Menuju konten utama

Mati karena Patah Hati

Bisakah manusia mati karena patah hati? Mengapa manusia patah hati? Sebuah penelitian selama sembilan tahun berusaha menjawab itu. Kini, ilmuwan mampu meraba kaitan antara perpisahaan dalam sebuah hubungan romantik dengan kematian.

Mati karena Patah Hati

tirto.id - Apa yang lucu dari sebuah perpisahan? Apakah kita bisa mengukur derajat penderitaan dari sebuah perpisahan? Awkarin, seorang persona Internet, menangis di kanal Youtube-nya. Ia baru putus. Netizen, merespons dengan berbagai hal, beberapa meledek, beberapa mencibir, beberapa menghina, dan sedikit yang peduli. “Ah cuma cari perhatian,” kata seseorang. “Ah lebay,” kata yang lain. Tapi bisakah kita memahami apa itu kehilangan dan perpisahan?

Florentino Ariza, sebuah karakter dalam novel masyur Gabriel Garcia Marquez, menunggu 51 tahun, sembilan bulan dan empat hari agar bisa bersama dengan kekasihnya Fermina Danza. Ini tindakan tolol, tidak masuk akal, dan fiksi. Tapi bukan berarti tak pernah ada yang bertindak tolol, tidak masuk akal, dan nyaris fiksi untuk kekasih yang mereka cintai. Bagi orang-orang dewasa, apa yang dilakukan Awkarin mungkin tindakan tolol. Bagaimana mungkin kamu menangisi akhir sebuah hubungan yang terjadi hanya dalam beberapa bulan?

Orang-orang yang mencibir ini mungkin tak pernah menyadari bahwa keseluruhan cerita Romeo dan Juliet yang membuat banyak orang menangis itu hanya terjadi dalam empat hari. Mungkin orang-orang juga lupa bahwa Awkarin hanya remaja, siapa yang tak pernah patah hati ketika mereka muda? Carl E Pickhardt Ph.D, psikolog lulusan Harvard dan Texas yang fokus pada remaja, mengatakan bahwa patah hati paling pedih terjadi pada usia remaja.

Pickhardt berpendapat pada usia remaja pasangan dan penerimaan sosial antar sesama menjadi hal yang penting. Orang tua kerap kali abai pada masa ini dan menganggap pacaran hanya sekedar fase kehidupan, yang akan berlalu begitu saja. Mereka tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk menghadapi perpisahan romantik. Pada usia belasan dan menjelang awal dua puluhan inilah peralihan antara remaja dan dewasa terjadi, seseorang mengadopsi nilai dan kemudian mengaplikasikan nilai itu terhadap hidupnya. Peristiwa dramatis dapat mengubah kondisi kejiwaan seseorang dengan dramatis pula.

Tidak ada yang lucu dari perpisahan. Setidaknya itu yang coba disampaikan oleh Nicholas A. Christakis dari Universitas Harvard dan Felix Elwert dari Universitas Wisconsin– Madison. Dalam penelitian yang mereka lakukan pada 2008, kedua orang itu menemukan apa yang saat ini disebut sebagai widowhood effect. Sebuah kondisi yang oleh ilmuan sosial sebagai salah satu bukti paling baik untuk menjelaskan dampak antara relasi sosial dan kesehatan. Kedua peneliti ini menunjukkan bahwa perpisahaan antara dua orang yang memiliki hubungan percintaan serius dapat menyebabkan kematian.

Studi yang dilakukan Christakis dan Elwert ini melibatkan 373.189 pasangan lanjut usia di Amerika Serikat selama sembilan tahun. Riset ini memfokuskan diri pada pasangan lanjut usia yang pasangannya meninggal dan menganalisa apa yang terjadi pada yang ditinggalkan. Dari riset tersebut ditemukan bahwa 18 persen suami ikut meninggal setelah istrinya meninggal, sementara 16 persen istri ikut menyusul meninggal setelah suaminya tiada. Kondisi ini menjadi istimewa karena, kehilangan yang teramat sangat dapat mengganggu fungsi organ tubuh yang berujung pada kematian.

Kehilangan dan duka yang teramat sangat dapat membuat jantung seseorang berhenti berfungsi dengan normal. Fenomena ini oleh seorang pakar penyakit dalam Dr. Lee Lipsenthal, sebagai “broken heart syndrome,” juga disebut sebagai takotsubo cardiomyopathy. Sindrom Patah Hati adalah kondisi yang terjadi setelah seseorang mengalami kehilangan traumatik, bisa karena kematian pasangan, orang tua, atau anak dan kerap kali paling berdampak pada perempuan. Kehilangan ini menyebabkan rasa sesak di dada dan gagal jantung, dan dipercaya terjadi karena perubahan kerja hormon saat seseorang merasa kehilangan.

Apa yang membedakan antara Awkarin dan subjek penelitian di atas? Barangkali usia. Mereka yang lanjut usia tak memiliki daya tahan tubuh yang sekuat remaja. Ketika perpisahan terjadi, tubuh remaja lebih siap menerima dan mereka punya banyak alasan untuk kemudian melanjutkan hidup. Berbeda dengan para lansia yang kerap menjadikan pasangan mereka sebagai jagat hidupnya. Orang-orang lanjut usia ini tak lagi memiliki keinginan hidup ketika pasangan mereka tiada. Ini bisa jadi mengada-ada, tapi perpisahaan dan dampaknya pada tubuh manusia bukan sekedar isapan jempol belaka.

Arthur Aron, Ph.D, profesor ilmu sosial dan kesehatan psikologi dari Stony Brook University menemukan, mereka yang baru saja putus dan merasakan rasa pedih serta sakit barangkali berkaitan dengan kerja otak mereka. Rasa sakit dan sedih akibat putus, berhubungan dengan sebagian otak yang berkaitan dengan motivasi, kebahagiaan, dan adiksi. Saat seseorang putus, bagian otak tertentu bekerja merespons perpisahan itu dengan kebutuhan untuk terus bersama dan afeksi. Ketika gagal dipenuhi, ia menimbulkan perasaan sedih dan menderita. Penelitian ini dipublikasikan di Journal of Neurophysiology.

Penolakan cinta, merupakan salah satu penyebab utama depresi. Sementara depresi merupakan penyebab utama bunuh diri. Menurut Dr Aron, psikologi hari ini masih sangat sedikit memahami tentang fenomena romantik tersebut. Bukan karena tidak dianggap serius, tetapi karena memahami sistem neural dan kerja otak ketika orang patah hati (atau jatuh cinta) masih belum banyak dibahas. Dr Aron juga berpendapat, cinta menyebabkan adiksi. Itulah mengapa orang yang jatuh cinta atau patah hati mengalami gejala serupa pecandu. Kerap kali mereka yang patah hati tidak bisa menyintas (move on) dari kecanduannya tersebut.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Helen Fisher, profesor peneliti dan anggota dari Center for Human Evolutionary Studies di Rutgers bersama Lucy L. Brown dari Einstein College of Medicine of Yeshiva University di New York, berusaha menjelaskan otak manusia yang patah hati akibat cinta menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI). Berdasarkan rekaman dari 15 orang mahasiswa dan mahasiswi heteroseksual, diketahui mereka masih secara intens mencintai pasangan mereka, meski telah putus. Sebagian besar dari mereka masih berusaha mengingat dan mengenang kebersamaan mereka hampir setiap saat ketika mereka tidak melakukan apa-apa.

Riset tersebut juga menunjukan bahwa orang yang baru putus atau berpisah masih mengharapkan pasangan mereka untuk kembali. Saat dipapar fMRI, para partisipan diberikan foto pasangan mereka, kemudian diberikan soal matematika yang mudah. Saat terpapar itu, sebagian besar partisipan susah untuk berfungsi baik dan butuh waktu lama untuk mengerjakan soal matematika sederhana.

Fungsi otak para partisipan yang dipapar foto mantan mereka juga berubah. Sama seperti riset Dr Aron, bagian otak yang paling berpengaruh terhadap kita saat berpisah adalah bagian ventral tegmental di tengah otak yang mengontrol motivasi dan diketahui berperan dalam perasan romantik. Bagian lain adalah nucleus accumbens dan orbitofrontal/prefrontal cortex, yang diasosiasikan dengan fungsi keinginan dan ketagihan. Terakhir adalah bagian insular cortex dan anterior cingulate, yang berkaitan dengan rasa sakit dan kepanikan. Jatuh cinta dan patah hati sama-sama membuat fungsi otak bekerja secara aneh.

Kabar baiknya adalah riset dari Helen Fisher dan Lucy Brown itu juga mengabarkan bahwa waktu dapat mengobati rasa kehilangan tersebut. Seiring waktu, sesudah berpisah, bagian-bagian otak yang paling sibuk bekerja ketika kita patah hati perlahan berkurang fungsinya. Tubuh menjadi lebih resisten dan kuat menghadapi perpisahan. Ketika remaja mengalami kesedihan akibat perpisahan, ia mengalami gejala serupa dengan mereka yang telah dewasa. Bedanya orang dewasa lebih kuat dan resisten karena pernah mengalami kesedihan serupa sebelumnya. Hingga pada satu titik kesedihan itu tidak mampu lagi ditahan dan membuat fungsi tubuh gagal bekerja.

Patah hati tidak pernah sederhana, pada siapapun. Ini bukan tentang umur tapi tentang bagaimana tubuh kita bereaksi. Kerap kali, pada kasus yang sangat langka, seseorang tidak pernah menyintas atau move on. Mereka hanya bertahan hidup. Tidak lebih.

Baca juga artikel terkait MOVE ON atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti