tirto.id - Seperti yang telah banyak diprediksi, tim nasional sepakbola wanita Amerika Serikat (USWNT) kembali berhasil menjadi kampiun Piala Dunia 2019 usai mengalahkan Belanda di laga final dengan skor 2-0. Ini adalah gelar juara dunia keempat mereka sepanjang turnamen ini diselenggarakan dan gelar kedua yang diraih secara beruntun.
AS membuka keunggulan pada menit 61 babak kedua setelah Stefanie van der Gragt mengangkat kaki terlalu tinggi sehingga melanggar Alex Morgan di dalam kotak penalti. Setelah melihat siaran ulang melalui VAR, wasit Stéphanie Frappart memutuskan menunjuk titik putih. Kapten timnas AS, Megan Rapinoe, yang maju sebagai eksekutor berhasil mengecoh kiper Van Veenendaal.
Belanda nyaris menyamakan kedudukan melalui striker mereka, Vivianne Miedema, tak berselang lama dari gol AS. Sayang, dalam posisi dijepit pemain lawan, sepakan Miedema gagal menemui sasaran. Pada menit 69, AS kembali menambah keunggulan mereka berkat aksi ciamik Rose Lavelle: solo run melewati dua pemain dan melepaskan tendangan ke sudut bawah gawang.
Setelah gol kedua, intensitas laga berlangsung mengendur. Belanda seperti telah kehilangan akal membongkar kuartet lini belakang AS yang diisi oleh Crystal Dunn, Becky Sauerbrunn, Abby Dahlkemper, dan Kelley O'Hara. Banyak operan yang tidak akurat, ketidakmengertian antarpemain, dan stamina yang makin menipis. Sementara AS, kendati masih terus menggempur Belanda lewat serangan balik, justru kerap gagal menambah gol karena tidak apiknya kerja sama di lini depan.
Dengan kemenangan ini, timnas AS makin mendominasi Piala Dunia Wanita. Tiga gelar lain mereka dapatkan pada 1991, 1999, dan Piala Dunia sebelumnya, 2015. Mereka sekali menjadi juara kedua di 2011, lalu menempati posisi tiga pada edisi 1995, 2003. Di urutan kedua ada timnas Jerman dengan koleksi dua piala dunia. Disusul Norwegia dan Jepang yang sama-sama meraih satu gelar pada 1995 dan 2001.
Kemenangan AS makin terasa lengkap karena Rapinoe menjadi topskor turnamen dan pemain terbaik. Mengoleksi enam gol dan tiga assists, pemain berusia 34 tahun itu pun berhak mendapatkan trofi Golden Boot dan Golden Ball. Torehan Rapinoe sejatinya sama dengan rekan setimnya Alex Morgan, namun kapten klub Reign FC itu mencatatkan menit per gol lebih baik (428 dibanding 490).
Cara AS Mendominasi Sepakbola Wanita
Pertanyaan: Bagaimana AS bisa begitu dominan di kancah ini?
Sepanjang empat dekade terakhir, sepak bola wanita telah meraih popularitas di AS dengan begitu cepat. Pada 1971, misalnya, hanya ada 700 pesepakbola wanita di sekolah menengah. Namun, pada tahun 2014, jumlah itu telah meningkat menjadi hampir 376.000 orang. Bagi Eileen Narcotta-Welp, seorang sarjana olahraga bidang sepakbola dari University of Wisconsin - La Crosse, popularitas ini menandakan, “...kompetisi akan semakin meningkat. "Dan itu berarti perkara teknis dan taktis juga tambah bagus, sehingga nantinya akan dapat mengeluarkan potensi-potensi terbaik,” ujarnya kepada Business Insider.
Faktor krusial lain mengapa sepakbola dapat populer dengan cepat di AS adalah karena adanya undang-undang Title IX. Undang-undang hak sipil federal yang disahkan sebagai bagian dari Amandemen Pendidikan tahun 1972 ini melarang lembaga pendidikan yang didanai pemerintah federal untuk melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Dan itu berlaku untuk program atletik SMA dan perguruan tinggi.
Adapun alasan mengapa sepakbola yang dipilih untuk mengatasi persoalan bias gender dalam program atletik di AS sebetulnya sederhana saja: sepakbola merupakan permainan tim yang membutuhkan banyak sekali bibit berbakat. Selain itu juga untuk membentuk kompetisi berdasarkan ragam usia. Maka dengan begini, kelak akan ada begitu banyak wanita yang ikut serta, bahkan sejak dari usia dasar.
Gong popularitas sepakbola di AS sejatinya mulai ditabuh usai mereka memenangi Piala Dunia pertama tahun 1991 yang digelar di Cina. Dari situ, berbagai jenama olahraga terkenal seperti Nike dan Umbro dengan sigap mensponsori beberapa pemain timnas dan menjadikan mereka sebagai ikon patriot AS. Pasokan iklannya juga segera bertebaran di mana-mana.
Popularitas sepakbola wanita AS makin menjadi-jadi kala mereka mengalahkan Cina di final Piala Dunia 1999 lewat adu penalti dengan skor 5-4. Inilah momen terbesar yang membuat setiap remaja wanita di AS ingin menjadi Brandi Chastain, eksekutor terakhir AS sekaligus penentu kemenangan mereka. Utamanya lagi, Piala Dunia 1999 ini juga digelar di tanah air mereka sendiri.
Majalah Newsweek kala itu turut menjadikan potret selebrasi Chastain dengan dibubuhi tulisan besar-besar: GIRLS RULE!
Stereotipe dan Diskriminasi Upah
Upaya AS dalam membuat sepakbola wanita menjadi populer sejatinya juga memiliki efek global. Namun begitu, upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Stereotip patriarkis, terutama dalam hal diskriminasi upah, masih menjadi persoalan serius yang kian lantang disuarakan.
Pertama, ingat-ingatlah bahwa tiga negara besar dalam jagat sepakbola ini pernah melarang sepakbola wanita: Inggris, Jerman, dan Brazil. Pelarangan sepakbola wanita di Inggris terjadi hingga 50 tahun: 1921 s/d 1971. Sementara Jerman melakukan dari tahun 1955 s/d 1970. Lalu di Brazil terjadi sejak kurun 1941 s/d 1981. Dengan demikian, maka ketiga negara ini jelas tidak memiliki timnas sepakbola wanita dalam waktu yang amat panjang. Tragisnya lagi, pelarangan ini murni karena klaim patriarkis: sepakbola bukanlah olahraga wanita.
Betul bahwa kini situasi telah berubah di tiga negara tersebut, wabilkhusus dalam konteks Piala Dunia Wanita: Inggris berhasil ke semifinal Piala Dunia 2019, Jerman telah dua kali menjadi juara, dan Brazil melahirkan Marta, pencetak gol terbanyak, baik di Piala Dunia wanita atau pria, dengan torehan 16 gol. Hanya saja, hingga kini AS masih menjadi negara dengan jumlah pesepakbola wanita terbanyak. Data FIFA tahun 2006 menunjukkan: dari sekitar tiga juta pesepakbola wanita di seluruh dunia, lebih dari separuhnya berada di AS.
Persoalan diskriminasi upah (Equal Pay Gap) adalah hal berikutnya yang menjadi isu serius dalam sepakbola wanita. Tahun 2016, empat pemain senior timnas AS (Alex Morgan, Lloyd, Rapinoe, Becky Sauerbrunn, dan Hope Solo) pernah mengajukan gugatan ke Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja terkait diskriminasi upah yang dilakukan Federasi Sepakbola AS (USSF).
Sikap yang sama kembali dilakukan tiga bulan sebelum Piala Dunia 2019 digelar, namun kali ini seluruh pemain AS ikut turun tangan. Mereka berpendapat bahwa USSF telah melanggar dua Undang-Undang Federal--Equal Pay Act dan Title VII of the Civil Rights Act of 1964--mengenai pembayaran upah layak tanpa bias gender. Dokumen gugatan tersebut pun didaftarkan ke pengadilan federal di Los Angeles.
Sikap timnas wanita dalam menggugat diskriminasi upah tersebut pun turut mendapat dukungan Serikat Pesepakbola Pria AS (USNSTPA). "Secara khusus kami sepakat dengan konsep pembagian keuntungan untuk menyesuaikan 'realitas pasar' versi USSF dan berikhtiar mencari solusi untuk kompensasi yang setara dan adil untuk seluruh pemain AS,” demikian pernyataan resmi USNSTPA.
USSF mestinya tidak hanya melihat realitas pasar dalam hal ini, tetapi juga perlu memahami bahwa apa yang dilakukan timnas wanita AS memiliki pengaruh amat besar dalam isu kesetaraan gender, termasuk dalam pemenuhan hak-hak dasar wanita, yang tentunya bukan menyangkut sepakbola saja. Lagi pula, Alex Morgan dan Megan Rapinoe jelas jauh, jauh lebih terkenal ketimbang Alexi Lalas atau Landon Donovan, bukan?
Editor: Nuran Wibisono