tirto.id - Catatan kekerasan dalam rumah tangga hingga menimbulkan kematian kembali bertambah. Di Karawang, Jawa Barat, M. Kholili diwartakan menghabisi istrinya, Siti Saidah, setelah mereka mengalami percekcokan rumah tangga.
Diwartakan Antara, pada 3 Desember 2017, Kholili membunuh Siti dengan cara memukul leher istrinya dengan tangan kosong. Hendak menghilangkan jejak kriminalitasnya, Kholili memutilasi jasad Siti dengan golok, kemudian membuang bagian kepala dan kaki Siti ke daerah Tegalwaru. Sementara tubuhnya dibakar dan dibuang di daerah Desa Ciranggon, Majalaya.
Wakapolres Karawang, Kompol M. Rano Hadianto memberi keterangan, Kholili mengaku menghabisi nyawa Siti lantaran merasa sang istri terlalu banyak menuntut, termasuk meminta mobil. Di samping itu, Kholili juga mengatakan Siti sering menyudutkan orangtuanya. Kendati demikian, motif pelaku masih terus digali oleh kepolisian.
Nyaris berbarengan dengan peristiwa di Karawang, pada 4 Desember 2017, seorang suami di Musi Rawas, Sumatra Selatan, diberitakan membunuh istrinya dengan pisau. Enam tusukan di punggung, dua sayatan di leher belakang, enam tusukan di dada, dan tiga sayatan di lengan kiri ditemukan pada tubuh korban.
Menurut Kapolres Musi Rawas, AKBP Bayu Dewantoro SIK, MM, pelaku melakukan aksi kejinya karena korban ingin lari dari rumah. Pelaku yang dilaporkan tengah cemburu dan khawatir korban tidak kembali lagi saat itu mencegah korban pergi sampai akhirnya terjadi pertengkaran dan pembunuhan di rumah mereka.
Menengok ke belakang, di Jakarta pada 9 November 2017, terjadi penembakan terhadap dr. Letty Sultri yang dilakukan oleh suaminya sendiri, dr. Ryan Helmi. Berdasar keterangan yang diberikan pengacara dr. Helmi, kliennya tersebut tengah mengalami depresi yang mendorongnya melakukan pembunuhan. Sementara menurut polisi, dr. Helmi diduga menembak mati dr. Letty karena masalah rumah tangga dan sang istri menolak bercerai.
Polisi juga menginformasikan bahwa kehidupan rumah tangga dr. Letty-dr. Helmi yang telah berlangsung lima tahun tidak harmonis. Ketidakharmonisan pernikahan mereka juga terlihat dari data Polres Metro Jakarta Timur yang menyatakan dr. Letty pernah melaporkan tindak KDRT yang dilakukan dr. Helmi. Akan tetapi, kasus ini tidak diteruskan ke meja hijau karena dr. Letty mencabut laporannya.
Baca juga
- Pengacara Helmi Sebut Kliennya Menembak Dokter Letty Karena Depresi
- Dokter Helmi Pernah Perkosa Karyawati dan KDRT ke Istrinya
Dalam konteks KDRT/kekerasan di relasi personal, kekerasan terhadap istri mencapai jumlah tertinggi, yakni 5.748 kasus. Sebagai tambahan, menurut data Pengadilan Agama, terdapat 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian.
Tekanan Psikis, Pemantik Konflik Suami-Istri
Berkaca dari ketiga kasus yang telah disebutkan, ditemukan variasi alasan para pelaku sampai hati menamatkan riwayat pasangannya. Untuk kasus pertama, pelaku menyatakan merasa terdesak oleh permintaan material istri yang tidak mampu ia penuhi dan tersinggung karena orangtuanya disudutkan.
Sekilas bisa disederhanakan: perkara ekonomi. Banyak data mengafirmasi bahwa faktor keuangan rumah tangga berkontribusi besar terhadap keretakan hubungan suami-istri.
Sejak Januari-Juli 2017, tercatat ada 6000 gugatan cerai di pengadilan agama Cianjur. Mayoritas gugatan ini bersumber dari masalah ekonomi dan diajukan oleh pihak istri. Kemudian, ada temuan Money Management International’s 2011 Love and Money Survey yang dirilis Business Insider yang menyatakan, 63% pasangan tidak bahagia menunjuk masalah finansial sebagai problem utama mereka. Sementara di The Independent, konselor relasi Peter Saddington mengungkapkan, satu dari sembilan pemicu perceraian yang paling lazim ditemukan adalah perkara keuangan.
Kendati terdapat data-data semacam ini, jika ditelisik lebih mendalam lagi, alasan yang dikemukakan pelaku untuk kasus di Karawang mengisyaratkan tekanan psikis yang besar. Isu yang tercakup dalam kasus KDRT berlapis-lapis, dan masalah ekonomi bisa jadi hanyalah kulit luar dari rumitnya relasi pasangan yang beracun.
Dari studi yang dimuat di Family Relations Journal (2012) ditemukan, percekcokan akibat masalah keuangan dapat berkaitan dengan isu lain seperti kekuasaan dan kepercayaan dalam kehidupan berpasangan. Isu soal kepercayaan inilah yang tersirat dari kasus pembunuhan istri di Musi Rawas. Pelaku diwartakan cemburu dan takut kehilangan istrinya.
Kondisi cemburu tentu tidak datang begitu saja. Faktor situasional maupun internal psikologis pelaku dapat menyumbang terhadap emosi yang mendorong lahirnya tindak kejahatan ini.
Baca juga:Kecurangan Keuangan Sama Seriusnya dengan Perselingkuhan
Tekanan yang Datang dari Standar Lingkungan Sosial
Mengapa istri pelaku sampai hendak lari dari rumah menghadirkan pertanyaan lain. Sikap suami yang tidak bisa diterima seperti kasar atau agresif bisa melatarinya. Menurut penelitian Papp et. al. (2009), dalam diri pasangan yang tengah berkonflik, didapati gejala-gejala depresi seperti mudah tersinggung dan marah, sedih, serta perilaku intimidatif dan agresif. Kembali tekanan psikis dikatakan menggerus tautan suami-istri.
Kasus penembakan dr. Letty mempertegas kaitan tekanan psikis dengan kehancuran relasi dengan pasangan. Kematian perempuan tersebut merupakan puncak gunung es permasalahan rumah tangganya, tetapi jauh di bawahnya, telah menumpuk aneka masalah dengan sang suami.
Catatan polisi soal laporan KDRT yang diterima dr. Letty menjadi petunjuk kondisi rumah tangga pasangan tengah goyah. Namun, proses kasus dr. Letty terhenti karena laporannya dicabut yang bersangkutan. Ada berbagai faktor yang bisa mendasari pencabutan laporan: rekonsiliasi sementara, mempertimbangkan tekanan keluarga atau masyarakat, atau sulitnya pembuktian.
Baca juga:
Terkait tekanan sosial, status perempuan bercerai dipandang lebih negatif dibanding laki-laki. Macam-macam stigma janda menyebar di masyarakat. Inilah yang dapat menyokong keputusan istri untuk menahan diri melaporkan kekerasan yang diterimanya atau untuk berpisah dari pasangan yang opresif. Buntutnya, problem mental lagi buat dirinya di samping dalam diri pasangan yang senang melakukan kekerasan.
Tekanan sosial bisa pula mewujud dalam ekspektasi-ekspektasi pasangan. Dari kasus di Karawang dapat dilihat, apa yang diharapkan seseorang boleh jadi tidak sesuai dengan kemauan pasangan atau keluarganya. Di samping itu, standar kesuksesan berumah tangga yang berkorelasi dengan kemampuan finansial, tidak pernah tercipta tanpa kontribusi lingkungan sekitar dan media massa dalam mematok standar yang dianggap ideal.
Begitu pun dengan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Pelaku dalam kasus di Musi Rawas bisa sewenang-wenang terhadap istrinya dengan mencegatnya pergi karena ada perasaan berkuasa atas diri pasangannya. Pandangan suami seyogyanya lebih dominan dari istri merupakan standar sosial lain yang masih eksis di berbagai kebudayaan.
Kegagalan memenuhi ekspektasi sosial bisa membuat seseorang terpuruk secara mental. Terlebih jika pasangan berada dalam situasi psikologis yang sama-sama memprihatinkan, semakin mudah rumah tangga kandas dihantam gelombang-gelombang problem, mulai dari ekonomi, perselingkuhan, hingga komunikasi.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Zen RS