tirto.id - Dalam beberapa bulan terakhir, aksi bunuh diri marak terjadi di Indonesia. Benang merah yang bisa ditarik dari semua kasus yang terjadi adalah pelaku yang tidak bisa mengatasi masalah depresi yang dialaminya.
Kasus Bripka Teguh Dwiyatno, misalnya. Anggota Brimob Den A Kedaung itu ditemukan tewas di kediamannya di Asrama Brimob Kedaung Blok C Kel. Kedaung Kec. Pamulang, Tangerang Selatan, pada Senin (15/5/2017). Ia diduga stres dan mengakhiri hidupnya setelah salah menembak ke rumah Anggota DPR Jazuli Juwaini.
Kasus lain dialami Suryo Utomo (30), Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) yang ditemukan tewas di Waduk Cirata, Ciranjang, Cianjur, pada Sabtu (13/5/2017). Polisi menyatakan Suryo meninggal akibat bunuh diri.
Mundur ke bulan April, seorang siswa SMKN 3 Padang Sidempuan Sumatera Utara bernama Amelia Nasution (19) akhirnya meninggal dunia pada Senin (10/4/2017) setelah dirawat di rumah sakit pasca-percobaan bunuh diri dengan menenggak racun tanaman. Pemicunya diduga intimidasi oknum guru di sekolahnya yang tidak suka Amelia membeberkan kecurangan UNBK di media sosial.
Masih ada sederet kasus lain termasuk mahasiswa Kampus Perbanas yang loncat dari gedung, kematian manajer grup idol JKT48 Jiro Inao akibat gantung diri, hingga bunuh diri seorang pria asal Jakarta Selatan yang disiarkan langsung melalui akun Facebook-nya.
Indonesia seakan sedang mengalami kondisi darurat kesehatan mental. Di sisi lain, hak atas kesehatan jiwa yang optimal juga belum didapatkan sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin, menyatakan bahwa orang Indonesia dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan mencapai persentase 6 persen untuk golongan usia 15 tahun ke atas, atau tepatnya berjumlah sekitar 14 juta orang.
- Baca juga: Mahalnya Depresi
Melalui rilis yang diterima Tirto, ahli psikologi sosial Universitas Bina Nusantara (Binus) Juneman Abraham menyatakan bahwa pendekatan psikologi klinis saja tak cukup untuk menbedah fenomena ini. Perlu ada eksplorasi lanjut melalui pendekatan dari disiplin ilmu psikologi sosial sebab kesehatan jiwa nyatanya memang menyangkut dimensi sosial-budaya.
Juneman menyoroti kehidupan warga kota yang makin teralienasi (asing) satu sama lain, ikatan atau kohesi sosialnya mengendor, lalu meningkatkan gejala depresi baik yang ringan maupun berat. Kondisi inilah yang buruk bagi kesehatan jiwa. Oleh karena itu, tulis Juneman, ruang publik yang mewadahi pertemuan riil antar manusia dan mengembalikan kohesi yang kendor bisa dijadikan salah satu solusi untuk mengatasi masalah tentang kesehatan jiwa.
Perspektif yang demikian, menurut Juneman, belum dikembangkan secara serius di Indonesia. Oleh karena itu ia dan rekannya, Afifatun Nisa, melakukan riset dengan berbekal pertanyaan pokok “Bagaimana mekanisme psikologis dalam pemanfaatan ruang terbuka publik dapat mempengaruhi kesehatan jiwa warga kota?”
Riset yang dipublikasikan di Jurnal Makara edisi bulan Desember 2012 silam itu melibatkan 375 mahasiswa Jakarta (182 laki-laki, 193 perempuan) sebagai partisipan. Mereka berasal dari 22 universitas. Bukan status pendidikan yang ditekankan, melainkan bahwa partisipan memenuhi kualifikasi sebagai warga ibukota yang kadang memanfaatkan ruang publik untuk berbagai kepentingan.
Hasil analisis riset menunjukkan tingkat pemanfaatan ruang terbuka publik bisa menyehatkan jiwa warga kota. Kesimpulan ini didapat setelah ditemukannya korelasi positif antara pemanfaatan ruang terbuka publik dengan kohesi sosial para partisipan dengan warga kota lainnya.
Dengan kata lain, hubungan sosial langsung yang meningkat secara kuantitas dan kualitas mampu membuat kondisi mental warga kota menjadi lebih stabil, menjauhkannya dari rasa depresi yang berlebihan.
Temuan ini, tulis Juneman, sesuai dengan beberapa hasil riset dari peneliti disiplin ilmu psikologi sosial dari luar negeri. Temuan penelitian Echeverriaa, Diez-Rouxc, Shea, Borrell, dan Jackson (2008), misalnya, menunjukkan bahwa kohesi yang lemah berhubungan dengan meningkatnya depresi, sedangkan kohesi yang kuat berdampak sebaliknya.
Ruang publik yang ideal, tulis Juneman dengan mengutip analisa ahli psikologi sosial Wageninger University and Research Karin Peters, adalah yang bersifat inklusif alias bisa dimasuki orang-orang dari berbagai latar belakang etnis maupun sosial-ekonomi.
Komunikasi yang terjalin untuk menstimulus kohesi sosial juga tak mesti intensif, formal, dan terstruktur dengan orang atau kelompok yang sudah dikenal. Upaya ini bisa dimulai dengan interaksi sosial yang bersifat informal dan sepintas lalu, misalnya mengobrol singkat atau melalui sapaan “halo” dengan orang atau kelompok asing.
“Melalui interaksi sosial yang demikian, orang-orang merasa disambut, terhubung (connected) dengan warga rumah, dan sekaligus merasa seperti di rumah (feel at home). Ruang terbuka publik yang berfungsi seperti ini menarik ragam orang, dalam hal mana pengalaman sehari-hari terbagi dan ternegosiasikan di antara orang-orang,” tulis Juneman.
“Selanjutnya, tumbuh kesadaran ruang publik (public space consciousness) terhadap ruang terbuka publik itu sendiri, di mana ruang publik diapresiasi karena memiliki nilai dan fungsional merangsang dan menciptakan perasaan nyaman, keakraban serta kerekatan dengan warga atau publik,” imbuhnya.
Salah satu ruang publik yang paling ideal untuk mempraktikkannya adalah Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sayang, RTH di Jakarta, misalnya, cenderung stagnan dalam 5 tahun terakhir. Di sisi lain, RPTRA secara sembarangan disamakan dengan RTH oleh pemerintah DKI Jakarta sendiri.
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Jogo menjelaskan bahwa saat ini RTH di Jakarta hanya mencapai 9,98 persen dari total keseluruhan wilayah Jakarta. Padahal, imbuhnya, idealnya RTH mencangkup 30 persen dari luas keseluruhan sebuah kota.
"Kalau kita lihat dari zaman Pak Foke [mantan Gubernur Fauzi Bowo] sampai sekarang, berarti pertumbuhannya hanya sekitar 0,08 persen. Karena pas Pak Foke (wilayah RTH Jakarta) sebesar 9,9 persen," kata Nirwono kepada Tirto, Jumat (19/5/2017).
Salah satu poin kritikan terpenting Juneman dalam risetnya yakni pertumbuhan pesat mal di kota-kota besar di Indonesia yang menjadi biang menipisnya kohesi sosial antara warga kelas menengah ke atas dengan warga kelas bawah. Mal bukanlah ruang publik yang ideal sekaligus menyehatkan bagi jiwa warga perkotaan.
Poin kritikan lain yang Juneman sampaikan melalui surat elektronik, adalah betapa kecanduannya warga perkotaan akan penggunaan media sosial yang berarti menipiskan kesempatan mereka untuk menguatkan kohesi sosial di dunia nyata. Ruang-ruang maya makin marak, salah satu yang paling populer adalah Instagram. Namun berbagai penelitian sesungguhnya menyebut penggunaan Instagram memiliki dampak buruk pada kesehatan mental.
“Apabila kohesi sosial dipersepsikan tidak terjalin, maka pemanfaatan ruang terbuka publik sama sekali tidak dapat menjelaskan kesehatan jiwa, karena persepsi kohesi sosial dalam konteks penelitian ini merupakan mediator menuju kesehatan jiwa,” jelas Juneman.
=======
Depresi bukan hal yang layak untuk dianggap enteng, apalagi ditertawakan. Orang yang mengalami depresi amat butuh kawan yang mau mendengarkan. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdikusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka). Kontak di surel: pendampingan.itl@gmail.com dan intothelight.email@gmail.com.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti