tirto.id - Elena Linari, bek tengah timnas sepakbola wanita Italia, setidaknya pernah menangis dua kali karena sepakbola. Pertama, pada Maret 2019, ia menangis saat mengetahui pertandingan antara klubnya, Atletico Madrid Femina, melawan Barcelona di Stadion Wanda Metropolitano ternyata disaksikan langsung oleh 60.739 penonton. Kedua, ia kembali menangis saat menceritakan ulang kejadian itu kepada Sonja Nikcevic, reporter FIFA, di sela-sela gelaran Piala Dunia Wanita FIFA 2019 yang dilangsungkan di Perancis.
“Kamera menangkapku menangis menjelang pertandingan,” kenang Linari. “Aku menangis untuk meluapkan emosi karena pertandingan itu membuatku mengingat-ingat bagaimana aku mulai bermain bola. Aku dulu bermain di lapangan berlumpur bersama anak-anak dari desa lain. Kini aku bermain untuk salah satu klub terbesar di dunia, di salah satu stadion paling megah di dunia. Aku seakan berada di puncak dunia.”
Wawancara Nikcevic terhadap Linari itu tayang di situs resmi FIFA pada 24 Juni 2019. Nikcevic sengaja melakukan wawancara terhadap Lirani karena, selain tampil kokoh di jantung pertahanan timnas Italia, ia juga secara mengejutkan mampu membuat Le Azzure lolos ke fase gugur Piala Dunia 2019. Dan sekitar dua hari setelah wawancara itu tayang, tepatnya pada 26 Juni 2019, kejutan Italia ternyata belum berhenti: Italia berhasil membekuk Cina 2-0 pada pertandingan babak 16 besar.
Yang menarik, Linari lantas merespons keberhasilan Italia itu dengan cara berbeda. Ia tidak lagi menangis. Malahan, seperti yang lainnya, rekan-rekannya dan pelatih Italia, ia justru tambah semangat untuk menuntaskan sebuah misi yang selalu ditanamkan dalam-dalam oleh Milen Bertolini, pelatih timnas wanita Italia, selama gelaran Piala Dunia Wanita 2019.
“Misi kami,” kata Milena Bertolini, setelah kemenangan Italia asal Cina, “ialah membuat sepakbola wanita mendapatkan apresiasi di Italia.”
Sempat Berjaya
Jauh hari sebelum timnas wanita Italia menciptakan kejutan di Piala Dunia Wanita FIFA 2019, Italia adalah surga bagi para pesepakbola wanita. Mulai dimainkan secara rutin pada 1968, Italia seringkali menggelar pertandingan internasional tak resmi serta menjadi tempat para pesepakbola wanita di Eropa untuk meraih mimpinya.
Pada 1984 lalu, Italia pernah meraih gelar “Piala Dunia Mini”. Setelah itu, para lelaki Italia kemudian tergila-gila terhadap sepakbola wanita, atensi media cetak maupun media televisi meningkat, dan Rose Peralta, mantan pesepakbola wanita era tersebut, ingat betul dengan fenomena itu.
“Beberapa lelaki semula datang hanya untuk melihat wanita mengenakan celana pendek – barangkali hanya untuk tertawa atau melakukan hal-hal buruk lainnya.” Kata Peralta kepada The Times. “Tetapi setelah melihat kemampuan kami, mereka lantas menjadi penggemar setia kami.”
Peralta kemudian menambahkan, “Selain itu, pertandingan kami selalu disiarkan di telivisi, di RAI, semacan BBC-nya Italia. Dan La Gazetta dello Sport dan Corriere dello Sports juga tak luput memajang kami di halaman depan.”
Sayangnya, setelah timnas wanita Italia gagal di babak perempat-final Piala Dunia Wanita FIFA pertama yang digelar tahun 1991, popularitas sepakbola wanita di Italia menukik tajam. Ada banyak sebab di balik penurunan itu. Hilangnya sponsor adalah salah satunya. Sedangkan seksisme menjadi alasan utamanya.
Kala itu, meski timnas Wanita sepakbola Italia lolos ke final Piala Eropa pada 1993 dan 1997, ditambah dengan pamor Serie A yang menjadi lampu sorot sepakbola dunia, FIGC mulai mengacuhkan sepakbola wanita. Federasi sepakbola Italia itu berpikir bahwa “mereka hanya perempuan.”
Perlakuan FIGC tersebut jelas keliru dan membuat mereka mencoba memperbaiki keadaan pada masa depan. Namun, karena dogma bahwa “mereka hanya perempuan” sudah mengakar kuat di Italia, FIGC butuh waktu lama untuk memperbaiki kesalahannya.
Perjuangan Melawan Seksisme
Pertandingan final Piala Wanita Italia 2015 sejatinya digelar pada 23 Mei 2019. Namun, pertandingan itu urung digelar karena tindakan tak terpuji yang dilakukan oleh Felice Belloli, Presiden Asosiasi Sepakbola Amatir di Italia.
Dalam sebuah pertemuan untuk pengumpulan dana sepakbola Wanita, Belloli mengatakan, “Cukup, kita tidak bisa selalu berbicara mengenai pemberian dana untuk sekumpulan lesbian ini.”
FIGC lantas melakukan investigasi. Belloli dituntut mundur dari jabatannya oleh sejumlah kalangan, tapi seksisme ternyata tak pernah berhenti mengiringi perjalanan sepakbola wanita di Italia. Setelah apa yang dilakukan oleh Belloli, setidaknya ada tiga kasus seksisme yang terjadi lagi di sepakbola wanita Italia.
Pertama, pada akhir 2015, Ferdinando Armeni, presiden klub wanita Sporting Locri, mendapatkan intimidasi dengan gaya mafia lewat pesan seluler agar ia segera membubarkan timnya. Setelah itu, menjelang Piala Dunia Wanita 2019, Sergio Vessicio menyebut bahwa seorang hakim garis wanita seharusnya tidak ditugaskan untuk menjadi hakim garis dalam sebuah pertandingan karena tampak “mengganggu." Terakhir, Fulvio Colovati, pandit sekaligus mantan anggota timnas Italia di Piala Dunia 1982, dilarang tampil di telivisi karena meremehkan pengetahuan wanita dalam sepakbola.
Dari tiga kejadian itu, apa yang dilakukan Collovati paling banyak mendapatkan sorotan. Saat itu, dilaporkan The Local, Collovati tidak terima ketika seorang wanita membicarakan taktik sepakbola. Ia mengaku, jika ia mendengarkan seorang wanita membicarakan taktik, maka itu bisa membuat perutnya melintir.
“Jika dia [seorang wanita] membicarakan pertandingan atau hasilnya, itu tidak masalah. Tapi, dia tidak dapat membicarakan taktik karena mereka tidak akan bisa mengerti layaknya laki-laki,” kata Collovati.
Pendapat Collovati tersebut lantas mendapatkan respons dari publik Italia, salah satunya dari Milena Bertolini, pelatih timnas wanita Italia. Bertolini geram. Ia lantas menyebut Collovati “primitif”, sekaligus menantang mantan bek AC Milan, Inter, dan Roma itu menonton pertandingan wanita level tertinggi guna mengubah pemikirannya.
Yang menarik, setelah Italia berhasil mengantarkan timnas wanita Italia lolos ke perempat-final Piala Dunia Wanita untuk pertama kalinya sejak 1991 silam, Bertolini barangkali tak perlu bertindak sejauh itu. Ia sudah mampu memberi bukti bahwa, dalam urusan taktik, wanita tak kalah hebat dari laki-laki dalam meracik taktik.
Selain itu, lewat penampilan timnas wanita Italia, Bertolini juga berhasil memberi dorongan nyata terhadap perkembangan sepakbola wanita di Italia: saat seksisme menghantam secara bertubi-tubi, sepakbola wanita akan selalu bangkit untuk menjadi lebih kuat.
“Aku percaya bahwa penampilan timnas Italia di Piala Dunia 2019 bisa membuat sepakbola wanita kembali mendapatkan tempat di Italia,” tutur Bertolini. “Aku tahu bahwa perubahan kultur selalu datang secara lambat. Namun tim ini, dengan apa yang mereka hasilkan di atas lapangan, telah mampu menghancurkan prasangka dan hambatan yang ada... dan itu adalah misi yang diemban oleh tim ini selama berada di Prancis.”
Editor: Abdul Aziz