tirto.id - Bagi laki-laki pada umumnya menikah itu bagian dari kenikmatan hidup. Kenikmatan macam ini yang pernah ditunda oleh Mohammad Hatta. Hatta baru menikah setelah Indonesia merdeka. Hatta menunda menikah karena ingin fokus dan tak mau merepotkan keluarganya dalam pergerakan nasional.
“Di masa pergerakan nasional, Hatta tidak mau menikah, dan berjanji sebelum Indonesia Merdeka, ia tidak mau menikah,” tulis Solichin Salam dalam buku Bung Hatta: Profil Seorang Demokrat (1982).
Sebagai laki-laki sejati bermental pejuang, Hatta menepati janjinya. Setelah dua dekade berjuang melawan kolonialisme dan ikut memproklamasikan Republik, barulah dia menikahi Siti Rahmawati alias Rahmi Rachim, dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Hatta yang kelahiran 12 Agustus 1902, saat itu sudah menginjak usia 43 tahun ketika memutuskan menikah. Hatta memang tak lihai untuk urusan percintaan, hingga Sukarno lah yang turun tangan untuk mencarikan pasangan buat Hatta.
Jangan bayangkan Hatta sebagai pria yang bisa menaklukkan hati lawan jenisnya, bahkan sekadar menggoda seorang wanita saja Hatta tak bisa. Menurut pengakuan dokter Soeharto, yang diminta Presiden Sukarno menjodohkan Rahmi dengan Hatta, dalam autobiografinya Saksi Sejarah: Mengikuti Perjuangan Dwitunggal (1984)--menggambarkan mereka datang ke rumah orang tua Rahmi lalu persiapan pernikahan itu begitu singkat, tanpa didahului dengan pacaran. Usia Rahmi ketika itu baru 19 tahun. Mereka menikah pada 18 November 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.
Beda Hatta dan Sukarno
Hatta tentu saja sangat berbeda dengan Sukarno. Sukarno termasuk tokoh yang lebih dahulu menikah daripada Hatta, ketika masih dalam perjuangan di masa pergerakan. Sukarno setidaknya sudah tiga kali menikah menjelang kemerdekaan.
Kawin gantung Sukarno dengan Siti Oetari jadi titik awal perjalanan biduk rumah tangga oleh Sukarno. Siti Oetari, yang merupakan putri dari Pahlawan Nasional Cokroaminoto, saat menikah dengan Sukarno baru berusia 16 tahun, sedangkan Sukarno sudah menginjak usia 20 tahun.
Ini berawal saat Sukarno pernah indekos di Rumah Cokroaminoto di Jalan Paneleh, Surabaya ketika ia menempuh pendidikan di HBS. Perkawinan itu, menurut Solichin Salam, dalam Bung Karno Putra Fajar (1981) terjadi pada 10 Juni 1921 di Surabaya. Belakangan menurut Sukarno hubungannya dengan Oetari lebih mirip sebagai kakak-adik. Mereka menikah karena keadaan. Ketika itu, Cokroaminoto baru saja ditinggal oleh istri pertamanya dan dalam keadaan labil.
Pernikahan Sukarno yang kali kedua dengan Inggit Garnasih. Inggit termasuk yang ikut menderita dan selalu bersama dalam pembuangan Sukarno.
Ketika Sukarno dipenjara pemerintah kolonial, maka Inggit yang banting-tulang untuk menghidupi keluarga. Kisah tersebut tergambar dalam buku Perempuan dalam Hidup Sukarno:Biografi Inggit Garnasih (2007) karya Reni Nuryani. Hubungan keduanya sebelum menikah adalah anak kos dan ibu kos di Bandung. Ketika Sukarno sedang kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng, kini bernama ITB.
"Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi,” tutur Sukarno kepada Cindy Adams seperti yang dikisahkan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia(1965).
Pernikahan kedua Sukarno itu terjadi pada 24 Maret 1923. Usia Sukarno kala itu sekitar 22 tahun. Sementara Inggit sudah berusia 36 tahun. Perkawinan ini cukup lama, hingga 1943. Perceraian terjadi karena Inggit sebagai perempuan tangguh tak mau dimadu. Pernikahan ketiga tentu saja dengan Fatimah alias Fatmawati pada 1 Juni 1943.
Keduanya bertemu pertama kali di Bengkulu, ketika Sukarno dibuang ke sana. Ketika menikah itu, Sukarno sudah berusia hampir 42 tahun dan Fatmawati baru 20 tahun. Setelahnya, Sukarno berkali-kali menikah lagi ketika menjadi presiden.
Kisah Sjahrir
Menikah Muda
Sutan Sjahrir punya kisah berbeda. Dia punya kisah percintaan dengan mantan istri kawannya di Belanda. Si mantan istri kawannya itu seorang perempuan Belanda berparas cantik. Ketika itu, sekitar 1930-an awal, Syahrir juga satu pondokan dengan Salomon Tas, sang kawan Syahrir. Kebetulan, Salomon Tas mulai renggang hubungannya dengan istrinya, Maria Duchateau.
Sjahrir pun akhirnya dekat dengan Maria. Singkat kata, mereka pacaran. Sjahrir punya panggilan Sidi, sebagai panggilan sayang oleh Maria. Sebaliknya, Maria dipanggilnya Mieske. Sjahrir yang hanya dua tahun di Belanda, kemudian pulang ke Indonesia, hubungan mereka berdua tetap berlanjut.
“Empat bulan setelah Sjahrir meninggalkan Belanda, Maria, mengusul dan berencana hidup bersama, bersamanya anak laki-laki dan anak perempuannya [dari perkawinan dengan Sal Tas]. Sjahrir berlayar dari Betawi (Jakarta) ke Medan dan bertemu Maria yang berangkat dari Colombo,” tulis Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. “Tanggal 10 April 1932, di sebuah Masjid di Kota Medan, mereka menikah.”
Saat menikah, usia Sjahrir kala itu baru menginjak 23 tahun. “Mereka tinggal di Medan, di rumah tempat Sjahrir tinggal sebelum pergi bersekolah ke Jawa, bersama kakak laki-laki Sjahrir, Sutan Noer Alamsyah dan keluarganya.”
Pasangan ini sering bepergian ke tempat hiburan yang biasanya didatangi orang-orang Belanda, yang justru menjadi risih atas hubungan mereka berdua. Gunjingan atas pasangan ini pun terjadi. Meski anak jaksa, tetap saja status hukum Sjahrir adalah inlander di mata pemerintah kolonial, tak elok menikahi perempuan Belanda.
Sayangnya otoritas dan politik kolonial tak merestui hubungan mereka. Pernikahan mereka pun dibatalkan dengan alasan di Maria belum cerai dari suami lamanya. Masa bahagia mereka hanya lima bulan saja. Mieske pun dipaksa pulang ke Belanda.
Sjahrir tak bisa menyusulnya. Sjahrir sendiri kemudian mengalami pembuangannya hingga ke Boven Digoel. Mereka berdua sempat berkirim surat dan putus. Meiske kemudian menikah dengan adik Sjahrir, sementara itu Sjahrir menikahi sekretarisnya yang bernama Siti Wahyunah Saleh alias Poppy pada 1951.
Kisah berbeda dari Sukarno maupun Sjahrir, karena tak semua pendiri bangsa Indonesia bisa menikah. Orang macam Tan Malaka yang punya pesona saja tak sempat menikah seperti Hatta. Dalam buku Rosihan Anwar, Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3 (2004), Ida Sanawi mengaku “ia laki-laki yang gallant (sopan terhadap perempuan). Ia soft spoken, berbicara dengan suara lembut. Ia tidak mendominasi percakapan. Ia pribadi yang menyenangkan,”
Dari Jo Abdurahman, yang dekat dengan Tan Malaka, Rosihan mendapat keterangan bahwa Tan Malaka adalah orang yang baik. Dalam hati, Jo kerap bertanya apakah Tan Malaka tidak tertarik pada seks? Apakah Tan tidak ingin menikah dan berkeluarga?
“Jangan lupa, Tan Malaka itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup sendirian di berbagai tempat di berbagai negeri dikejar oleh pihak intel. Ia tak sempat mendirikan atau punya keluarga,” ujar Ida Sanawi.
Separuh hidup Tan Malaka tak lepas dari kejaran dan ancaman aparat kolonial. Jadi apa yang dilakukan Tan Malaka juga Hatta, dengan tidak menikah di masa pergerakan nasional sekitar 1920-an hingga 1945, tentu sangat beralasan. Tujuannya agar keluarga atau pasangan mereka tak menderita, hal seperti dialami Inggit yang setia pada Sukarno dalam masa-masa sulit di pengasingan. Selain Inggit ada Soetartinah yang ikut setia dibuang ke Belanda bersama Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra