tirto.id - "Laki-laki cocok menjadi pemimpin karena bisa berpikir logis dan rasional. Sementara itu, perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena mendahulukan emosi daripada logika."
Pernyataan di atas sering kali bertebaran di media sosial, di sekolah, dan di kehidupan sehari-hari.
Secara tidak langsung, ungkapan tersebut menyudutkan perempuan dan menganggap laki-laki lebih berhak untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu di masyarakat.
Representasi pembagian jenis kelamin dan peran gender itu ditanamkan pelan-pelan pada anak, sejak ia kecil hingga beranjak dewasa.
Bahkan, di buku pelajaran SD atau TK di sekolah, terdapat bias gender untuk membagi tugas-tugas yang sesuai untuk jenis kelamin tertentu.
Pekerjaan dan perilaku yang sesuai untuk laki-laki dan tidak sesuai dikerjakan perempuan. Demikian juga sebaliknya.
"Ibu memasak, sementara ayah membaca koran. Ibu mencuci baju. Ayah berangkat kerja."
Pembagian gender yang kaku ini dijelaskan oleh Billah Nurlaili Zulmi dan Refti Handini Lisytani dalam Jurnal Paradigma, terkait bagaimana bias gender ini tersisip di buku pelajaran di sekolah.
Pemahaman bahwa ada pembagian gender yang kaku ini, dalam taraf ekstrem dapat melahirkan seksisme.
Pengertian Seksisme
Apa itu seksisme? Laman Britannica menjelaskan bahwa seksisme adalah prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain.
Kendati seksisme dapat menjangkiti laki-laki dan perempuan, namun sering kali, perempuan adalah korban seksisme di kehidupan bermasyarakat.
Misalnya, melalui anggapan di atas, bahwa laki-laki lebih cocok menjadi pemimpin atau ketua, sementara perempuan tidak.
Laki-laki harus bekerja memberi nafkah, sementara perempuan selayaknya mengorbankan kariernya demi keluarga.
Anggapan lain terkait seksisme adalah ungkapan bahwa setinggi-tingginya perempuan sekolah, tetap saja berkubang di dapur.
Menurut Nurul Inayah dalam Persepsi Orang Tua Mengenai Gender, Pengaruhnya terhadap Komitmen Menyekolahkan Anak Perempuan (2006), hal ini menjadikan banyak orang tua memandang bahwa pendidikan tidak banyak berguna untuk anak perempuan, kecuali menghabiskan uang saja.
Contoh Seksisme di Kehidupan Sehari-hari
Secara tidak sadar, seksisme terjadi di kehidupan sehari-hari. Saking kentalnya, kadang kala, baik laki-laki dan perempuan tidak sadar bahwa mereka sudah seksis terhadap jenis kelamin tertentu.
Berikut contoh perilaku seksisme di kehidupan sehari-hari, sebagaimana dilansir dari laman Future Woman:
1. Perempuan diminta melakukan pekerjaan tambahan di kantor
Kadang kala, kolega perempuan dimintai tolong untuk mengerjakan dokumen tertentu tanpa bayaran. Di kasus lain, tak jarang diminta membuatkan kopi bagi rekan laki-laki atau ketika ada tamu.
Beberapa pekerjaan tambahan ringan dilimpahkan kepada perempuan karena dianggap lebih sesuai untuk dikerjakan mereka.
2. Tekanan untuk menikah
Ketika usia sudah beranjak 20-30 tahun, perempuan sering kali ditanya mengenai calon pasangannya dan kapan menikah.
Di Indonesia, ada ungkapan ketika mencapai usia tertentu, namun belum juga menikah, maka perempuan dianggap sebagai perawan tua. Kadang kala bernilai negatif, dengan ungkapan "tidak laku", dan lain sebagainya.
3. Tekanan untuk memiliki anak
Jika perempuan sudah menikah pun, tuntutan lingkungan tidak berhenti sampai di situ saja. Perempuan kemudian ditanya-tanya, kapan punya anak. Jika belum juga memiliki anak, maka ungkapan "mandul" lebih banyak dilabeli kepada perempuan daripada laki-laki.
4. Tuntutan kontrasepsi
Di kehidupan seksual, perempuan lebih dituntut untuk melakukan kontrasepsi daripada laki-laki. Kehamilan merupakan tanggung jawab perempuan sehingga sering kali laki-laki kurang peduli dengan kontrasepsi yang harus dilakukan perempuan.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno