Menuju konten utama

Mahalnya Depresi

Pada 2012, WHO menyebutkan bahwa depresi adalah salah satu penyebab terbesar beban penyakit jiwa secara global. Saat itu WHO memperkirakan ada 350 juta orang yang mengalami depresi, baik ringan maupun berat. Depresi dan kecemasan membuat ekonomi dunia kehilangan 925 miliar dolar setiap tahunnya.

Mahalnya Depresi
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Dalam sebuah fragmen novel karangan Ned Vizzini yang berjudul It's Kind of a Funny Story, dikisahkan bagaimana seorang dengan gangguan depresi memandang pekerjaan. Si karakter, Craig Gilner, adalah remaja usia 15 tahun yang diterima di sekolah prestisius. Sekolah itu mementingkan pentingnya prestasi akademik. Ini yang kemudian menyebabkan Gilner di merasa asing, takut, dan cemas setiap saat. Pada akhirnya, perasaan itu berujung pada keinginan bunuh diri yang tak tertahankan lagi. Cerita ini menggambarkan bagaimana kehidupan urban kadang memberikan tekanan hidup berat yang berujung pada depresi. Ned Vizzini sendiri akhirnya ditemukan bunuh diri usai menulis novel ini.

Bagaimana depresi bisa sedemikian menakutkan? Riset yang dilakukan oleh National Alliance on Mental Illness Amerika pada 2013 menyebutkan, diperkirakan 20 persen remaja usia 13 sampai 18 pernah mengalami gangguan mental selama setahun. Pada banyak kasus penyakit mental kronik ditemukan sejak usia 14 tahun. Depresi yang berujung bunuh diri menjadi penyebab ketiga di Amerika yang membunuh pemuda usia 15 sampai 25.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) diketahui bahwa 10 persen populasi dunia mengalami gangguan mental. Meningkatnya penderita depresi dan kecemasan di dunia membuat bisnis buruk. WHO juga menyebutkan antara 1990 sampai dengan 2013, angka penderita depresi, kecemasan dan gangguan mental lainnya meningkat lebih dari 50 persen, dari 416 juta orang ke 615 juta orang.

Angka ini masih terus naik dan WHO percaya bahwa ini harus segera ditangani. Setiap 1 dolar yang diinvestasikan untuk perbaikan kualitas hidup dan perbaikan penyakit mental, WHO percaya ada potensi investasi yang kembali sebesar 4 dolar. Ini merupakan riset dari The Lancet Psychiatry, yang menunjukan bahwa ekonomi global akan mendapatkan keuntungan yang baik apabila melakukan investasi dalam penanggulanan dan perawatan terhadap depresi/kecemasan.

Depresi menjadi mengerikan karena ia tidak saja mahal tapi juga membunuh. Selama lebih dari 45 tahun, terakhir angka bunuh diri naik sebesar 60 persen di seluruh dunia. Data dari Atlas Kesehatan Dunia menunjukan bahwa negara dengan rata-rata kematian akibat bunuh diri tertinggi di dunia adalah Guyana, dengan persentase 44 per 100.000 orang. Korea Selatan menjadi negara kedua tertinggi di dunia dengan rata-rata kematian kibat bunuh diri sebesar 28,9 per 100.000 orang.

Di negara berkembang, depresi tak bisa diatasi karena minimnya anggaran untuk penyakit mental. Di Guyana, hanya ada 10 orang psikiatris bersertifikat profesional untuk melayani populasi lebih dari 735 ribu orang. Guyana tak punya sama sekali alternatif bantuan medis untuk penyakit mental. Sementara di negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang memiliki banyak psikiatris, penyakit mental susah dilawan karena budaya yang mengakar dalam, bahwa bunuh diri adalah sebuah hal normal.

Atlas Kesehatan Dunia menyebut bunuh diri merupakan penyebab tertinggi kematian yang terjadi di Korea Selatan yang banyak ditemui pada usia 10 - 30 tahun. Di Indonesia berdasarkan laporan dari Mabes Polri pada tahun 2012 ditemukan bahwa angka bunuh diri sekitar 0,5 % dari 100.000 populasi, yang berarti ada sekitar 1.170 kasus bunuh diri yang dilaporkan dalam satu tahun.

Margaret Chan, direktur jenderal WHO, menyebutkan bahwa estimasi biaya yang dikeluarkan untuk perawatan kesehatan jiwa di 36 negara dari 2015-2030 sebesar $925 miliar. Dari data yang dikeluarkan oleh survei Atlas Kesehatan Mental WHO 2014 diketahui bahwa rata-rata pemerintah dunia menghabiskan 3 persen dari anggaran kesehatan mereka untuk kesehatan mental. Sementara negara-negara yang lebih miskin menganggarkan 1 persen, negara kaya menghabiskan 5 persen.

Tapi itu belum cukup. WHO memperkirakan saat masa darurat seperti perang, bencana alam, dan kondisi krisis lainnya akan ada peningkatan orang dengan gangguan kejiwaan. WHO memperkirakan ketika itu terjadi satu dari lima orang akan mengalami depresi dan kecemasan akut. Jim Yong Kim, presiden Bank Dunia menyebutkan bahwa penyakit mental bukan cuma masalah kesehatan publik tapi juga masalah pembangunan. Ia mengatakan penyakit mental harus diatasi sekarang, jika tidak produktifitas akan hilang dan ekonomi global akan memburuk.

Pada 2012, WHO menyebutkan bahwa depresi adalah salah satu penyebab terbesar beban penyakit jiwa secara global. Saat itu WHO memperkirakan ada 350 juta orang yang mengalami depresi, baik ringan maupun berat. Dari riset World Mental Health Survey yang diselenggarakan di 17 negara pada 2012 disebutkan 1 dari 20 orang mengalami serangkaian gangguan depresi. Gangguan ini seringkali terjadi pada usia muda. Namun, apa sebenarnya depresi itu?

WHO menyebut depresi adalah gangguan mental yang memiliki gejala seperti kebosanan, kehilangan semangat atau kesenangan, berkurangnya energi meski telah istirahat, perasaan bersalah atau tak lagi merasa berharga, gangguan pola tidur dan makan, rendahnya konsentrasi. Kerap kali depresi juga disertai oleh gejala kecemasan yang akut. Jika ini tidak diatasi maka akan berpengaruh terhadap kemampuan manusia untuk hidup normal dan melakukan kegiatan sehari-hari. Pada tataran yang kronis, depresi bisa berujung pada bunuh diri. WHO menyebut setiap tahun 1 juta orang meninggal karena bunuh diri, dengan rata-rata 3.000 orang mati tiap harinya.

Depresi bisa terjadi pada usia yang sangat muda. Jika ini dibiarkan maka kemampuan mereka untuk berfungsi di masyarakat akan menurun hingga pada satu titik tak mampu lagi berinteraksi secara normal. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Data dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional (gejala-gejala depresi dan ansietas), sebesar 6 persen untuk usia 15 tahun ke atas. Hal ini berarti lebih dari 14 juta jiwa menderita gangguan mental emosional di Indonesia.

Sedangkan untuk gangguan jiwa berat seperti gangguan psikosis, prevalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk. Ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikotis). Angka pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa berat sebesar 14,3 persen atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang mengalami pemasungan. Hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan jiwa di berbagai daerah Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik.

Menurut Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, ada kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis seperti dukun maupun kiayi.

Banyaknya penderita gangguan jiwa yang belum tertangani secara medis, dikarenakan masih minimnya tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia. Jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum mampu memenuhi kuota minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Saat ini, Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 penduduk). Padahal WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk.

Sejauh ini pemerintah telah meningkatkan anggaran kesehatan dari tahun lalu sebesar Rp 74,3 triliun menjadi Rp 106,1 triliun untuk 2016. Berdasarkan persentase terhadap jumlah total anggaran, anggaran kesehatan dalam APBN 2016 naik menjadi 5 persen dari 3,75 persen dalam APBN-P 2015. Akhirnya pemerintah memenuhi amanah Undang-Undang (UU) No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan untuk mengalokasikan 5 persen dari APBN untuk kesehatan.

Dari Rp 106,1 triliun itu, menurut Human Right Watch, pemerintah hanya menganggarkan 1,5 persen saja untuk kesehatan jiwa. Angka ini terlalu kecil dan masih belum memenuhi standar minimal yaitu 5 persen dari anggaran total kesehatan nasional. Jika ini dibiarkan dikhawatirkan angka depresi akan terus meningkat dan biaya pengobatan jiwa akan semakin membengkak. Lagi pula, bukankah lebih murah mencegah daripada mengobati?

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Arman Dhani