tirto.id - Tangkapan layar dari pesan pelecehan seksual yang diterima penyanyi Via Vallen ternyata mendapat beragam komentar. Ada yang mendukungnya buka suara, tapi ada juga yang justru menghujat. Mirisnya lagi, kelompok yang terakhir juga banyak dilakukan oleh sesama perempuan.
Beberapa selebritas seperti Nikita Mirzani dan satu pembawa acara di Insert, Trans TV justru ikut mengatakan keputusan Via menayangkan pelecehan di Instastory terlalu berlebihan. Tindakan tersebut mereka anggap sebagai salah satu cara menjaga eksistensi di dunia hiburan. Perempuan-perempuan itu malah cenderung menindas dan tidak berempati kepada sesamanya. Dalam ilmu psikologi, perilaku semacam ini dinamakan Sindrom Ratu Lebah.
Perempuan yang memiliki Sindrom Ratu Lebah akan merasa tersaingi oleh perempuan lain karena beragam hal, mulai dari karier, kecerdasan, bentuk fisik, hingga perhatian dari lawan jenis. Mereka rela mengucilkan atau bertindak buruk kepada saingannya agar terlihat menonjol. Persis seperti lebah perempuan dalam koloni yang saling bunuh untuk memperebutkan tahta tunggal Ratu Lebah.
Sindrom Ratu Lebah pertama kali diperkenalkan oleh psikolog di University of Michigan pada tahun 1973. Joyce F Benenson, seorang psikolog di Emmanuel College di Amerika menyimpulkan bahwa sindrom ini terbentuk akibat evolusi. Perempuan cenderung selektif dan tidak terbiasa membentuk kelompok dalam jumlah besar seperti laki-laki.
Hal itu karena mereka terbiasa berkompetisi ketat untuk menarik lawan jenis dan mendapatkan makanan demi anak-anak mereka. Benenson sempat melakukan eksperimen kepemimpinan dengan meminta responden membagikan uang yang mereka miliki kepada rekan sesama jenis. Hasilnya menunjukkan pria secara konsisten lebih bersedia memberi penghargaan pada rekannya daripada perempuan.
“Benar-benar negatif. Ini sulit, tetapi saya berusaha objektif, (padahal) saya ingin mereka (perempuan) berlaku lebih baik,” katanya seperti dikutip BBC.
Dalam penelitiannya yang lain, Benenson menyertakan lima studi berkaitan untuk menarik kesimpulan mengenai Sindrom Ratu Lebah. Salah satu studi menyatakan bahwa perempuan melaporkan pengucilan lebih tinggi dibanding laki-laki. Hanya 5 persen perempuan yang melapor tak pernah dikucilkan berbanding 30 persen laki-laki.
“Perempuan juga lebih sensitif dalam menerjemahkan tanda-tanda pengucilan dan lebih reaktif meresponsnya. Terbukti dari peningkatan denyut jantung yang lebih dibanding pria,” tulisnya dalam penelitian tersebut.
Warisan Seksisme
Banyak perempuan juga mengeluhkan menjadi korban sang Ratu Lebah di iklim pekerjaan. Jamak bos-bos perempuan bertindak lebih kritis kepada bawahan perempuan dibanding pria. Seorang Psikolog Klinis Amerika, Seth Meyers bahkan berani mengatakan sebagian besar perempuan setidaknya pernah mendapatkan perundungan atau pengucilan di masa lalu. Perempuan juga punya kecemasan terhadap penampilan lebih besar ketimbang pria.
“Kita juga menghadapi kenyataan bahwa banyak ibu di dunia bersikap kurang manis pada putrinya,” kata Meyers dalam Psychology Today.
Tindakan itu mereka lakukan untuk membela diri. Dengan menjatuhkan perempuan lain, kekurangan sang Ratu Lebah seolah tertutup karena perempuan lain juga terlihat memiliki celah. Lalu Meyers memberikan contoh dengan menceritakan kisah kliennya yang aktif mengkritik gaya pengasuhan anak oleh ibu mereka.
Ternyata di saat bersamaan, si klien memiliki kendala kehamilan dan tengah menjalani perawatan kesuburan. Dengan kata lain, perempuan akan menekan sesama ketika merasa cemas dan defensif.
Di dunia pekerjaan, Margaret Thatcher disebut sebagai contoh pelakon Ratu Lebah. Sejak menjabat sebagai perdana menteri perempuan pertama di Inggris, ia tidak pernah terlihat mempromosikan atau mendukung karier sesama perempuan di kabinetnya.
Contoh suburnya perilaku Ratu Lebah juga tergambar dari langkanya perempuan menjabat sebagai pimpinan perusahaan. Studi Deloitte menunjukkan dari tujuh ribu perusahaan di 44 negara, perempuan hanya jadi pemimpin di sekitar 15 persen perusahaan saja. Perkembangan industri di Inggris ditilik dari The Financial Times Stock Exchange (FTSE) juga menyebutkan dari 100 perusahaan, pionir perempuan hanya mengambil porsi sebanyak 33 persen.
Di sisi lain, Naomi Ellemers, seorang profesor dari Universitas Utrecht di Belanda menangkap fenomena lain di balik sindrom ratu lebah. Ada campur tangan laki-laki yang melanggengkan prilaku Ratu Lebah. Istilah tersebut sengaja diciptakan untuk menempatkan perempuan sebagai akar masalah. Perempuan secara tidak langsung diarahkan menjadi “berbeda dan lebih” dibanding perempuan lain.
“Perilaku tersebut adalah bentuk respons terhadap seksisme,” katanya.
Dengan mengadopsi karakteristik laki-laki, persepsi mereka dibentuk untuk menunjukkan dirinya tidak seperti perempuan kebanyakan. Penelitian Ellemers pada tahun 2011 terhadap polwan Belanda menguatkan hipotesisnya. Relawan diminta mengingat kenangan diskriminasi gender yang mereka terima. Kenangan itu akhirnya mendorong para polwan untuk menyepelekan seksisme yang mereka alami.
“Sindrom ratu lebah adalah produk dari stereotip gender.”
Jika Anda tak mau menjadi bagian yang turut menyumbang seksisme pada perempuan, saatnya berhenti mencemooh dan bersikap tendensius pada perempuan lainnya.
Editor: Maulida Sri Handayani