tirto.id - Pada pekan ketiga bulan Mei 2019 ini, akun instagram resmi milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengunggah beberapa gambar kontroversial seperti Calon Istri Idaman Lelaki, Istri Beruntung, dan Jangan Lamar Aku Dulu, Aku Sedang Memantaskan Diri.
Tiga infografik yang mereka unggah tersebut diprotes beberapa warganet karena dianggap menyetujui budaya patriarki dan tidak mendukung kesetaraan perempuan, sebab BKKBN tak memunculkan gambar sejenis yang ditujukan untuk lelaki.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mempertanyakan tujuan dari badan milik pemerintah itu mengunggah gambar-gambar yang tak adil gender. Menurut Mariana, infografik yang diunggah oleh BKKBN tak sesuai dengan fungsi dari lembaga tersebut.
“BKKBN itu kan mewakili program negara tentang keluarga berencana. Harusnya fokusnya di soal bagaimana keluarga membuat rencana tentang memiliki anak dan juga hubungannya juga soal kependudukan, kan?” tanya Mariana, retoris.
Menurut Mariana, konten soal suami-istri yang dibuat oleh BKKBN itu sudah keluar dari arah yang semestinya. Seharusnya, badan milik pemerintah tersebut bisa menggunakan media sosial untuk kampanye pembatasan jumlah anak seperti visi mereka.
“Jadi kalau dilihat dari konten yang mereka hadirkan itu justru enggak nyambung dengan visinya,” tutur Mariana.
Hasto Wardoyo, yang ditunjuk sebagai Kepala BKKBN, mengatakan dirinya tak mengetahui ihwal infografik yang diunggah oleh BKKBN. Ia, katanya, belum dilantik sebagai Kepala BKKBN.
“Saya enggak tahu kok bisa muncul iklan-iklan seperti itu, saya belum tahu,” ujar Hasto saat dihubungi Tirto (28/52019).
Meski tak mengetahui hal tersebut, Hasto mengungkapkan dirinya tak setuju dengan gambar yang diunggah di akun lembaga yang akan ia pimpin tersebut. Hasto pun tak mengerti riset yang digunakan sebagai acuan dalam pesan yang disampaikan oleh BKKBN itu.
“Bahwa memang hal-hal seperti ini penting untuk disikapi bersama kemudian, memang tidak boleh ada bias gender. Itu pentinglah karena kita kan tahu bahwa lembaga-lembaga seperti BKKBN kan juga lembaga yang mestinya justru memperjuangkan hak-hak perempuan, laki-laki, maupun anak supaya lebih setara,” tuturnya.
Kriteria Siap Menikah
Tidak salah jika BKKBN mengunggah kriteria kesiapan untuk menikah. Kesuksesan keluarga berencana memang tak terlepas dari kesiapan suami dan istri memasuki biduk rumah tangga. Jika tak siap, bisa-bisa pernikahan malah diisi ketidakcocokan, percekcokan, bahkan perceraian
Di Indonesia, angka perceraian bahkan mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dalam rentang waktu 10 tahun. Pada 2006, angka perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (PA/MS) sebanyak 167.807 kasus. Pada 2015, angkanya menjadi 445.568 perkara. Dari angka-angka itu, sebanyak 90 persen merupakan kasus perceraian.
Pada salah satu unggahan kontroversial yang diunggah oleh BKKBN, mereka menyebutkan kriteria siap menikah bagi perempuan. Kriteria-kriteria itu adalah berusia lebih dari 21 tahun; memiliki kemampuan mendidik anak; menjadi wanita yang penuh pengertian; menjadi wanita yang telaten dan sabar; mampu menjadi wanita yang fleksibel dan tidak monoton; mampu memasak makanan favorit calon suami; mampu meningkatkan produktivitas agenda harian calon suami; mampu menerima calon suami apa adanya; mampu berkata jujur tentang apa pun kepada calon suami; dan mampu menjadi wanita mandiri.
Syarat usia memang relevan diperbincangkan oleh BKKBN. Penduduk yang menikah cepat cenderung memperoleh keturunan lebih cepat pula. Ujungnya, hal itu bisa menyebabkan ledakan jumlah penduduk. Menurut statistik BPS yang dikutip Tirto, dari seluruh penduduk Indonesia hingga umur 30 yang melangsungkan pernikahan, ada lebih dari 50 persennya yang menikah pada usia 21 atau lebih muda dari itu.
Yang perlu digarisbawahi, pentingnya memperhatikan usia menikah tentu berlaku tak hanya buat perempuan, tetapi juga laki-laki. Lalu, ada kriteria apa lagi selain usia?
Psikolog klinis Andrea Bonior dalam tulisannya di Psychology Today menyebutkan beberapa pertanyaan yang harus direnungi sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Menikah, menurutnya, sama dengan memutuskan untuk hidup bersama dengan pasangan seumur hidup dan di dalamnya terdapat dinamika. Ia mewanti-wanti; keadaan sekarang bisa jadi berbeda dengan keadaan lima tahun mendatang, termasuk soal cinta.
Di awal hubungan, wajar jika gairah cinta kita meledak-ledak, tapi mampukah kita mempertahankan itu setelah melihat kebiasaan pasangan yang jorok? Atau mungkin setelah tahu bahwa tidurnya mendengkur?
“'Kita hidup seperti teman sekamar, bukan kekasih.' Sering menjadi contoh saat hubungan tersebut kehilangan gairah, dan itu bukanlah hal yang baik ketika pasangan Anda menganggap Anda tak lebih dari teman sekamar,” ujar psikolog yang juga aktif sebagai kolumnis di The Washington Post ini.
Dalam kehidupan berumah-tangga, lanjutnya, permasalahan tidak hanya perkara aku-kamu, tapi akan hadir masalah “kita”. Perkara-perkara yang datang bisa saja menimbulkan stres. Maka, Bonior menyarankan kita mengetahui bagaimana cara diri sendiri, pasangan, dan “kita” dalam menghadapi stres. Jangan sampai tekanan masalah itu membuat lepas kontrol dan berperilaku buruk terhadap pasangan.
Perkara lain adalah soal menceritakan masalah hubungan Anda kepada orang lain? Jika Anda melakukannya, seberapa jauh Anda bercerita? Dan bagaimana reaksi pasangan Anda?
Keterlibatan pasangan kita dengan narkoba, alkohol, dan perjudian juga merupakan hal-hal yang harus diketahui sebelum memutuskan untuk menikah. Menurut Bonior, ketiga hal tersebut bisa berpengaruh terhadap kehidupan emosional mereka. Mampukah membantu pasangan berhenti kecanduan?
Hal yang menjadi perhatian lain sebelum menikah adalah pengelolaan keuangan. Anda dan pasangan harus mengetahui ihwal pengelolaan keuangan masing-masing dan mencari titik tengah, jika ada perbedaan.
Tak hanya itu, Anda dan pasangan pun perlu mengatur strategi untuk mengatasi jika salah satu di antara kalian berhenti memiliki penghasilan atau keluar dari pekerjaan. Perlu diingat, hal ini penting karena faktor ekonomi adalah salah satu penyebab perceraian.
Apa yang Penting bagi Para Muda-Mudi?
Jason S. Caroll bersama lima koleganya pernah membuat penelitian berjudul “Criteria for Marriage Readiness Among Emerging Adults” (PDF) untuk meneliti kriteria kesiapan menikah bagi orang dewasa muda dan hubungan antara kriteria tersebut dengan perilaku mereka saat ini.
Studi yang dipublikasikan melalui Journal of Adolescent Research (2009) ini dilakukan terhadap 788 orang dewasa muda yang terdiri dari 481 perempuan dan 307 pria. Mereka direkrut dari lima lokasi perguruan tinggi di Amerika Serikat.
Semua partisipan di penelitian itu belum menikah dan 90 persen di antaranya tidak tinggal bersama orangtua mereka, tapi di apartemen, rumah, atau asrama.
Caroll, dkk. menemukan bahwa hampir dua pertiga respondennya menyatakan mereka saat ini belum siap untuk menikah. Mereka merasa belum siap menikah karena ingin menyelesaikan pendidikan dan memiliki karier yang baik.
Baik pria maupun perempuan umumnya memiliki pandangan serupa tentang kesiapan pernikahan, yakni perlunya kemapanan karier dan kemandirian finansial yang menjadi aspek utama dalam kesiapan pernikahan.
Namun, di dalam studi ini, mereka juga mencatat beberapa perbedaan. Pada perempuan dewasa, sebelum menikah, mereka ingin mengurangi perilaku-perilaku yang berisiko, kesiapan mendukung dan merawat keluarga, serta mengembangkan kapasitas dan keterampilan antar-personal dalam hubungan pribadi.
Pada responden pria, pola penggunaan narkoba yang mereka lakukan menjadi salah satu faktor kesiapan pernikahan. Secara keseluruhan, para responden di penelitian ini menempatkan kematangan relasional, kapasitas keluarga, dan kepatuhan atas norma sebagai prioritas tertinggi dalam kesiapan pernikahan.
Para peserta di penelitian ini menganggap bahwa menjadi dewasa adalah transisi dari diasuh oleh orang lain—seperti orangtua—menjadi orang yang mampu merawat diri sendiri. Sementara itu, kesiapan pernikahan adalah transisi dari yang semula bertanggung jawab kepada diri sendiri menjadi bertanggung jawab untuk menjaga orang lain (pasangan dan anak-anak).
Editor: Maulida Sri Handayani