Menuju konten utama

Gangguan Kejiwaan Bukan Kejahatan, Stigmatisasi Harus Dihentikan

Sebagian kecil ODGJ memang berperilaku agresif ketika tidak mendapat penanganan tepat. Hal tersebut memunculkan stigma bahwa ODGJ lekat dengan kekerasan.

Ilustrasi gangguan mental. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Gangguan kejiwaan dapat terjadi akibat kerusakan struktur otak atau warisan genetik, bukan karena kurang ibadah.

Hari Kesehatan Jiwa tanggal 10 Oktober kemarin mestinya dirayakan dengan perubahan positif penanganan kesahatan dan peningkatan kualitas hidup Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Tapi, yang muncul adalah catatan buruk penanganan kesehatan jiwa di Indonesia, termasuk, memerangi stigma terhadap ODGJ.

Dua hari sebelum peringatan Hari Kesehatan Jiwa, akun media sosial milik Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengunggah sebuah poster. Dengan latar belakang berwarna toska, poster itu memajang gambar Joker, antihero kenamaan DC, disertai promosi layanan kesehatan jiwa dari BPJS Kesehatan.

“JKN-KIS menanggung penderita penyakit ODGJ agar tak tercipta Joker-Joker lainnya,” begitu tulisan dalam poster tersebut.

Mungkin maksud BPJS baik, menyebarluaskan informasi bahwa sekarang mereka sudah menanggung layanan kesehatan jiwa layaknya layanan kesehatan lain. Sejak diterbitkan Permenkes 59 tahun 2014, kesehatan jiwa juga menjadi prioritas penanganan medis. Konsultasi kesehatan mental bahkan bisa dilayani hingga level fasilitas kesehatan tingkat satu.

Tapi salahnya, BPJS menganalogikan ODGJ dengan sosok Joker yang identik dengan kejahatan dan kekerasan. Di dalam film, karakter yang dimainkan oleh Joaquin Phoenix itu digambarkan sebagai individu dengan kelainan mental. Aksi kriminalnya terbentuk dari sejarah penyiksaan dan perundungan yang akhirnya termanifestasikan menjadi perilaku kejam.

Poster tersebut secara tidak langsung ikut melanggengkan dan memperkuat stigma terhadap ODGJ di masyarakat. Bahwa ODGJ berbahaya, dekat dengan perilaku kekerasan, dan perlu diwaspadai kehadirannya. Padahal selama ini Indonesia masih berjuang keras melawan stigma terhadap ODGJ.

Karena stigma itu pula individu dengan gejala gangguan mental tak berani memeriksakan kondisi kejiwaannya. Karena stigma juga, banyak ODGJ tak terdeteksi keberadaannya. Mereka dipasung, berkeliaran di jalan tak terpelihara negara, dan mendapat diskriminasi, perlakuan buruk, serta kekerasan dari lingkungan sosialnya.

Stigma Itu Menempel Kuat pada Orang-orang Terdekat

Beberapa waktu lalu, saya menemani seorang kawan mengunjungi poli kesehatan jiwa di sebuah puskesmas di Jakarta Barat. Niatnya untuk menjajal fasilitas kesehatan jiwa yang sudah tersedia di banyak puskesmas. Di loket pendaftaran, kawan saya, sebut saja T.W. (27 tahun) mengeluarkan kartu BPJS dan mengutarakan maksud untuk berobat ke klinik tersebut.

Di situ, saya menangkap gelagat kaget dari petugas loket. Beberapa detik ia diam, sebelum akhirnya menyahut “oh” dan mulai menuliskan nama T.W. di daftar tunggu pasien. Setelah dari loket, kami menuju lantai dua dan bertemu petugas lain yang memberikan kuesioner dan anamnesis singkat.

Sebelumnya, T.W. sudah pernah menjajal layanan kesehatan jiwa di sebuah rumah sakit. Ia didiagnosis mendapat gangguan kecemasan. Setiap bulan T.W. hampir selalu pergi kontrol ke dokter. Jika tidak, serangan panik akan membikin kerja-kerja hariannya terbengkalai. Dengan BPJS ia bisa menghemat biaya kesehatan bulanan.

“Lumayan, kalau di dokter bisa keluar sekitar Rp400 ribu-800 ribu sekali datang,” katanya.

Usai mengisi kuesioner berisi pertanyaan deskriptif soal kesehatan jiwa, oleh petugas, T.W. ditanya mengenai keluhan dan tujuan berkunjung. Saat melihat kuesioner dan menyebut soal serangan panik, petugas menanyakan apakah T.W. memiliki pacar. Jawaban "tidak" dari T.W., lagi-lagi disahut dengan kata "oh".

Singkat cerita, di poli itu T.W. didiagnosis depresi tingkat menengah. Ada perasaan tidak dicintai yang muncul dari dirinya dan memicu pikiran bunuh diri. T.W. mulai menyadari gangguan mental saat sekolah menengah pertama, dan kondisi tersebut semakin parah ketika memasuki dunia kerja. Tapi ia mulai bercerita kepada keluarga baru beberapa bulan belakangan.

“Gue enggak peduli soal stigma orang saat liat gue berobat. Tapi waktu nyokap tanya ‘Itu artinya gila ya?’ gue merasa terluka dan sedih.”

Cukup banyak komentar negatif yang ia terima dari lingkungan sosial, semisal, label 'bawa perasaan' (baper), tidak tahan banting, atau mengatakan ia kurang dekat dengan Tuhan. Untuk meminimalisir hal tersebut, T.W. jadi lebih sering mengutarakan gangguan depresi yang ia alami ketika pertama kali berkenalan dengan orang.

Tak lupa, ia juga menyisipkan edukasi singkat bahwa ODGJ sama-sama perlu ditoleransi, seperti pasien penyakit fisik lain. Tindakan itu cukup manjur mengerem komentar buruk dari lingkungan sosialnya. Selain komentar sinis, masih ada stigma lain yang sering diterima ODGJ hingga membikin mereka salah penanganan, seperti dipasung, atau justru dibawa ke dukun.

ODGJ: Pelaku atau Korban Kekerasan?

T.W. boleh jadi cukup berani mengambil keputusan untuk menjalani pengobatan dan tutup telinga atas beragam komentar negatif yang mampir kepadanya. Dibantu dokter, ia berhasil berdamai dan mengendalikan gejala depresi. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak punya keberanian semacam T.W.?

Infografik Stigmatisasi Orang dengan Gangguan Jiwa

Infografik Stigmatisasi Orang dengan Gangguan Jiwa. tirto.id/Quita

Penelitian tahun 2016 yang dilakukan di Kebumen, Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa stigmatisasi memiliki pengaruh besar terhadap proses pengobatan ODGJ. Semakin sedikit stigma didapat, maka semakin besar peluang kesembuhan ODGJ. Tapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya.

Masih banyak ODGJ enggan melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan karena takut dicap “gila”. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 (hlm. 81), hanya ada sembilan persen orang dengan depresi yang minum obat dan menjalani pengobatan medis.

Artinya, kita bisa simpulkan bahwa kesadaran soal kesehatan jiwa di Indonesia masih rendah, dan salah satu pemicunya adalah stigma. Masih dari studi sebelumnya, dampak stigmatisasi pada ODGJ akhirnya memicu timbulnya perilaku kekerasan yang dilakukan dan dialami oleh ODGJ terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan tenaga kesehatan.

Kita memang tidak bisa memungkiri ada sebagian kecil ODGJ yang melakukan kekerasan ketika tidak mendapat perawatan tepat. Pemasungan adalah salah satu salah penanganan yang masih sering dilakukan kepada ODGJ. Pelaku pemasungan berdalih cara tersebut terpaksa dilakukan demi keamanan ODGJ dan orang-orang terdekat.

Tapi nyatanya, tindakan tersebut justru membikin tingkat gangguan ODGJ semakin parah. Episode saat ODGJ kambuh dan melakukan kekerasan inilah yang jadi akar stigma terhadap mereka. Tapi dibanding menjadi pelaku kekerasan, penelitian lain oleh E. Fuller Torrey (2011) menyimpulkan ODGJ justru lebih sering menjadi korban kekerasan.

“Sebagian besar ODGJ tidak melakukan kekerasan, dan sebagian besar kekerasan bukan dilakukan oleh mereka,” tulis Torrey.

Ya, kita bahkan sering menjumpai ODGJ yang menjadi sasaran perundungan, dituduh menculik anak dan dihajar hingga babak belur, dianggap mengancam tokoh agama atau menyerang tempat ibadah. Padahal penelitian Torrey berkesimpulan, orang dengan pengaruh alkohol dan narkoba jauh lebih berpeluang melakukan kekerasan ketimbang ODGJ.

Jadi, tindakan yang pernah dilakukan BPJS Kesehatan menyejajarkan ODGJ dengan Joker adalah sesat pikir.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN JIWA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf
-->