tirto.id - Tiap orang pasti punya jawaban yang berbeda untuk pertanyaan sejuta umat seperti "Apa itu cinta?"
Bagi Ely, 28 tahun, cinta adalah sebuah penerimaan baik-buruk dari pasangan, serta mencintai apapun yang dimilikinya.
Makna itu semakin dalam saat dua orang memutuskan untuk menikah. “Pernikahan bagiku adalah menyatu, bukan lagi milikku milikmu, tapi milik kita. Bukan lagi tugasku tugasmu, tapi tugas kita. Bukan lagi aku-kamu, tapi kita,” tutur Ely.
Nana (56) memiliki argumen lain soal pernikahan. Menurutnya, menikah tak sekadar menerima baik-buruk pasangan, tapi soal kecocokan. “Dari cowok-cowok yang deketin aku waktu itu, aku paling sreg sama bapak [suaminya sekarang],” kata Nana.
Masa pacaran yang kala itu Nana lewati menjadi pondasi penting untuk kehidupan rumah tangga. Sebab, ia menyadari akan ada kejutan-kejutan masalah di depan.
Buah cinta Nana dan suaminya adalah dua orang anak perempuan. Dalam proses membesarkan buah hatinya, kekompakkan mereka diuji. Tanggung jawab sebagai orangtua bahkan berlanjut hingga kedua putrinya menikah.
“Resep langgeng sama bapak itu kuncinya saling menghormati,” bebernya.
Beda lagi pendapat yang disampaikan oleh Aldo (bukan nama sebenarnya, 38 tahun). Meski telah menikah, Aldo beranggapan bahwa ada beberapa hal terkait pernikahan yang digembar-gemborkan orang masa kini hampir tak relevan.
Bagi Aldo, ada banyak hal yang harus menjadi bahan pertimbangan sebelum menikah.
“Pernikahan bukan hanya mikir hari ini atau besok, tapi bagaimana kelanjutan keturunan setelah pasangan yang menikah itu mati,” ujarnya.
Aldo pun berpendapat bahwa sebenarnya dua orang yang saling mencintai tak harus membawa hubungan ke jenjang pernikahan, sebab relasi itu bukan puncak percintaan sepasang kekasih.
“Puncak percintaan itu adalah komporomi,” tutur Aldo.
Aldo pun mengaku sengaja menikah agar tak menabrak norma dan hukum yang berlaku di masyarakat. Baginya, tanpa pernikahan orang tetap bisa saling kompromi.
Apakah Cinta Harus Berakhir dengan Pernikahan?
Banyak orang mendambakan kehidupan cinta yang selalu bergairah hingga ajal menjemput. Konsep cinta romantis semacam itu rupanya penemuan baru. Sebelum 300 tahun silam, tak banyak orang yang menikah karena cinta, sebagaimana ditunjukkan sejarawan Stephanie Coontz dalam buku Marriage, a History: How Love Conquered Marriage (2005).
Coontz mengawali Marriage, a History dengan ilustrasi tentang pernikahan dari George Bernard Shaw, seorang dramawan dan kritikus sastra asal Irlandia. Bagi Shaw, pernikahan adalah sebuah institusi yang menyatukan dua orang dalam sebuah pengaruh nafsu yang paling gila dan paling sementara. Pemikiran Shaw itu didasari oleh sumpah antara dua insan yang sedang mabuk asmara bahwa mereka akan terus bersama sampai ajal menjemput.
Dalam catatan Coontz, berbagai masyarakat di dunia pantang menempatkan perasaan di atas komitmen yang lebih penting, misalnya komitmen terhadap orangtua, saudara kandung, sepupu, tetangga, atau Tuhan.
Masyarakat India Kuno, misalnya, memandang cinta sebelum menikah sebagai tindakan yang tidak dibenarkan, bahkan bisa dikatakan antisosial. Di Cina, lanjut Coontz, cinta pernah dianggap sebagai tanda kegilaan yang bisa diobati dengan menikah. Suami-istri bahkan bisa dipaksa cerai oleh keluarganya apabila keduanya dimabuk cinta hingga mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Pada abad ke-12, Andreas Capellanus, seorang penasihat spiritual Maria sang penguasa daerah Champagne dan Troyes di Perancis, menulis risalah tentang prinsip cinta yang santun. Bagi capellanus, perkawinan bukan alasan yang nyata untuk mencintai.
Pada zaman Capellanus, umumnya orang menikah dengan alasan ekonomi atau politik. Cinta tak ditemukan dalam perkawinan, melainkan saat orang berhubungan dengan selir.
Melalui buku itu, Coontz juga mengingatkan kisah cinta Peter Abelard, seorang biarawan Prancis, dengan biarawati Notre Dame bernama Heloise. Mereka berdua kawin lari dan tak menikah hingga dikaruniai seorang anak.
Mulanya, Abelard mengajak Heloise untuk menikah diam-diam agar tak hidup dalam dosa. Usulan itu ditolak Heloise. Alasannya, pernikahan tak hanya berbahaya bagi karier Abelard, tapi juga untuk cinta mereka.
Aaron Ben-Zeev dalam artikelnya di Psychology Today mengemukakan bahwa percintaan yang penuh gairah menjadikan pernikahan sebagai prioritas di masa kini. Di sisi lain, karena cinta romantis pula pernikahan menjadi sesuatu yang labil dan serba tidak pasti. Jika perasaan itu sudah hilang, orang akan berpikir untuk meninggalkan pasangan—atau paling tidak berusaha berkompromi. Ben-Zeev adalah seorang pengajar filsafat di Universitas Haifa, Israel. Bukunya yang berjudul The Arc of Love: How Our Romantic Lives Change over Time terbit tahun ini.
Cinta Bukan Esensi Pernikahan
Cinta sering dipandang sebagai esensi pernikahan. Ben-Zeev memaparkan dua alasan untuk menyanggahnya. Alasan pertama, pernikahan adalah sebuah kerangka kehidupan bersama yang melibatkan banyak faktor lain. Yang kedua, cinta yang penuh gairah hanyalah pengalaman jangka pendek.
Tim Lott, kolumnis Guardianuntuk isu-isu keluarga, bahkan meragukan ada pernikahan yang bahagia setelah melihat angka perceraian yang cukup tinggi. Lott bahkan menaruh curiga pada para pasangan yang hingga kini masih tetap bersama. Di mata Lott, sebagian pasangan memilih bertahan karena anak, uang, atau takut kesepian.
Lott menjadikan kehidupan pernikahannya sendiri sebagai contoh. Pernikahan pertamanya gagal, tapi lama setelah itu ia kembali merajut kisah dengan orang yang berbeda.
Menurut Lott, masalah utama dalam sebuah pernikahan adalah menghabiskan waktu bersama dengan satu orang selama bertahun-tahun dalam hubungan yang rentan perselisihan. Walhasil, hubungan pernikahan tak lagi soal bahagia dan tidak bahagia, tapi tentang akomodasi dan negosiasi.
Lott menyebut tiga kunci utama dalam kehidupan pernikahan. Pertama, komunikasi yang baik. Kedua, rasa hormat yang rupanya lebih penting ketimbang cinta. Sebab, cinta bisa datang dan pergi, tetapi rasa hormat bisa bertahan. Ketiga, kepercayaan, yang ternyata merupakan fondasi yang paling sulit dibangun khususnya bagi orang yang pernah kecewa oleh hubungan. Kepercayaan di sini tak melulu soal perselingkuhan, tapi janji kecil yang dilanggar, niat buruk, dan harapan yang tak terwujud.
Yang tak kalah penting adalah aspek sosial dan ekonomi di mana kesejahteraan pasangan menjadi salah satu faktor vital dalam pernikahan. Dalam survei "Love and Money" yang diadakan TD Bank, ditemukan 78% responden merasa nyaman berbicara tentang uang bersama pasangannya, sementara 36% pasangan berdebat soal uang setiap bulan.
Sebanyak 90% pasangan yang bahagia membahas keuangan mereka setiap bulan, sedangkan 68% pasangan yang tidak bahagia, tidak melakukan hal tersebut. Dari situ survei menyimpulkan bahwa salah satu kunci kebahagiaan hubungan adalah percakapan.
Editor: Maulida Sri Handayani