tirto.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, pemahaman soal peradilan yang berperspektif gender belum merata di seluruh penegak hukum di Indonesia.
Akibatnya, kata dia, masih banyak perempuan berhadapan dengan hukum yang mendapat ketidakadilan seperti Baiq Nuril.
"Ada banyak praktik baik yang dilakukan aparat penegak hukum dalam menghasilkan keputusan yang berpihak pada kelompok rentan, kelompok terpinggirkan terutama perempuan dan anak, tapi itu tidak semua merata di semua daerah dan bergantung pada perseorangan," kata Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati di Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (25/7/2019).
Padahal, sudah banyak aturan yang mendorong agar proses penegakan hukum lebih memperhatikan soal gender. Salah satunya Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum.
Karenanya, Nurherwati berharap Mahkamah Agung dapat menggalakkan penerapan pedoman tersebut dalam perkara-perkara yang dihadapinya. Mahkamah Agung (MA) pun didorong untuk menyosialisasikan itu ke pengadilan-pengadilan di bawahnya.
"Sehingga secara kelembagaan menjadi ruhnya Mahkamah Agung dalam menciptakan peradilan yang berkeadilan gender," ujarnya.
Harapannya, jika pengadilan sudah memperhatikan soal gender dalam menangani perkara, maka hal itu akan diikuti pula kepolisian dan kejaksaan.
Di sisi lain, dia pun mendorong dua lembaga itu membuat aturan internalnya sendiri soal penegakan hukum berbasis gender.
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang yang berkeadilan gender. Salah satunya ialah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang pembahasannya mandek.
Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Pemerintah menyerahkan alternatif dari definisi RUU PKS ke Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Vennetia Danes mengatakan, alternatif tersebut merupakan tambahan dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah diserahkan pihaknya pada Juni 2017.
Vennetia menyampaikan, definisi yang disampaikan Kamis (18/7/2019) lalu merupakan alternatif dari Draf RUU milik DPR, termasuk tentang jenis tindak kekerasan seksual.
Dalam DIM sebelumnya, pemerintah hanya memiliki 4 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, sedangkan milik DPR, tertulis 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual.
"Nantinya itu kita masukkan DIM, tapi ini, kan, belum pasti, karena ide-ide perdebatan definisi maupun jenis begitu lama dan tidak menemukan titik temu. Jadi kami mengambil posisi mencari alternatif dalam bentuk definisi dari kekerasan ini dijadikan sebagai delik-delik terkualifikasi," ungkap Vennetia kepada Tirto di Ruang Rapat Komisi VIII DPR RI, Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno