tirto.id - Cinta pernah bikin Ernesto Guevara pening. Sebagai anak muda usia 23 tahun, darah petualangannya menggelegak. Ia ingin menghirup udara kebebasan. Ajakan dari kawannya, Alberto Granado, untuk menyusuri Amerika Selatan dengan sepeda motor tua Norton 500 yang diberi nama La Poderosa, terlalu susah untuk ditampiknya.
Namun, dia tahu, petualangannya berarti harus membuatnya jauh dari Chichina, kekasihnya yang cantik dan mapan itu. Ernesto sempat bimbang, apakah dia harus pergi memuaskan dahaganya akan petualangan, atau tinggal bersama kekasihnya. Ketika dia akhirnya memilh untuk berjalan bersama Alberto, hanya satu yang diingat oleh Ernesto: puisi dari Otero Silva, penulis dan sastrawan dari Venezuela.
“...Hatiku terombang-ambing antara dia
dan jalanan.
Aku tak tahu bagaimana aku mendapat kekuatan
untuk bisa membebaskan diri dari cengkraman matanya
untuk mampu lepas dari pelukannya.”
Pilihan yang ditempuh oleh Ernesto membawanya menuju jalan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Usai merampungkan perjalanan yang kelak dibukukan dengan judul The Motorcycle Diaries itu, Ernesto menyelesaikan pendidikan dokternya. Dia lulus, dan bergabung dengan rombongan gerilyawan pimpinan Fidel Castro untuk menggulingkan diktator Fulgencio Batista di Kuba. Di negara itu, Ernesto, yang lebih masyhur dipanggil Che, menemukan bahwa cinta adalah sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang romansa dua orang manusia, lebih agung ketimbang perasaannya kepada Chichina dulu.
“Meski berisiko terdengar konyol, aku akan bilang bahwa revolusi sejati itu selalu dibimbing oleh besarnya cinta. Rasanya mustahil ada revolusi yang berjalan tanpa cinta,” ujarnya suatu ketika.
Puisi dan Prosa Cinta Pilihan Para Penyair Muda
Tanpa ada kongkalikong atau rencana matang, kantor Tirto banyak diisi oleh para penulis sastra muda. Awalnya Dea Anugrah dan Sabda Armandio Alif yang masuk di awal. Lalu disusul Beni Satryo. Kemudian Zulkifli Songyanan masuk. Dan menyusul belakangan: Mario Lawi.
Pada 13 Februari, sehari sebelum Hari Valentine yang membuat banyak orang menuduh cokelat sebagai biang maksiat dan kecabulan, para sastrawan muda ini diminta untuk memilih karya sastra, bisa puisi maupun prosa, yang menarik diperbicangkan jika berbicara tentang cinta.
Dea Anugrah, penulis buku kumpulan puisi Misa Arwah (2015) yang menjadi salah satu kandidat dalam daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, menyebut bahwa puisi yang baik bukan hanya yang menyentuh tiap kita membaca, “tetapi juga mengubah atau mungkin memperkaya, cara kita memahami dunia.”
Untuk itu, penulis buku kumpulan cerpen Bakat Menggonggong (2016) ini memilih puisi berjudul “This is Just to Say” dari penyair Amerika Serikat keturunan Puerto Rico, William Carlos Williams.
I have eaten
the plums
that were in
the icebox
and which
you were probably
saving
for breakfast
Forgive me
they were delicious
so sweet
“Tak ada kata-kata cinta, gairah, hasrat, atau pengkhianatan dalam puisi di atas,” kata Dea,
“Cuma plum, kulkas, sarapan. Begitu remeh dan sehari-hari. Tapi mengapa hati kita berdesir karena permohonan maaf itu, rasa bersalah itu, yang lahir karena seseorang pernah tergoda? Apakah selama ini kita tak menemukan kedalaman pada ‘yang sehari-hari’ karena kitalah yang tak mengenal kedalaman?”
Sedangkan Dio, penulis novel Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya (2014) dan 24 Jam Bersama Gaspar (2016), memilih novel klasik milik Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera. Menurut Dio, Gabo—panggilan tenar Marquez—tak pernah gagal menulis dengan indah dan baik tanpa bikin pembaca muak atau terkesan pretensius.
Dalam novel itu, Gabo mengisahkan tentang kekeraskepalaan, juga kesetiaan Florentino Ariza yang menyimpan cinta untuk Fermina Daza selama setengah abad. Jalan mereka memang tak mulus, pun kesetiaan Ariza juga banyak belangnya.
“Premisnya memang sederhana sekali: cowok nunggu cewek, dan sepanjang cerita muncul hal-hal yang biasa terjadi dalam cerita cinta-cintaan kayak obsesi, kecemburuan, kemalangan, pembalasan dendam, dan seterusnya. Klise. Tapi cara Gabo menyampaikan cerita adalah kunci,” kata Dio.
“Dengan premis dan tema yang sederhana, cara tutur novel ini bikin ia terasa mewah. Terlalu mewah untuk menyembunyikan hal-hal busuk dan gelap dalam urusan percintaan antarmanusia. Begitulah cara novel bagus bekerja.”
Jika Dea tertarik dengan cinta sehari-hari, Dio tertarik dengan penuturan, maka Mario Lawi tertarik pada puisi dan prosa yang punya keterikatan dengan perspektif zaman. Karena itu, penulis Memoria (2013), Ekaristi (2014), juga Mendengarkan Coldplay (2016) ini memilih "La Vita Nuova" dari penulis Italia, Dante Alighieri.
“Karya ini mungkin tidak seterkenal magnum opus Dante, Divina Commedia. Tapi, di karya ini, banyak hal dari tradisi yang dibaca Dante, disesuaikan lagi dengan perspektif zamannya,” kata Mario.
Menurut pria yang pernah menjalani program Residensi Penulis Indonesia di Roma ini, Dante meleburkan gagasan tentang cinta erotik ala penyair Latin Catullus, dan penyair-penyair Latin lain, menjadi courtly love, konsep cinta Abad Pertengahan yang berkaitan erat dengan kesopanan, keningratan, kehormatan, juga identik dengan nilai-nilai agama dan moralitas.
“Dante bahkan memodifikasi versi Latin ayat alkitab ke dalam bahasa daerahnya (atau bahasa Italia klasik). Buku puisi yang bagus bekerja seperti itu, menurut saya; buku puisi yang ditulis penyairnya dengan memiliki, meminjam istilah Eliot, ‘historical sense’.”
Lain pula Zulkifli Songyanan. Penulis bunga rampai puisi bertajuk Kartu Pos dari Banda Neira (2017) ini memilih puisi “Love at First Sight” dari penyair Polandia, Wislawa Szymborska. Pilihan ini disebabkan Zulkifli tak percaya adanya cinta pertama.
There were signs and signals
even if they couldn’t read them yet.
Perhaps three years ago
or just last Tuesday
a certain leaf fluttered
from one shoulder to another?
Something was dropped and then picked up.
Who knows, maybe the ball that vanished
into childhood’s thickets?
“Dengan bahasa yang lembut dan lugas, juga imaji-imaji yang sederhana bahkan polos, Wislawa menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak muncul dari yang hal-hal yang bersifat insidental semacam pandangan pertama, melainkan muncul dari proses panjang—yang kerap tidak disadari—dua orang manusia,” tutur Zul.
Semua pilihan itu—cinta sederhana, obsesif, atau melewati proses panjang—lantak di tangan pilihan Beni Satryo. Penyair yang menelurkan buku puisi Pendidikan Jasmani dan Kesunyian (2016) ini bisa dibilang punya kepahitan khusus dalam memandang cinta. Bisa jadi pandangan ini terbentuk dari berbagai pengalaman buruknya di masa lalu, sehingga membuatnya pernah membuat Pameran Patah Hati di Yogyakarta, 2013 silam.
Maka tak heran kalau Beni memilih “Pada Sebuah Pantai: Interlude” dari Goenawan Mohamad. Sama seperti aksen kisah cinta Beni yang menggiriskan—bisa ditengok di buku puisinya, puisi Goenawan ini langsung melemparkan pesimisme dan tepukan sebelah tangan.
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang
sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku
menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak
menyahutku.
“Ini sajak pahit,” kata Beni.
Beni kemudian memberikan perspektif—sebenarnya tak baru—yang kerap enggan ditengok orang di hari kasih sayang: bahwa cinta juga memberikan rasa pahit yang kerap kali tak tertanggungkan. Sama seperti apa yang diberikan Ernesto pada Chichina, atau sebaliknya. Cinta malah kerap tak bicara soal rasa memiliki, melainkan soal kehilangan dan bagaimana kita seringkali berharap pada sesuatu yang sia-sia. Maka tak salah jika Beni yang kerap didapuk sebagai duta kesedihan, memilih puisi ini.
“Pantai, orang nglangut, mimpi berdua yang kandas, patgulipat asmara, merasakan cinta padahal sedang menyakiti diri sendiri, dan akhirnya pasrah. Pas buat orang-orang yang merayakan kasih sayang di hari Valentine. Pahit.”
Editor: Maulida Sri Handayani