Menuju konten utama

Musuh Besar Perjuangan Liga 1 Putri: Seksisme & Kekerasan Suporter

Tak cuma kerusuhan, praktik kekerasan suporter adalah ancaman terbesar Indonesia untuk memajukan sepakbola perempuan lewat gelaran Liga 1 Putri.

Musuh Besar Perjuangan Liga 1 Putri: Seksisme & Kekerasan Suporter
Persija Jakarta memulai kompetisi Liga 1 Putri dengan tren positif. Viny Silvianus dan kawan-kawan dan kawan-kawan menang meyakinkan 4-1 atas PSIS Semarang pada laga yang digelar di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Minggu (6/10). foto/pssi.org

tirto.id - Pertandingan Liga 1 Putri 2019 antara Persib vs Persija di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Rabu (8/11/2019) seharusnya bisa menjadi tontonan yang menggembirakan. Maklum, dua klub ini saat itu tengah bersaing ketat untuk mendekati pemuncak klasemen sementara Grup A, PS Tira yang tampil dominan sejak awal kompetisi.

Namun momen yang seharusnya disambut dengan gegap gempita itu seketika menjadi horor. Alih-alih tempik sorak, beberapa menit jelang pertandingan, stadion dipenuhi dengan nyanyian-nyanyian rasial dari suporter yang memadati tribun stadion.

Bobotoh dan Jakmania, suporter kedua kesebelasan, memang punya rivalitas kental yang sudah jadi rahasia umum di sepakbola laki-laki. Akan tetapi yang disuguhkan di stadion saat itu sudah tak lagi relevan. Mereka bukan lagi menyajikan rivalitas, melainkan anarkisme.

“Awal mula kami masuk ke tribun sudah disambut dengan nyanyian rasis. Suporter lawan datang ke kami dengan membawa pecahan keramik dan gear yang diputar-putar dengan tali,” kata Slamet, bukan nama sebenarnya, seorang anggota Viking Yogyakarta saat diwawancara reporter Tirto, Kamis (9/11/2019).

Tepat pada menit 10, wasit sempat menghentikan pertandingan karena suasana makin tak kondusif. Laga baru bisa dilanjutkan setelah sebagian suporter bisa dievakuasi.

“Kami sempat berlari ke dalam lorong, tapi ada dua orang yang terkena lemparan keramik dan gear,” kata Slamet.

Dua korban yang dimaksud Slamet akhirnya selamat setelah dibawa ke rumah sakit. Namun, bukan berarti kejadian tersebut tak memakan korban.

Pemain kedua kesebelasan, adalah korban paling nyata atas kejadian tersebut. Sebagian dari mereka bahkan merasakan trauma.

“Ke depan kalau kami bertemu Persija, lebih baik digelar secara tertutup. Jangan sampai ada penonton yang masuk,” tutur pemain Persib putri, Vio Risky saat konferensi pers, seperti dilansir Bandungfootball.com.

Trauma Vio adalah hal logis karena pada dasarnya dia dan para pemain Persib punya hubungan yang baik-baik saja dengan pemain Persija. Dia justru khawatir kejadian ini bakal menciptakan konflik yang tidak perlu.

Hal yang sama juga dituturkan pemain Persija, Zahra Musdalifa.

“Seharusnya insiden tadi tidak terjadi, tidak baik untuk sepakbola karena pemain tidak masalah. Kami bahkan berpelukan dengan para pemain Persib setelah pertandingan,” kata dia.

Seksisme yang Terjadi di Dalam dan Luar Lapangan

Horor yang dialami pemain kedua kesebelasan bukan cuma soal anarkisme antarsuporter belaka. Praktik seksisme turut menambah trauma yang dialami Een, Zahra, dan kawan-kawan.

Seksisme ini bukan cuma berbentuk teriakan sebagian suporter saat pertandingan, tapi juga di luar lapangan.

Sehari sebelum kickoff misal, akun Facebook Meme & Rage Persija membagikan meme yang menyebut para pemain Persib dengan sebutan ‘Maung Lonte’. Maung merujuk ke julukan Persib Bandung, sementara kata kedua adalah istilah—yang menurut KBBI—biasa dipakai untuk mengidentifikasi perempuan tunasusila.

Kasus ini bukan satu-satunya. Beberapa hari sebelumnya, dalam laga Liga 1 Putri lain antara Arema FC vs Persebaya, di sekitar stadion suporter Arema FC membentangkan spanduk besar bertuliskan ‘Bantai Purel Dolly’. Purel adalah istilah gaul yang biasa digunakan untuk melabeli pemandu karaoke di tempat hiburan, sementara Dolly adalah salah satu kawasan lokalisasi di Surabaya.

Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menilai munculnya narasi seksisme terhadap pesepakbola perempuan, tidak lepas dari pandangan basi masyarakat Indonesia bahwa perempuan “kerjanya cuma di dapur.”

“Padahal pandangan seperti itu kuno banget ya, sekarang zaman sudah modern. Yang lebih bahayanya lagi, sebagian besar penonton sepakbola itu bukan orang tua, tapi generasi muda. Akan sangat berbahaya kalau seperti ini berkepanjangan,” tegas dia.

Bagi Tunggal sendiri, penyelenggara kompetisi—dalam hal ini PSSI—punya PR besar untuk mengampanyekan perlawanan terhadap objektifikasi perempuan.

Klub-klub peserta dan lembaga yang punya kekuatan dalam sepakbola, menurut dia, juga wajib menyosialisasikan pentingnya pemahaman kesetaraan gender dalam olahraga si kulit bundar.

“Kompetisi Liga 1 Putri ini enggak bisa kampanyenya sama seperti kompetisi laki-laki. Kalau di laki-laki memang enggak ada stereotipe pemainnya gigolo dan sebagainya, tapi kalau perempuan ini kan bahaya. Saya percaya pasti sudah ada kampanye seperti itu, hanya sepertinya belum masif,” tandas dia.

Saat kami konfirmasi, Direktur Media dan Promosi PSSI, Gatot Widakdo mengatakan edukasi kepada suporter sebenarnya sudah selalu didengungkan sejak awal kompetisi.

“Karena di statuta itu, kan, memang ada aturannya [soal larangan diskriminasi gender] dan itu selalu rutin disosialisasikan ke klub maupun suporter. Hanya kalau di lapangan suporter masih terus melanggar, itu di luar kendali kami,” kata Gatot, Jumat (10/11/2019).

Upaya jemput bola juga terus dilakukan PSSI dengan memaksimalkan peran match commisioner untuk memantau jalannya setiap pertandingan resmi. Tapi, apabila praktik terhadap pelanggaran-pelanggaran statuta masih marak, cuma satu hal yang bisa dia janjikan: “Kami akan terus berupaya meningkatkan kampanye itu.”

Baca juga artikel terkait LIGA 1 PUTRI atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Herdanang Ahmad Fauzan
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz