tirto.id - "Menikahlah kamu, sebelum dia menikah dengan sahabatmu."
Kalimat itu menjadi salah satu bahan kampanye Gerakan Nikah Muda di akun instagram @gerakannikahmuda. Postingan tersebut mendapat lebih dari 6 ribu like dan 190-an komentar hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.
Postingan itu bukan lelucon. Sekelompok anak muda, atas nama agama dan menjauhi dosa, mengampanyekan gerakan nikah muda secara masif melalui media sosial. Gerakan ini dipelopori oleh La Ode Munafar, pendiri komunitas Indonesia Tanpa Pacaran.
Gerakan ini mendapat sambutan dari anak muda Islam perkotaan yang aktif di media sosial. Itu terlihat dari pengikut akun @gerakannikahmuda yang sudah mencapai 396 ribu pengikut. Kampanye ini bukan hanya dilakukan oleh satu akun saja, ada beberapa akun lainnya seperti @indonesiatanpapacaranid, @hijrahdaripacaran, @beraninikahtakutpacaran dan masih banyak lagi. Masing-masing akun memiliki pengikut hingga ratusan ribu.
Akun-akun itu berkolaborasi, saling bertukar bahan kampanye untuk menggaet perhatian para pengikutnya. Dalam kurun waktu 24 jam, satu akun bisa membuat 10 sampai 19 postingan. Dalam kacamata mereka, gerakan ini adalah gerakan mengedukasi anak-anak muda tentang menikah dalam usia muda.
Tidak hanya kampanye, akun-akun itu menjadi seperti toko online untuk merchandise kaos, pin, topi dan buku tentang anak muda dan Islam. Salah satu yang paling banyak dipromosikan adalah merchandise dari gerakan Indonesia Tanpa Pacaran.
Sayangnya, La Ode Munafar, sang penggagas gerakan ini menolak memberikan keterangan kepada Tirto tentang misi dari gerakan ini. “Saya tidak menerima wawancara dari Tirto.id,” kata Munafar saat dihubungi Tirto, Rabu (20/2).
Menikah Usia Muda
Gerakan ini sebenarnya tidak banyak berpengaruh pada peningkatan pernikahan pada usia muda di Indonesia. Sebab, jauh sebelum gerakan ini muncul, pernikahan pada usia muda sudah sangat lazim di Indonesia. Pernikahan pada usia muda ini berbeda dengan pernikahan anak. Sebagaimana diatur undang-undang, yang dimaksud pernikahan anak adalah pernikahan di bawah usia 18 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengategorikan pernikahan pemuda di Indonesia dalam empat rentang usia, yakni usia 15 tahun ke bawah, usia 16-18 tahun, usia 19-24 tahun dan usia 25-30 tahun. Dengan pembagian ini, pernikahan usia muda masuk pada rentang usia 19-24 tahun. Sesuai dengan UU Kepemudaan, usia yang masuk kategori pemuda dibatasi hingga usia 30 tahun. Total pemuda Indonesia mencapai 63,82 juta, dari jumlah itu yang sudah menikah baru 25,7 juta.
Data Statistik Pemuda Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS menunjukkan dari tahun 2015 hingga 2018 jumlah pemuda pada usia 19-24 tahun yang menikah tidak mengalami peningkatan—cenderung stagnan pada angka 60-an persen dari 25,7 juta pemuda Indonesia yang sudah menikah.
Pada 2015, pemuda-pemudi usia 19-21 tahun yang menikah mencapai 34,55 persen dari total pemuda di Indonesia. Sedangkan pada rentang usia 21-24 tahun angkanya mencapai 25,32 persen. Bila dikalkulasi menjadi 59,87 persen.
Jumlah total pemuda-pemudi yang menikah pada usia 19-24 tahun meningkat mencapai 60,25 persen pada 2016. Tahun berikutnya menurun namun tidak signifikan menjadi 60,13 persen. Tahun 2018 meningkat lagi-lagi tidak signifikan menjadi 60,34 persen.
Peningkatan yang terlihat justru pernikahan anak muda pada rentang usia 25-30 tahun. Pernikahan pada rentang usia tersebut sebanyak 15,69 persen pada 2015. Tahun berikutnya menurun sedikit menjadi 15,52 persen, lalu 2017 menjadi 16,31 persen, dan 17,07 persen pada 2018.
Kondisi negara tetangga Filipina jauh berbeda. Pada 2017 saja, pernikahan anak muda pada rentang usia 20-24 tahun sebanyak 26,6 persen dari total 869.864 orang yang menikah. Sedangkan di Malaysia pada tahun yang sama pernikahan anak muda pada rentang usia 20-24 sebanyak 22,6 persen dari total 381.064 orang yang menikah pada tahun itu.
Paradoks Nikah Muda
Sejumlah penelitian menemukan bahwa pernikahan di usia muda berpotensi meningkatkan risiko perceraian.
Salah satunya riset Nicholas Wolfinger, seorang profesor dari studi keluarga dan konsumsi dan sosiologi di Universitas Utah, Amerika Serikat. Ia menganalisis data National Survey of Family Growth (NSFG) dan mendapati pada periode 2006 hingga 2010, risiko tingkat perceraian untuk pernikahan pada usia 20-24 tahun mencapai 20 persen. Risiko ini terbanyak kedua setelah pernikahan pada usia di bawah 20 tahun yakni 32 persen.
Tren peningkatan perceraian itu sebenarnya juga sudah dibaca oleh Premchand Dommaraju (peneliti Nanyang Technological University) dan Gavin Jones (peneliti National University of Singapore). Mereka meneliti tren perceraian di Asia dan secara spesifik di negara-negara Asia dengan penduduk mayoritas Muslim, yakni Malaysia dan Indonesia. Hasil riset yang diterbitkan di Asian Journal of Social Science 39 pada 2011 itu menunjukkan tren perceraian di dua negara Islam ini sudah terjadi sejak awal hingga akhir 1990-an.
Di Malaysia Barat misalnya, Crude Divorce Rate (rasio tingkat perceraian per 1.000 penduduk) untuk Muslim Malaysia meningkat dari 1,09 pada 2001 menjadi 1,5 pada 2006. Di Kuala Lumpur pada periode yang sama juga terjadi peningkatan dari 1,3 menjadi 2,2. Masih di Malaysia Barat, tingkat perceraian justru tinggi pada tahun pertama hingga tahun ketiga pernikahan. Rasionya 2 sampai 3,5.
Dengan tingginya jumlah warga yang menikah di usia muda dan tingkat perceraian, masih perlukah gerakan nikah muda didukung?
Editor: Windu Jusuf