tirto.id - 10 Oktober 2019 memperingati Hari Anti-Hukuman Mati dan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Menurut situs web organisasi The Advocates for Human Rights, hari Anti-Hukuman Mati Sedunia pertama kali dicetuskan pada 2003 dan diperingati setiap 10 Oktober.
Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia
World Day Againts the Death Penalty memperjuangkan untuk menghapus hukuman mati di seluruh dunia. Setiap tahun, tema yang diperingati berbeda-beda yang ditujukan untuk menarik perhatian pada pelanggaran hak asasi manusia, lewat hukuman mati.
Tahun ini, pada peringatan ke-17 Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia, menyoroti tantangan yang dihadapi anak-nadak dari orang tua yang dihukum mati.
Sementara itu pada tahun 2018, Hari Anti-Hukuman Mati Sedunia mengangkat soal meningkatkan kesadaran tentang kondisi yang tidak manusiawi dari orang yang akan dijatuhi hukuman mati.
Koalisi Anti-Hukuman Mati Sedunia menyatakan, hukuman mati tidak hanya mempengaruhi orang yang dihukum mati tetapi juga keluarga, tim hukum, dan akhirnya masyarakat.
Menurut koalisi itu, penjara tidak bisa dibiarkan tidak manusiawi. Menurut Koalisi, penjara saat ini sudah tidak manusiawi, terlebih bagi mereka yang sudah diputuskan mendapat hukuman mati. Hak-hak mereka seolah diabaikan, bahkan sebelum dieksekusi. Mereka tidak lagi dianggap sebagai manusia.
Menurut Amnesty International, beberapa negara mengeksekusi orang yang berusia di bawah 18 tahun ketika ia melakukan kejahatan. Sejumlah negara juga menghukum mati orang-orang difabel serta melalui persidangan yang tidak adil, yang melanggar hukum dan standar internasional.
Seseorang bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara untuk menunggu hukuman mati, tidak tahu kapan waktu mereka akan dieksekusi dan apakah mereka akan melihat keluarga mereka untuk terakhir kalinya.
Amnesty menganggap hukuman mati adalah hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Amnesty menentang hukuman mati dalam semua kasus, tanpa terkecual,i, terlepas dari siapa yang dituduh, kejahatan apa yang dilakukan, bersalah atau tidak bersalah, dan metode eksekusi.
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia diperingati setiap 10 Oktober. World Mental Health Days ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kesehatan mental dan upaya mendukung kesehatan mental yang lebih baik.
Menurut catatan WHO, setiap 40 detik, seseorang kehilangan nyawa karena bunuh diri. WHO mengajak seluruh masyarakat di dunia untuk ikut dalam "40 Seconds of Action" untuk meningkatkan kesadaran tentang skala bunuh diri di seluruh dunia dan peran masong-masing orang untuk mencegahnya.
10 Oktober hari ini merupakan kesempatan pemangku kepentingan yang bekerja pada masalah kesehatan mental, berbicara tentang apa yang mereka kerjakan selama ini, dan apa lagi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan perawatan kesehatan mental bagi orang-orang di seluruh dunia.
World Mental Health Day diselenggarakan oleh World Federation for Mental Health, didukung oleh WHO, International Association for Suicide Prevention dan United for Global Mental Health.
Tahun ini, Federasi untuk Kesehatan Mental (World Federation for Mental Health/WFMH) memutuskan untuk menjadikan "pencegahan bunuh diri" sebagai tema utama Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.
"Perilaku bunuh diri telah ada sepanjang sejarah manusia, tetapi karena beberapa faktor kompleks, perilaku bunuh diri ini meningkat secara bertahap di semua bagian dunia dan, dalam beberapa dekade terakhir, telah mencapai tingkat statistik yang mengkhawatirkan," ujar President WFMH, Alberto Trimboli.
WHO telah menjadikan bunuh diri sebagai masalah prioritas selama beberapa tahun. Menurut WHO, lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri per tahun, menjadikannya penyebab utama kematian pada orang-orang berusia 15 -29 tahun.
Banyak yang menyakini, hanya orang dewasa yang menunjukkan perilaku bunuh diri, tetapi perlu diketahui, anak-anak dan remaja juga bisa terlibat dalam perilaku semacam ini sebagai akibat dari kekerasan, pelecehan seksual, penindasan, dan cyberbullying.
"Saya tegaskan: bunuh diri dapat dicegah dan dapat dihindari, itu sebabnya semua upaya dan kebijakan publik harus fokus pada pencegahan. Namun, sering kali, orang yang menderita penyakit mental tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental, kadang-kadang karena tidak ada layanan di daerah mereka dan karena harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapat perhatian," ujar Trimboli.
Editor: Agung DH