Menuju konten utama

Yang Menyerah Mengakhiri Hidup Sendiri

Lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Tidak sedikit pula yang  melakukan percobaan bunuh diri. Perilaku bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi kedua yang dialami usia 15-29 tahun pada 2012. WHO telah mencanangkan 10 September sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri.

Yang Menyerah Mengakhiri Hidup Sendiri
Ilustrasi bunuh diri

tirto.id - Albert Camus memulai The Myth of Sisyphus dengan sebuah kalimat, “Belum ada masalah filosofis paling serius kecuali tentang bunuh diri.” Pernyataan itu ia kemukakan karena bunuh diri adalah konsep problematis yang banyak dibahas oleh filsuf. David Hume, filsuf empirisme, berargumen bahwa bunuh diri adalah tindakan memberontak terhadap garis nasib yang diberikan Tuhan. Bagi Hume bunuh diri bukan tindakan yang dapat dibenarkan. Meski orang itu pada akhirnya mati, kematian semestinya terjadi secara alami bukan diambil oleh individu itu sendiri.

Bunuh diri adalah fenomena global yang terjadi di berbagai belahan dunia. Menurut WHO, 75 persen praktik bunuh diri global banyak terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah pada 2012. Bunuh diri juga bertanggung jawab atas 1,4 persen kematian di seluruh dunia, membuatnya menjadi penyebab nomor 15 tertinggi penyebab kematian pada 2012.

Bagaimana dengan Indonesia? Dari data World Health Statistics 2016 yang bersumber pada WHO, Indonesia memiliki rata-rata kematian akibat bunuh diri sebesar 4,3 per 100.000 orang. Angka ini termasuk kecil dibandingkan rata-rata regional Asia Tenggara yang sebesar 17,1 orang per 100.000 orang atau rata-rata dunia 11,4 per 100.000 orang. Angka ini lebih rendah dibandingkan angka bunuh diri global. WHO mencatat bahwa setiap 40 detik, satu orang yang meninggal karena bunuh diri secara global. Meski kecil bukan berarti Indonesia tidak punya masalah dengan kematian akibat bunuh diri.

WHO menekankan pentingnya upaya untuk mencegah bunuh diri dan percobaan bunuh diri di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia ini mencanangkan pengurangan angka bunuh diri hingga 10 persen pada 2020.

Sejak 2003, WHO telah menganggap serius masalah bunuh diri ini. WHO bahkan menggandeng International Association of Suicide Prevention (IASP) untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap tanggal 10 September.

Fredric Neuman, M.D, direktur dari the Anxiety and Phobia Treatment Center di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan munculnya dorongan bunuh diri. Faktor itu adalah depresi, rasa takut, kemarahan, kebencian, kebingungan, kesepian, rasa jijik terhadap diri sendiri, rasa kecewa mendalam, ketidakberdayaan, merasa tertantang, dan tak mau dikalahkan. Tapi Fredric menyebutkan bahwa motif seseorang untuk bunuh diri sangat mungkin tumpang tindih. Bunuh diri, seperti semua perilaku manusia, merupakan hasil dari pemikiran yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan.

Kematian bukanlah sekedar statistik, ia kisah unik yang punya latar belakangnya sendiri. Fredric menyebut bahwa setiap pelaku bunuh diri yang menyintas semestinya diperlakukan secara khusus dan manusiawi. Fredric yang berpengalaman selama 21 tahun sebagai dokter dan pendamping menyadari bahwa mayoritas kasus percobaan bunuh diri berawal dari depresi atas sebuah peristiwa, rasa sedih karena tak mampu menghadapi keadaan. Ia menemukan pasien yang menderita penyakit serius seperti kanker atau tumor merasa depresi dan ingin mati. Namun, lain kali ia menemukan kasus yang berbeda.

Menurut Fredric depresi melahirkan rasa tidak berdaya, perasaan inilah yang menjadi penyebab utama seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Kadangkala seorang pelaku bunuh diri tidak mampu melihat secara objektif kondisi dirinya dan merasa masalah yang ia hadapi sebagai akhir dunia, sementara bunuh diri adalah satu-satunya jalan. Keadaan itu semakin diperparah ketiadaan teman untuk berbagi, rasa takut untuk bercerita, dan stigma tentang penyakit kejiwaan akibat depresi yang berkembang.

Katyusha Methanisa, mahasiswi arsitektur, baru berusia 17 tahun ketika ia melakukan percobaan bunuh diri. Sebelum itu ia mengalami gejala depresi setelah menjalani hubungan pacaran yang abusive. Ia menelan 10 butir obat sakit kepala sekaligus setelah mendengar kabar bahwa tante, satu-satunya anggota keluarga yang dekat dengannya, meninggal. “Jadi setelah minum obat sakit kepala 10 sekaligus saya baru ketakutan dan akhirnya bilang orang tua biar dilarikan ke rumah sakit,” katanya, dalam perbincangan dengan tirto.id.

Saat ini Katy, begitu ia disapa, berusia 20 tahun dan menyadari bahwa peristiwa yang ia alami hampir komikal. Malam saat ia melakukan percobaan bunuh diri dengan 10 butir obat sakit kepala itu ia meminta pertolongan orang tuanya. Bukanya menolong orang tua Katy malah mendudukkannya di ruang tengah dan bertanya apakah ia sedang punya pacar atau sedang marah. Saat itu Katy merasa sekarat dan merasa bahwa tak ada hubungan antara pertanyaan dengan kondisi tubuhnya.

Katy baru dibawa ke rumah sakit sehari setelahnya, itu pun setelah ia pingsan dan jatuh ke lantai saat mengantre ke kamar mandi. Sejak saat itu ia merasa perlu hati-hati untuk tidak menceritakan peristiwa percobaan bunuh dirinya. Katy tak mau dianggap cari perhatian atau sekedar mencari drama. Setahun kemudian baru Katy menemui psikiater dan memberitahunya bahwa ia memiliki depresi. Awalnya ia merasa takut, tapi di sisi lain ia lega karena perasaan aneh yang menghantuinya punya nama.

Fredric Neuman menyebutkan bahwa seseorang semestinya diberikan kesempatan untuk memutuskan nasibnya sendiri. Entah ia ingin menjalani hidup atau mengakhirinya. Namun, keputusan itu mesti dibuat dalam keadaan waras dan sadar. Seseorang yang depresi dan memiliki gangguan kesehatan mental semestinya dicegah membunuh dirinya sendiri. Perasaan ingin mati bisa jadi bentuk keputusasaan ketimbang pemikiran rasional.

Depresi dan gejala gangguan kesehatan mental semestinya ditangani lebih serius. “Orang-orang yang punya depresi, bipolar. Itu sebetulnya functioning juga seperti orang-orang biasa,” kata Katy. Ia menekankan bisa jadi orang yang kita lihat baik-baik saja sebenarnya sedang berjuang menghadapi masalah dalam hidupnya. “Saya inginnya ngomongin isu kesehatan mental nggak tabu lagi. Biar bisa berbagi pengalaman,” lanjutnya.

Baca juga artikel terkait BUNUH DIRI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Indepth
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti