Menuju konten utama

Lewat Megan Rapinoe, Sepakbola Wanita Bersuara Melawan Diskriminasi

Selain membawa Amerika Serikat juara Piala Dunia 2019, Megan Rapinoe juga berhasil menyabet gelar pemain terbaik serta menggenggam sepatu emas.

Lewat Megan Rapinoe, Sepakbola Wanita Bersuara Melawan Diskriminasi
Megan Rapinoe dari Amerika Serikat merayakan setelah mencetak gol pembuka dari titik penalti selama pertandingan sepak bola final Piala Dunia Wanita antara AS dan Belanda di Stade de Lyon di Decines, Prancis, Minggu, 7 Juli 2019. (AP Photo/Francisco Seco)

tirto.id - Pada 19 Juli 1999, majalah News Week memajang foto Brandi Chastain, salah satu bintang timnas Amerika Serikat dalam gelaran Piala Dunia 1999, di halaman depan. Ia tampak berlutut, mengepalkan kedua tangannya, dan melepas bajunya setelah berhasil mencetak penalti penentu kemenangan Amerika Serikat atas Cina di laga final.

Kelak, selebrasi Castain tersebut memang sangat ikonik dalam sejarah sepakbola wanita. Namun, headline bikinan News Week ternyata tak kalah memantik perhatian. Di tengah-tengah foto Chastain itu, News Week menulis judul: “Girls Rule!”

“Girls Rule!” menurut News Week itu mempunyai arti: jika kaum laki- laki asal Amerika bisa mengejar mimpi untuk menjadi atlet basket, “football”, maupun bisbol, mengapa kaum wanita tidak bisa mengejar mimpi melalui sepakbola seperti para jagoan di timnas wanita 99?

Sekitar 20 tahun setelah majalah itu terbit, Megan Rapinoe, kapten timnas wanita Amerika, lantas memaknai “Girl Rule!” lebih jauh lagi. Setelah memastikan Amerika Serikat berhasil menjadi juara Piala Dunia Wanita 2019, Rapinoe menyuarakan bahwa atlet sepakbola wanita seharusnya dianggap setara dengan atlet sepakbola laki-laki.

Sola gaji, misalnya. Rapinoe mengatakan, “Aku pikir sekarang semua orang sudah siap untuk membicarakan ini (kesetaraan gaji) dan melakukan ke tahapan selanjutnya. Aku pikir kita sudah melewati topik: ‘Apakah kami pantas untuk itu? Haruskah kami mendapatkan bayaran yang setara?’”

Tutuntan Rapinoe tersebut jelas beralasan, dan ia setidaknya bisa menjadi contoh mengapa atlet sepakbola wanita tak boleh dianggap sebelah mata.

Dalam gelaran Piala Dunia 2019 yang dilangsungkan di Perancis itu, Rapinoe seakan mengatur seisi dunia. Tidak hanya membawa Amerika menang, ia juga berhasil menyabet sepatu emas serta menggenggam gelar pemain terbaik turnamen empat tahunan tersebut.

Selain itu, di tengah-tengah aksi heroiknya, ia ternyata juga berhasil memukul balik diskriminasi serta mampu membuktikan bahwa lampu sorot tak pernah sedikit pun mengurangi kehebatannya.

Pada akhir Juni 2018, dalam sebuah wawancaranya bersama Eight by Eight, Rapione menyebut bahwa ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di Gedung Putih selama Donald Trump masih menjadi orang nomor satu di Amerika. Alasannya, kebijakan Trump kerap menyudutkan kelompok LGBT seperti dirinya.

Tak terima, Trump pun membalas pernyataan Rapinoe tersebut dengan sinis. Kata Trump, “Megan harus menang dulu sebelum berbicara, selesaikan dulu pekerjaanmu, kami bahkan belum mengundang tim. Aku sekarang berniat mengundang mereka, menang atau kalah. Megan seharusnya tak mempermalukan negara, Gedung Putih, atau bendera kami.”

Yang menarik, daripada membuat sayap kiri Amerika itu gentar, balasan Trump tersebut justru bikin Rapione memasang gigi empat. Hanya selang beberapa hari setelah serangan Trump tersebut, Rapinoe berhasil mencetak dua gol saat Amerika Serikat mengalahkan Perancis 2-1 di babak perempat-final. Dan, ia kembali menyerang Trump.

“Anda tidak bisa memenangkan sebuah kompetisi tanpa seorang gay di tim Anda, belum pernah ada yang demikian. Itu berdasarkan fakta saintifik yang ada di sini,” kata Rapinoe. “Saya termotivasi dengan orang-orang seperti saya yang berjuang untuk kesetaraan. Saya mengambil semangat perjuangan itu untuk bertanding, bukan sebagai kemarahan untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah.”

Komentar Rapinoe tersebut lantas menjadi pembicaraan rutin di sosial media. Banyak yang berpikir bahwa ia pemberani, tapi, seperti Trump, tak sedikit pula yang menilai ia hanya bisa bicara tanpa mampu memberi bukti.

Namun, setelah Amerika Serikat berhasil mengalahkan Belanda 2-1 di laga final, semua orang hanya percaya akan satu hal: pemain berusia 34 tahun tersebut bukan pembual, ia benar-benar seorang pemain bintang.

Dalam laga final itu, meski semua lampu sorot mengarah kepadanya, Rapinoe tetap bermain rancak seperti biasanya. Malahan, Jill Ellis, pelatih Amerika Serikat, juga tetap melakukan pendekatan taktik yang mirip dengan karakter bermain Rapinoe: direct, berani, dan tanpa basa-basi.

Sebelum pertandingan itu, Joseph Lowery, salah satu penulis di The Athletic, sebetulnya sempat mengkritik taktik yang diterapkan Ellis dalam gelaran Piala Dunia 2019. Ia menyebut “taktik Ellis terlalu tidak sabar dan terlalu sederhana dari sudut pandang idelalis." Namun, ia juga menambahkan, “Tetapi dari perspektif pragmatis, kemanjuran taktik Ellis tersebut jelas tidak dapat diperdebatkan.”

Lowery pun bertanya: apakah taktik itu bisa bekerja saat menghadapi timnas Belanda yang selalu bertahan dengan garis pertahanan rendah yang berdasar dari formasi 4-4-2?

Semula kekhawatiran Lowery tersebut ada benarnya. Karena rapatnya pertahanan Belanda, penampilan Amerika Serikat nyaris tak berkembang pada babak pertama. Ada umpan-umpan yang terlalu memaksa, ada pergerakan sia-sia, dan beberapa kesalahan yang tak perlu.

Namun pada menit ke-60, Rapione lantas mengubah peruntungan Amerika. Melalui titik putih, ia berhasil mencetak gol keenamnya di Piala Dunia 2019, mengecoh Sari van Veenendaal, kiper Belanda, yang tampil gemilang sepanjang laga.

Setelah gol itu, Rapinoe semakin menaikkan mental pemain-pemain Amerika. Dari sisi kiri lini serang Amerika, ia terus-terusan menciptakan marabahaya di jantung pertahanan timnas Belanda. Setidaknya ada dua umpan silang terukur dari Rapinoe yang gagal dimanfaatkan dengan baik oleh penyerang-penyerang Amerika.

Alhasil, berkat penampilan Rapione tersebut, serangan Amerika pun semakin menjadi-jadi: para pemain tengah Amerika tak takut maju ke depan, umpan-umpan direct mereka lebih sering mengarah tepat sasaran, dan Rose Lavelle berhasil menggandakan keunggulan. Amerika Serikat akhirnya menang dengan skor 2-0. Singkat kata, Rapinoe membuat Belanda tampak kalah segalanya dari Amerika.

Untuk semua itu, seakan mewakili semua orang yang menonton Piala Dunia 2019, Ellis pun memuji Rapione setinggi langit setelah pertandingan.

“Semakin besar lampu sorot yang mengarah kepadanya, dia justru semakin bersinar,” kata Ellis. “Aku pikir lampu sorot dapat membakar orang, tetapi bagi Megan, lampu sorot itu ternyata mampu menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya.”

Lantas, bagaimana tanggapan Rapinoe terhadap pujian itu?

Di Lyon, Prancis, tempat dilangsungkannya laga final, Rapinoe sedikit mengangkat dagunya ke atas. Kedua tangannya telentang, yang sebelah sedikit lebih tinggi dari yang satunya. Badannya agak serong ke samping. Ia tersenyum. Di depannya, ada tiga trofi yang baru saja ia raih dan persembahkan untuk Amerika: trofi sepatu emas Piala Dunia 2019, trofi pemain terbaik Piala Dunia 2019, dan trofi Piala Dunia Wanita 2019.

Di depan tiga gelar itu, Rapinoe melakukan The Pose, sebuah selebrasi yang amat lekat dengan dirinya selama gelaran Piala Dunia 2019. Dalam selebrasi itu dia seakan menantang orang-orang untuk selalu melihat ke arahnya, bahwa ia adalah seorang bintang, seorang bintang yang selalu menang, dan seorang bintang yang selalu menang dengan caranya.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA WANITA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Abdul Aziz