Menuju konten utama

Lingkaran Setan KDRT

Menikah adalah untuk bahagia. Tapi tak semua angan-angan seindah kenyataan. Rumah tangga yang diharapkan menjadi surga berubah menjadi neraka manakala KDRT hadir. Sebagian tak tahan dan memilih bercerai. Sebagian lagi bertahan karena tak ingin berpisah. Bagaimana seharusnya?

Lingkaran Setan KDRT
Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Veteran, Malang, Jawa Timur. [ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto]

tirto.id - Rumah tangga Eny yang sudah dibangun selama 17 tahun berantakan. Ia memilih bercerai dengan suaminya meski hidup bergelimang harta. Salah satu pemicunya adalah kekerasan fisik yang dialami Eny dari suaminya.

“Mending pulang ke rumah orangtua,” jelas wanita yang kini menekuni bisnis online itu.

Eny enggan menceritakan detail kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya. Ia memilih menutup rapat cerita pahitnya. Eny kini sudah menikah lagi dan hidup tenang di rumahnya di daerah Museum Keraton Yogyakarta.

Wanita-wanita yang bernasib kurang baik seperti Eny masih banyak. Di Yogyakarta, angka KDKT cukup memprihatinkan. Berdasarkan data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa jumlah KDRT di Yogyakarta cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011, angka KDRT mencapai 219 kasus dan meningkat menjadi 228 kasus pada setahun berikutnya. Pada 2013 terdapat 254 kasus, dan sempat turun menjadi 231 kasus pada 2015. Tapi tahun ini ada kemungkinan akan meningkat, sebab dari bulan Januari hingga Agustus 2016 laporan KDRT sudah mencapai 149 kasus.

Menurut Indiah Wahyu Andari, konselor psikologi dan sekaligus Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa tidak semua KDRT berujung pada perceraian. Pada 2016, dari 149 kasus KDRT yang masuk laporan, hanya 27 kasus yang diproses ke pengadilan agama.

KDRT memang bukan satu-satunya penyebab perceraian. Ada banyak hal mulai ketidakharmonisan rumah tangga, hadirnya pihak ketiga, masalah tanggung jawab, dan lainnya. Dalam hal perceraian, tidak semuanya disebabkan oleh KDRT. Menurut laman resmi pengadilan agama Sleman, pa-slemankab.go.id dari bulan April-Agustus 2016, terdapat 272 kasus pengajuan perceraian dengan alasan sudah tidak harmonis, 150 buah kasus karena tidak bertanggung jawab, 46 kasus karena faktor ekonomi, 26 kasus karena pihak ketiga, dan 9 kasus karena persoalan akhlak.

Sementara di Bantul, dilaporkan terdapat 197 kasus pengajuan cerai dengan alasan sudah tidak harmonis, 114 kasus karena tidak bertanggung jawab, 73 kasus karena faktor ekonomi, 53 kasus karena pihak ketiga, dan 9 kasus karena persoalan akhlak selama periode April-Agustus 2016.

Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Yogyakarta, Sujarwo di Yogyakarta mengakui bahwa penyebab perceraian didominasi faktor ketidakharmonisan rumah tangga yang diikuti tidak adanya tanggung jawab suami serta faktor ekonomi.

"Ketidakharmonisan seperti sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga memang masih menjadi alasan pengajuan gugatan cerai baik dari pihak istri maupun suami di Yogyakarta," kata Sujarwo, seperti dikutip dari Antara.

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta merilis kasus perceraian tahun 2012 mencapai 5.440 perkara. Tahun 2013, hingga bulan Agustus kasus perceraian meningkat menjadi 3.592 kasus.

Sujarwo mengatakan, dari angka 3.592 kasus perceraian yang ada di Yogyakarta, sebagian besar adalah kategori gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri dengan jumlah mencapai 2.444 perkara. Sementara untuk cerai yang diajukan oleh pihak suami (talaq) sebanyak 1.148 perkara.

Data dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan negeri (PN) Bantul dan Sleman menunjukkan terdapat 280 kasus perceraian yang sudah diputuskan sejak bulan Januari 2015-Agustus 2016. Rinciannya, 80 buah kasus terjadi di Bantul dan 200 kasus terjadi di Sleman.

Memilih Bercerai

Melihat fenomena itu Manajer Divisi Humas dan Media Rifka Annisa, Defirentia One M menjelaskan bila konstruksi sosial yang menomorduakan perempuan berperan besar dalam persoalan kekerasan rumah tangga dan perceraian.

Diawali dari kelahiran, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki sudah memperoleh perlakuan yang berbeda. “Kalau ada anak perempuan baru lahir diberi kado boneka, sementara jika laki-laki akan diberi mobil-mobilan, kalau dibalik kan sebenarnya ndak apa-apa,” ucapnya.

Ia menyebut konstruksi sosial masyarakat Indonesia mengizinkan anak perempuan menjadi sensitif dan boleh menangis. Akan tetapi, laki-laki akan dianggap kurang pantas bila menangis ketika menghadapi kesulitan. Sewajarnya, laki-laki mampu tegar tanpa menangis dalam menyelesaikan konflik.

Pada masa pencarian jati diri, sebut One, anak perempuan akan dipandang lebih baik bila mampu bersikap lembut, mampu mempersiapkan diri sebagai ibu rumah tangga, dan mampu memperlihatkan keluwesan dalam bergaul. Sementara pada anak laki-laki akan dibentuk menjadi calon penanggung jawab keluarga atau tulang punggung keluarga. Laki-laki memiliki beban untuk mencarikan nafkah dalam keluarga.

Lebih jauh lagi, konstruksi-konstruksi itu juga memengaruhi masa-masa berumah tangga. Harapan-harapan dari lingkungan yang memantaskan laki-laki sebagai tulang punggung keluarga akan menganggap rendah laki-laki yang tak mampu melakukannya. Sementara itu, pada perempuan, masyarakat akan menaruh harapan-harapan berupa perempuan harus mampu mengerjakan pekerjaan domestik, memberi anak, dan mengasuh anak.

Konflik yang Ditimbulkan oleh Konstruksi Sosial

Konstruksi sosial seperti itu akan menjadi masalah serius ketika dibakukan. Jika salah satu di antara pasangan tidak mampu memenuhi harapan lingkungan sosial, tekanan-tekanan akan timbul di antara keduanya. Lalu, disadari atau tidak, tekanan-tekanan sosial ini bisa menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga, hingga rumah tangga seseorang menjadi tidak harmonis sampai terjadi kekerasan.

One mengelompokkan lima faktor atau pemicu kekerasan yang berujung pada perceraian yakni faktor ekonomi, ada pihak yang tidak bertanggung jawab, tidak harmonis, persoalan akhlak, dan ada gangguan pihak ketiga. Pengelompokan tersebut berdasarkan ribuan klien yang datang ke Rifka Annisa. Dalam setahun, kliennya bisa mencapai 2000 orang.

Contohnya, ada klien yang datang ke Rifka Annisa dengan kasus suami merasa kurang puas dengan pelayanan istri kemudian menyiram tubuh istri dengan air panas. One menyampaikan perempuan tersebut malah menyalahkan dirinya sendiri dan menganggap masalahnya sebagai takdir.

Selain itu, ada juga karena masalah kedudukan. Konflik ini, kata One, dipicu oleh kedudukan istri yang lebih tinggi dalam pekerjaan. Kedudukan istri yang lebih tinggi menyebabkan timbul perasaan insecure pada diri suami. Perasaan ini lalu menimbulkan efek domino, di mana suami jadi gampang marah, cemburu, dan curiga.

"Relasi mereka menjadi tidak sehat,” tambahnya.

Kompromi, Konstruksi Ulang dalam Rumah Tangga

Namun, tidak semua kasus KDRT berujung perceraian dan sebaliknya ada perempuan yang memilih berkompromi untuk mengurangi tuntutan-tuntutan dalam rumah tangga. Ketika mampu berkompromi, perempuan akan memilih kembali pada pasangannya.

“90-95 persen klien Rifka Annisa akan memilih rujuk. Kebanyakan tidak ingin mengakhiri pernikahan, hanya ingin mengakhiri kekerasan,” ungkap One.

One menjelaskan, alasan kesediaan mereka kembali rujuk beragam. Bagi yang sudah punya anak, akan menjadikan anak sebagai alasan utama. Ada pula yang karena masalah ekonomi, karena selama ini ia tidak mencari nafkah sendiri maka ia merasa bergantung pada suaminya, dan sederet pertimbangan lain.

Di Rifka Annisa, pasangan-pasangan tersebut sebelum berani memutuskan kembali rujuk sudah mendapatkan konseling. Di dalam konseling akan diberi pengarahan, bahkan secara teknis, bila perlu dibuat perjanjian di atas kertas bermaterai. Isi perjanjian tentu saja dibicarakan dengan kedua belah pihak secara adil. Kebanyakan, bentuk kesepakatan yang terjadi di antara klien Rifka Annisa adalah suami tidak memberikan beban ganda pada istri.

Selain itu, One menerangkan, konselor harus memberikan pemahaman tentang pengasuhan anak kepada seorang suami. Pada klien, ia menjelaskan mengasuh anak bukan hanya tugas istri, namun juga tugas bapak. Sehingga, pemahaman ini penting untuk diberikan kepada si suami yang sebelumnya telah membebankan pengasuhan anak pada istri, ketika anak berbuat kesalahan ia sampai menyalahkan istri dan merendahkannya.

“Merekontruksi ulang pola pikir, itu yang sering kami lakukan,” ujarnya.

Usaha merekonstruksi ulang pola pikir yang sudah membudaya ini diakui One tidak mudah. Setelah kedua belah pihak memahami, belum tentu lingkungan sosialnya mendukung, sehingga tetap akan ada tekanan-tekanan sosial di antara keduanya.

Akan tetapi, upaya membuat keduanya mampu berkompromi adalah satu-satunya cara agar kontruksi rumah tangga itu tidak berefek lebih buruk. “Akhirnya, pernikahan itu sebuah kompromi!” serunya.

Baca juga artikel terkait PERCERAIAN atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti