tirto.id - Pada ajang balap Formula 1: "pria yang melakukan" dan "perempuan menghiasi".
Kiasan tersebut ditulis presenter olahraga perempuan asal Inggris, Beverley Turner dalam buku berjudul The Pits: The Real World of Formula One. Sebagai jurnalis yang berkesempatan meliput F1 di setiap seri selama tiga tahun berturut, Turner sangat memahami bagaimana F1 memperlakukan perempuan. Poinnya disampaikan dalam kiasan tersebut.
Dalam pandangan Turner, balapan Formula 1 sangat seksis. Perempuan hanyalah pemanis di ajang adu kecepatan nan beringas tersebut. Benarkah pendapat Turner tersebut?
Tak Ada Tempat untuk Perempuan
Seksisme di dunia F1 terwakili oleh pernyataan petingginya, Bernie Ecclestone. Bos F1 berusia 85 tahun itu melontarkan sebuah pernyataan kontroversial tentang keberadaan perempuan di ajang balap bergengsi tersebut.
Dalam sebuah acara Advertising Week Europe, Bernie menyebut kehadiran perempuan di F1 tak perlu ditanggapi dengan serius. Dalam pandangannya, perempuan tak akan cukup kuat secara fisik untuk menjadi pebalap F1.
"Saya tak tahu apakah perempuan secara fisik mampu mengendarai mobil F1 dengan cepat. Menurut saya wacana pebalap perempuan di F1 tidak usah dianggap serius," kata Bernie dikutip dari AFP.
Pernyataan tersebut langsung memicu reaksi keras dari sejumlah pebalap perempuan. Salah satunya Pippa Mann, pebalap perempuan asal Inggris yang sempat mencicip ajang Formula Renault – kompetisi feeder sebelum F1. Ia menilai tudingan fisik Bernie terlalu berlebihan.
Lewat akun Twitter resminya, Pippa yang kini membalap di ajang IndyCar menuliskan, "Seseorang harus mengingatkannya (Eccleston) bahwa IndyCar tidak dilengkapi power steering dan kami tidak cukup kuat untuk mengendarai mobil F1?"
Di mata Bernie, perempuan tidak cocok untuk balapan. Ia menilai perempuan lebih cocok mengurus manajemen. Bernie mengambil contoh beberapa wanita yang duduk di kursi manajemen tim F1 seperti Claire Williams yang menjadi kepala tim Williams dan Monisha Kaltenborn, kepala tim Sauber.
"Perempuan lebih kompeten jadi eksekutif, bukan pebalap F1. Pasalnya, mereka tak punya ego yang besar seperti pria," ucap Bernie.
Pernyataan Bernie mendapat tanggapan dari sebuah acara TV di CNN, yang dipandu oleh wartawan kawakan Amerika Serikat, Piers Morgan. Morgan menilai, F1 memang tidak pernah memberikan penghormatan besar pada perempuan.
"Olahraga ini tidak menghormati perempuan seperti mereka menghormati laki-laki " katanya.
"Ini adalah debat yang menarik. Saya merasa sulit untuk percaya jika perempuan tidak pernah bisa secepat pria di Formula Satu. Mengapa tidak bisa? Saya benar-benar mendukung kesetaraan gender ketika bakat adalah sama," imbuhnya.
Jejak Perempuan di F1
Bernie memang dikenal sebagai penganut chauvinisme laki-laki sejati. Pada 2015 lalu dia mengucapkan hal serupa. Menurutnya, sangat sulit F1 kembali menemukan sosok seperti Lella Lombardi, pebalap Italia yang sempat turun di 17 seri dalam kurun waktu 1974-76.
"Jika ada perempuan yang mampu, mereka tidak akan dianggap serius. Selain itu, mereka tidak akan memiliki mobil untuk bersaing. Mereka tidak akan bisa balapan di Formula 1," ucapnya.
Jika kita merunut data prestasi pebalap perempuan di F1, ucapan Bernie memang benar. Tak pernah ada perempuan yang bisa menjuarai seri grand prix. Jangankan juara, masuk 10 besar pun tak pernah. Kenihilan prestasi itu disebabkan minimnya kepercayaan.
Sepanjang sejarah, dibanding dengan ajang balap lain seperti Nascar, IndyCar atau GT1, kompetisi F1 memang lebih cenderung tertutup untuk kaum hawa. Jumlah pebalap perempuan yang pernah turut serta kalah jauh dengan kompetisi-kompetisi balap lainnya.
Selain Lella Lombardi tercatat hanya Giovanna Amati, Desiré Wilson, Divina Galica, dan Maria Teresa de Filippis yang benar-benar mencicip ajang ini. Tiga nama terakhir yang disebut hanya mampu tampil pada babak kualifikasi saja.
Selain nama-nama diatas, ada pula pebalap perempuan lainnya yang cukup terkenal seperti Sarah Fisher, Katherine Legge, María de Villota, Simona de Silvestro, Carmen Jordá dan Susie Wolff. Namun, status mereka hanyalah test driver dan tak pernah terlibat di kompetisi sesungguhnya.
Selama ini, tim-tim F1 memang tak pernah berpendapat bahwa perempuan tidak bisa mengemudi mobil Formula 1. Namun, jika menilik dari apa yang dibongkar di buku The Pits: The Real World of Formula One, terungkap bahwa dalam benak bos-bos F1, perempuan membalap di formula bergengsi itu asalkan mereka cantik. Objektivitas fisik dan kecantikan jadi ladang untuk memaksimalkan potensi bisnis dan uang.
Sadar akan hal ini pada 2013 lalu, Bernie sempat menawari pebalap Nascar, Danica Patrick untuk bergabung di Formula 1. "Mengapa tidak? Kami akan carikan tim untuknya. Danica akan jadi lebih baik dengan salah satu tim kami," ucapnya.
Banyak pihak manilai ketertarikan Bernie kepada Ecclestone tak lepas dari kecantikannya. Di lain sisi, Danica bisa menjamin sebuah prestasi. Dia sempat dinobatkan sebagai pembalap wanita pertama yang merebut pole positions di Nascar Sprint Cup Series 2015 (kelas tertinggi).
Kehadiran Danica di F1 akan jadi promosi tersendiri mengingat pamor F1 di Amerika kian lama kian surut. Tawaran Bernie ini ditolak mentah-mentah oleh Danica yang mengaku ingin fokus bermain di Nascar.
Ketimbang mempertarungkan perempuan dan laki-laki di arena sirkuit, Bernie lebih memilih membuat ajang balap F1 khusus untuk kaum hawa.
"Adalah ide baik untuk memberikan kesempatan unjuk gigi bagi mereka (pembalap wanita). Atas beberapa alasan, perempuan gagal masuk sebagai pembalap utama. Ini terjadi bukan karena kita tidak menginginkan mereka," ucapnya usai Grand Prix Malaysia 2015.
Potensi uang dan bisnis telah dia baca. "Tentu saja F1 menginginkan pembalap wanita, karena mereka bisa memancing banyak perhatian, publisitas, dan mungkin banyak sponsor," jawabnya.
Anehnya beberapa hari kemudian saat jurnalis CNN bermaksud menanyakan ulang, dia malah membuat pernyataan berbeda. "Saya tidak yakin hal itu akan terjadi," katanya.
Kemampuan Balap Perempuan
Seksisme di Formula 1 bukanlah hal baru. Keyakinan bahwa perempuan tak bisa turun di Formula1 sudah ada sejak dulu kala. Namun, dunia saat ini membentuk gagasan yang berbeda terhadap perempuan.
Bridget Schuil seorang kolumnis F1 yang juga ahli di bidang keilmuan Human Kinetics & Ergonomics memaparkan konklusi menarik bahwa perbedaan gender bukanlah halangan untuk mengendarai mobil jet darat.
Tantangan utama yang dihadapi pebalap bukan dalam soal fisik melainkan lebih dalam spektrum kapasitas mental. Pada kecepatan yang dicapai di Formula 1, pebalap membutuhkan reflek yang cepat (misalnya, mengubah arah dengan cepat saat melihat mobil lain muncul dari blind spot), kemampuan mengantisipasi tantangan (misalnya, berpikir beberapa sudut di depan dan posisi mobil), dan penalaran spasial yang baik (yaitu, mengetahui dimensi mobil dan berapa banyak ruang yang dibutuhkan agar tetap on-track).
Meskipun ada perbedaan antara otak laki-laki dan otak perempuan, tetapi perbedaan tidak terletak pada waktu reaksi, atau kemampuan untuk mengantisipasi tantangan. Reaksi atau refleks tiap individu itu bervariasi dan lebih tergantung pada usia ketimbang seks. Semakin tua seorang pebalap, makin rentan kecelakaan.
Oleh karena itu, selama pebalap perempuan di F1 cukup muda, dia akan tidak punya masalah bersaing dengan dengan laki-laki di balapan. Schuil mengakui, rata-rata otak perempuan kurang mampu mengolah data-data spasial ketimbang laki-laki. Ini akan jadi masalah tersediri bagi pebalap perempuan.
Namun, otak manusia khususnya perempuan memiliki kemampuan yang cepat untuk beradaptasi, dan pemecahan masalah spasial adalah sifat yang dapat dipelajari. Hal itu cukup penting dalam laga F1.
Jika merunut penjelasan Schuil, perempuan sebenarnya memiliki kemampuan untuk membalap di F1. Sayangnya, kemampuan itu jarang dilihat oleh para petinggi F1. Itulah sebabnya perempuan hanya jadi "penghias", seperti yang disampaikan Beverley Turner .