengaja bertemu di jalan, dengan santai ia memegang bagian perut saya tanpa izin, sambil membandingkan dengan anak perempuannya yang tengah hamil. “Kapan nih isi? Si Anggun aja udah dua kali.”
Seolah tanpa beban, komentar-komentar itu meluncur dengan mudahnya dari mulut seorang perempuan kepada perempuan lain. Mereka seperti merasa punya tanggung jawab untuk menyamaratakan jalan hidup orang sesuai standar kebahagiaan umum. Barangkali mereka tak sadar, basa-basinya bisa sangat menyakitkan dan melecehkan kelompoknya sendiri.
Demikian pula dengan urusan cari jodoh. Destia (36 tahun), sudah kenyang menelan stigma karena memutuskan melajang sampai hari ini. Sepuluh tahun lalu, ia pernah dijodohkan dengan anak teman ibunya. Tapi, karena kurang sreg, Destia menolak. Lucunya, sampai dua tahun setelah aksi perjodohan, sang ibu masih berusaha membikin ia jatuh cinta.
“Ibu bilang ‘Jangan galak-galak. Kasihan dia baru putus, cobalah kamu hibur dia’. Tapi aku bilang itu bukan urusanku,” kata Destia.
Komentar yang paling sering ia dapatkan adalah soal umur. Dalam konsensus umum negara kita, perempuan akan dianggap “enggak laku atau terlalu selektif” ketika belum menikah di usia 30 tahun. Jika batas waktunya tiba, bersiap-siaplah diberondong pertanyaan “kapan nikah?”
Ingat kasus Mice Cartoon yang menganalogikan perempuan seperti bola? Komikusnya, Muhammad Misrad, mengumpamakan perempuan umur 17 tahun seperti bola sepak, diperebutkan banyak laki-laki. Sementara perempuan umur 50 tahun ibarat bola golf, dipukul sejauh-jauhnya. Tapi Destia tak mau ambil pusing dengan stereotip itu. “Beli mangga di pasar aja milih yang bagus, masa nyari suami nggak milih,” ujar Destia, tegas.
Perempuan Bisa Lebih Bias terhadap Sesamanya
Konsensus sosial membentuk standar kebahagiaan yang berbeda bagi perempuan. Mereka dituntut menikah cepat dan punya anak untuk bisa dapat predikat 'bahagia'. Komentar soal anak juga lebih sering menyasar perempuan yang sudah menikah, dibanding suami mereka.
Stigma kemandulan lebih lekat menempel pada perempuan. Padahal, menurut ilmu medis, persentase infertilitas antara perempuan dan laki-laki sama besar. Sementara standar yang sama tidak disematkan kepada laki-laki. Amat jarang bagi laki-laki mendapat komentar nyinyir soal pernikahan di umur yang menginjak kepala tiga.
Laki-laki lebih sering ditanya soal jabatan, atau pekerjaan--sesuatu hal yang bisa diusahakan. Pertanyaan yang sama tidak berlaku untuk perempuan. Mereka dilihat dari hal-hal yang kadang mereka sendiri tak punya kuasa untuk memperjuangkannya. Setinggi apa pun jabatan dan prestasi perempuan, mereka akan tetap ditanya soal nikah dan anak.
Harus diakui, banyak komentar semacam itu terlontar dari sesama perempuan, entah itu kerabat, teman, atau bahkan orang yang tak dikenal. Perempuan memang bisa bias terhadap sesamanya. Sebagaimana dilansir BBC, kecenderungan itu telah banyak diteliti. Penyebabnya adalah evolusi. Otak bawah sadar manusia memiliki kemampuan memproses suatu hal lebih besar daripada otak sadar. Ia bekerja dengan cara pintas, yang dikenal sebagai heuristik.
Heuristik merupakan bagian otak reptil manusia yang terbentuk dari pengalaman. Misal ketika pertama kali terkena api, kita mengaitkannya dengan panas. Seterusnya, otak akan mengasosiasikan api dengan panas.
Begitu juga dengan bias gender. Ketika perempuan dibesarkan dalam lingkungan tidak proporsional, di mana laki-laki berada di posisi teratas, maka otak mereka akan mengaitkan laki-laki dengan “pemimpin dan sukses”--yang sebaliknya berlaku untuk deskripsi perempuan.
“Perempuan juga diasumsikan tidak kompeten, sementara laki-laki diasumsikan kompeten, sampai semua terbukti sebaliknya,” ungkap Joan Roughgarden, seorang ahli ekologi dan biologi evolusioner dari Amerika Serikat.
Untuk mendapatkan pengakuan yang sama, perempuan harus bekerja dua kali lebih keras dibanding laki-laki. Teori itu sudah dibuktikan oleh Catherine Nichols, seorang penulis asal Boston. Ia pernah mengirim sinopsis novelnya kepada 50 agen menggunakan nama asli tapi hanya mendapat dua respons positif. Sementara ketika menggunakan nama laki-laki, Nichols menerima 17 balasan positif.
Pada kisah Destia, misalnya, ia perempuan independen yang menguasai banyak bahasa, termasuk Spanyol. Ia sering bertemu dan mewawancarai pesepakbola dunia untuk kantor berita asing--posisi yang jarang didapat jurnalis perempuan. Ia juga punya mimpi untuk mengejar gelar master tahun depan. Begitu banyak hal positif dari dirinya, tapi yang dibahas oleh orang selalu tentang pernikahan.
Padahal, dengan hidupnya saat ini, Destia bisa jalan-jalan ke berbagai penjuru dunia tanpa harus pusing memikirkan izin dari pasangan atau urusan anak. Bertemu dengan berbagai orang, menjalin relasi, dan meraih posisi. Rasa-rasanya bahagia memang bisa ditempuh dengan berbagai cara, bukan melulu soal lulus tepat waktu, menikah, dan punya anak.
Editor: Windu Jusuf